Pemberontakan di Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Patria lupa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Patria lupa (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 131:
Pendiri GAM, Hasan di Tiro dan rekan-rekan pemimpin GAM-nya yang ada di pengasingan di [[Swedia]] berperan penting dalam memberikan pesan yang mudah dimengerti tentang kebutuhan dan hak penentuan nasib sendiri untuk Aceh. Oleh karena itu, argumen tentang "perlunya kemerdekaan" Aceh ditargetkan oleh GAM pada penduduk domestik Aceh, sedangkan argumen "hak untuk merdeka" ditargetkan pada komunitas internasional untuk memenangkan dukungan diplomatik terhadap GAM.
 
Dalam propaganda tersebut, [[Kesultanan Aceh]] yang telah lama bubar berperan sebagai aktor yang seolah "masih ada" di panggung internasional dengan penekanan pada hubungan masa lalu Kesultanan Aceh dengan negara-negara Eropa, seperti misi diplomatik, perjanjian, serta pernyataan pengakuan kedaulatan Kesultanan Aceh pada masa lampau.<ref name=Aspinall_Islam_76>{{cite bookharvp|last=Aspinall|title=Islam and Nation2009|pagep=76}}</ref> Sesuai dengan logika ini, Aceh yang berdaulat(dan diwakili oleh GAM) akan menjadi negara penerus Kesultanan Aceh yang telah dibubarkan pasca kekalahan pada Belanda setelah [[Perang Aceh]] (1873-1914).<ref name=Aspinall_Islam_76/> Perang Aceh kemudian dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai perbuatan agresi militer oleh Belanda dan penggabungan Aceh ke Indonesia pada tahun 1949 dianggap sebagai perpanjangan pendudukan yang tidak sah oleh Belanda tersebut.<ref name=Aspinall_Islam_76/> Argumen ini ditargetkan oleh GAM pada masyarakat Aceh sendiri serta komunitas internasional, yaitu melalui seruan pada hukum internasional.
 
Dalam nada yang sama, negara Indonesia telah dilabeli oleh propaganda GAM sebagai kedok dominasi Jawa. Dalam deskripsi di Tiro sendiri:
 
:"''"Indonesia" was a fraud. A cloak to cover up Javanese colonialism. Since the world begun [sic], there never was a people, much less a nation, in our part of the world by that name.''"<ref>{{citeharvp|di book|last=Tiro|title=The Price of Freedom1984|pagep=248}}</ref> ([[Bahasa Indonesia|BI]]: "''"Indonesia" adalah sebuah penipuan. Sebuah kedok untuk menutupi kolonialisme Jawa. Sejak dunia mulai, tidak pernah ada orang, apalagi bangsa, dalam bagian dari dunia kami dengan nama tersebut.''")
 
Upaya untuk menyebarkan propaganda GAM banyak mengandalkan dari mulut ke mulut. Elizabeth Drexler (akademis Universitas Pennsylvania) telah mengamati bahwa masyarakat Aceh dan pendukung GAM sering mengulangi klaim yang sama yang dibuat dalam propaganda GAM yang mereka telah datangi melalui modus penyebaran ini.<ref>{{cite bookharvp|last=Drexler|first=Elizabeth|title=Aceh, Indonesia: Securing the Insecure State|url=https://archive.org/details/acehindonesiasec0000drex|year=2008|publisherp=University of Pennsylvania Press|location=Philadelphia, Pennsylvania|isbn=978-0-8122-4057-3|pages=[https://archive.org/details/acehindonesiasec0000drex/page/69 69]}}</ref> Almarhum [[M. Isa Sulaiman]] (penulis buku "''Sejarah Aceh''") menulis bahwa ketika di Tiro pertama kali memulai kegiatan separatis itu antara tahun 1974 dan 1976, ia mengandalkan jaringan kerabatnya dan sejumlah intelektual muda yang berpikiran sama untuk menyebarkan pesannya yang kemudian memperoleh massa simpatisan, khususnya di [[Medan]], [[Sumatera Utara]].<ref>{{cite journalharvp|last=Sulaiman|first=M. Isa|title=From Autonomy to Periphery|journal=Verandah of Violence: The Background of the Aceh Problem|year=2006|series=ed Anthony Reid. Singapore: Singapore University Press|pagep=138}}</ref> Aspinall juga menuliskan ingatan para simpatisan GAM tentang hari-hari awal pemberontakan di mana mereka akan menyebarkan pamflet kepada teman atau menyelipkannya secara anonim di bawah pintu kantor rekan-rekan mereka.<ref>{{cite bookharvp|last=Aspinall|title=Islam and Nation2009|pagep=78}}</ref>
 
Namun hasil dari upaya propaganda tersebut cukup berbeda-beda. Eric Morris ketika mewawancarai pendukung GAM tahun 1983 untuk tesisnya mencatat bahwa, daripada untuk kemerdekaan, para pendukung GAM lebih tertarik baik pada sebuah [[negara Islam]] Indonesia atau bagi Aceh untuk diperlakukan lebih adil oleh pemerintah pusat.<ref>{{cite bookharvp|last=Morris|title=Islam and Politics in Aceh1983|pagep=301}}</ref> Aspinall juga mencatat bahwa untuk beberapa daerah, GAM tidak membedakan dirinya dari [[Darul Islam]] atau [[Partai Persatuan Pembangunan]] yang berkampanye di atas panggung Islam untuk [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1977|Pemilu legislatif Indonesia tahun 1977]].<ref name=Aspinall_Islam_79>{{cite bookharvp|last=Aspinall|title=Islam and Nation2009|pagep=79}}</ref> Namun bagi individu yang telah menjadi pendukung inti GAM, pesan kemerdekaan yang ditemukan dalam propaganda GAM dipandang sebagai pewahyuan Islam dan banyak yang merasakan momen kebangkitan Islam.<ref name=Aspinall_Islam_79/>
 
== Kemungkinan faktor konflik berkepanjangan ==