Abu al-Mafakhir dari Banten: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Adhiyan216 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 32:
Sultan Abu al-Mafakir mempunyai silsilah sebagai berikut :
 
* Batara Wungkuhan
* Kanjeng Nabi Muhammad SAW
* [[Surya (dewa)|Batara Surya]]
* Syarifah Fatimah Az-Zahra
* [[Candra|Batara Candra]]
* Imam Hasan As-sibith
* Batara Patuk
* Syarif Hasan Al-Mutsanna (Syarif Mekah ke-1)
* Batara Temboro
* Syarif Abdullah Al-kamil / Al-mahdi (Syarif Mekah ke-3)
* Batara Siwah
* Syarif Musa Al-jaun (Syarif Mekah ke-7)
* Batara Kuwera
* Syarif Abdullah Al-kiram (Syarif Mekah ke-9)
* [[Yama|Batara Yamadipati]]
* Syarif Musa (Syarif Mekah ke-12)
* [[Kamajaya|Batara Kamajaya]]
* Syarif Muhammad Ats-Tsa-ir (Syarif Mekah ke-21)
* Batara Mahyanti
* Syarif Abdullah (Syarif Mekah ke-22)
* Batari Darmanastiti
* Ali
* Abu Alal-Mafakirmafakir
* Sulaiman
* Husin
* Isa
* Abdul Karim
* Mutha’in
* Idris
* Syarif Mekah Qatadah (Syarif Mekah ke-43)
* Ali
* Hasan
* Abi Nami
* Abi Dzabih Muhammad
* Athifah
* Muhammad
* Jarullah Abdul Aziz
* Syarif Abdullah (Sultan Malaka)
* Maulana Hasanuddin
* Maulana Yusuf
* Maulana Muhammad
* Abu Al-Mafakir
 
Silsilah ini disusun berdasarkan kajian nasab Sayyid Yusuf al-Angawi Sumenep yang disusun oleh Sayyid Salim bin Ahmad bin Jindan dan Habib Alwi bin Abi Bakri bin Bil Faqqih. Selain disusun oleh ahli nasab dari tokoh Alawiyin, nasab di atas juga telah disempurnakan berdasarkan kajian nasab Keluarga Besar Anggawangsa Anggawi al-Hasani Surabaya yang menurunkan para Adipati, Tumenggung hingga Wedana di Jawa Timur. Keluarga Besar Anggawangsa sendiri merupakan keturunan Sultan Ageng Tirtayasa utamanya dari jalur Pangeran Purbaya. Anak keturunan Pangeran Purbaya di Jawa Timur menggunakan gelar MAS yang merupakan singkatan dari Maulana Syarif. Sebagian besar dari keturunan itu banyak yang dimakamkan di Pemakaman Boto Putih dan satu komplek dengan makam Sultan Banten terakhir yaitu Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin.
 
Dalam naskah berbahasa [[Sanskerta]], ''Mahabharata'' disajikan sebagai [[cerita berbingkai]] (cerita di dalam cerita), dengan tiga narator: [[Ugrasrawa]], [[Wesampayana]], dan [[Sanjaya (Mahabharata)|Sanjaya]]. Dari narasi Ugrasrawa disampaikan bahwa kisah ''Mahabharata'' pernah dituturkan oleh Wesampayana kepada Maharaja [[Janamejaya]] dari [[Hastinapura]]. Pada awalnya, sang maharaja gagal mengadakan upacara pengorbanan ular. Untuk melipur duka sang maharaja, murid [[Byasa]] yang bernama [[Wesampayana]] diminta untuk menuturkan kisah kejayaan leluhur sang maharaja, yaitu raja-raja India Kuno yang berada dalam satu garis keturunan, di antaranya: [[Pururawa]], [[Yayati]], [[Puru (mitologi)|Puru]], [[Bharata (raja)|Bharata]], dan [[Kuru (raja)|Kuru]].
Jalur Athifah ini juga dikuatkan dengan keberadaan makam salah satu keturunan Sultan Ageng Tirtayasa yaitu Muhammad Atif di Tangerang. Nama Muhammad Atif di nisbatkan dari nama leluhurnya yaitu Athifah bin Abi Dzabih Muhammad.
 
Cerita utama ''Mahabharata'' berpusat pada riwayat seratus [[Korawa]] dan lima [[Pandawa]] yang merupakan keturunan raja-raja tersebut di atas, dengan konflik utama yaitu [[Perang Kurukshetra|perang saudara]] di [[Kurukshetra]]. Baik Korawa maupun Pandawa merupakan dua kelompok pangeran dari [[Dinasti Kuru]] yang tinggal di keraton [[Hastinapura]], [[India Utara]]. Korawa merupakan putra-putra [[Dretarastra]], sedangkan Pandawa merupakan putra-putra [[Pandu]], adik Dretarastra. Meskipun Korawa merupakan putra-putra keturunan Kuru yang lebih tua, tetapi usia mereka semua—termasuk [[Duryodana]], Korawa sulung—lebih muda daripada [[Yudistira]], Pandawa sulung. Baik Duryodana maupun Yudistira mengeklaim sebagai pewaris takhta yang pertama. Pertikaian memuncak menjadi sebuah [[perang di Kurukshetra]], yang dimenangkan oleh pihak [[Pandawa]].
 
Kisah ''Mahabharata'' diakhiri dengan wafatnya [[Kresna]], kehancuran klan-klan [[Yadawa]], dan diangkatnya para Pandawa ke surga. Peristiwa tersebut juga diyakini dalam kepercayaan [[Hindu]] sebagai permulaan zaman ''[[Kaliyuga]]'', yaitu zaman peradaban manusia yang keempat sekaligus terakhir; zaman ketika nilai-nilai yang mulia dan berharga mulai luntur, dan orang-orang cenderung berlaku dengan mengabaikan kebenaran, moralitas, dan kejujuran.
 
== Hubungan luar negeri ==