Kesunanan Surakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 59:
'''Kesunanan Surakarta Hadiningrat''' ([[bahasa Jawa]]: ꦟꦒꦫꦶꦑꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀; ''Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat'') adalah sebuah kerajaan di [[Jawa|Pulau Jawa]] bagian tengah yang berdiri pada tahun 1745, yang merupakan penerus dari [[Kesultanan Mataram]] yang beribu kota di [[Keraton Kartasura|Kartasura]] dan selanjutnya berpindah di [[Kota Surakarta|Surakarta]]. Pada tahun 1755, sebagai hasil dari [[Perjanjian Giyanti]] yang disahkan pada tanggal 13 Februari 1755 antara [[Perusahaan Hindia Timur Belanda|VOC]] (''Vereenigde Oostindische Compagnie'') dengan [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]],<ref>{{Cite journal|last=Prasadana|first=Muhammad Anggie Farizqi|last2=Gunawan|first2=Hendri|date=2019-06-17|title=KERUNTUHAN BIROKRASI TRADISIONAL DI KASUNANAN SURAKARTA|url=http://handep.kemdikbud.go.id/index.php/handep/article/view/36|journal=Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya|volume=2|issue=2|pages=187–200|doi=10.33652/handep.v2i2.36|issn=2684-7256}}</ref><ref name="talk">[https://www.youtube.com/watch?v=lvbjV-fzb9c TALK SHOW "NILAI-NILAI SENI BUDAYA KARATON SURAKARTA HADININGRAT" NARASUMBER GKR. WANDANSARI]</ref> disepakati bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua pemerintahan, yaitu Surakarta dan [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Yogyakarta]].<ref>{{cite web|url=https://historia.id/politik/articles/perjanjian-giyanti-membelah-mataram-DWV1k|title=Perjanjian Giyanti Membelah Mataram}}</ref>
Semula, sejak tahun 1745 hingga peristiwa [[Perjanjian Giyanti|Palihan Nagari]] pada tahun 1755, Kesunanan Surakarta yang beribu kota di Surakarta merupakan kelanjutan dari Kesultanan Mataram yang sebelumnya berkedudukan di [[Keraton Kartasura|Kartasura]], baik dari segi wilayah, pemerintahan, maupun kedudukan penguasanya. Kemudian, berlakunya [[Perjanjian Giyanti]] dan diadakannya [[Perjanjian Jatisari|Pertemuan Jatisari]] pada tahun 1755 menyebabkan terpecahnya Kesunanan Surakarta menjadi dua kerajaan; kota Surakarta tetap menjadi pusat pemerintahan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta dengan rajanya yaitu [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]],<ref>[https://www.youtube.com/watch?v=3wHNbzcIR6g KERATON SOLO Temukan Situs Perjanjian Jatisari, Bukti Keraton Solo Bukan Antek Belanda]</ref> sedangkan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta yang lain diperintah oleh [[Hamengkubuwana I|Sultan Hamengkubuwana I]] yang berkedudukan di kota [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], dan wilayah kerajaannya kemudian disebut sebagai [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Kesultanan Yogyakarta]]. [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat|Keraton]] dan kota [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] sendiri baru dibangun pada
Sejak tahun 1755 itulah, Kesunanan Surakarta bersama dengan Kesultanan Yogyakarta dianggap sebagai pengganti dan penerus [[Kesultanan Mataram]], karena raja-rajanya merupakan kelanjutan dan keturunan raja-raja [[Wangsa Mataram|Mataram]]. Setiap raja Kesunanan Surakarta bergelar [[susuhunan]] atau sunan, sedangkan raja Kesultanan Yogyakarta bergelar [[sultan]].
Baris 96:
=== Pakubuwana III ===
Pada awal tahun 1755, pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan [[Raden Mas Said]] yang tidak mau berdamai. Padahal, semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Adanya [[Perjanjian Giyanti]] (13 Februari 1755) yang ditandatangani oleh [[VOC]] yang diwakili oleh Nicolaas Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi, yang kemudian ditindaklanjuti dalam [[Perjanjian Jatisari|Pertemuan Jatisari]] (
Dalam pertemuan di [[Sapen, Mojolaban, Sukoharjo|Jatisari]], Pakubuwana III mengizinkan Mangkubumi untuk memerintah sebagian tanah negeri Mataram Surakarta serta diperbolehkan untuk mempertahankan dan menggunakan budaya Mataram; termasuk dilakukan pula pembagian pusaka-pusaka warisan Mataram antara kedua belah pihak, baik pusaka benda maupun tak benda.<ref name="talk"/> Dan sesuai surat persetujuan Susuhunan Pakubuwana III tanggal
Selanjutnya, wilayah ''Nagara Agung'' (wilayah inti di sekitar ibu kota) Kesunanan Surakarta semakin berkurang karena [[Perjanjian Salatiga]] tanggal
=== Pakubuwana IV ===
Baris 112:
=== Pakubuwana V dan Pakubuwana VI ===
[[Berkas:Sri Susuhunan Pakubuwono VI.jpg|jmpl|[[Pakubuwana VI|Susuhunan Pakubuwana VI]], raja Kesunanan Surakarta tahun
Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri [[Pakubuwana V|Susuhunan Pakubuwana V]], yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai ''Sunan Ngabehi'', karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V adalah Sri [[Pakubuwana VI|Susuhunan Pakubuwana VI]]. Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan [[Pangeran Diponegoro]], yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah [[Hindia Belanda]] sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke [[Gunung Merbabu]] atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui [[Diponegoro|Pangeran Diponegoro]] secara diam-diam.
Baris 128:
=== Pakubuwana VIII dan Pakubuwana IX ===
Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra [[Pakubuwana VI]] sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri [[Pakubuwana IX|Susuhunan Pakubuwana IX]]. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan [[Pangeran Diponegoro]]. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke [[Ambon]]. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah ''Serat Cemporet''. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret
=== Pakubuwana X ===
Baris 136:
Masa pemerintahan [[Pakubuwana X]] ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kesunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di [[Hindia Belanda]]. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi [[Sarekat Islam]], salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di [[Indonesia]]. Kongres Bahasa Indonesia I di [[Surakarta]] (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.
Infrastruktur modern Kesunanan Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan [[Pasar Gede Harjonagoro|Pasar Gedhe Harjanagara]], [[Stasiun Solo Jebres]], [[Stasiun Solo-Kota]] (Sangkrah), [[Stadion Sriwedari]], [[Taman Sriwedari]], [[Kebun Binatang Jurug|Taman Satwataru Jurug]], Jembatan Jurug yang melintasi [[Bengawan Solo]] di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, Griya Wangkung (rumah singgah bagi tunawisma), Rumah Sakit Kadipala, rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga [[Tionghoa]], rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, saluran [[Umbul Pengging|air bersih]] dan [[irigasi]] di [[kabupaten|kabupaten-kabupaten]], serta berbagai infrastruktur dan fasilitas publik lainnya. Pakubuwana X meninggal dunia pada
=== Pakubuwana XI ===
Baris 157:
Penetapan status [[Daerah otonom|Istimewa]] ini dilakukan [[Soekarno|Presiden Sukarno]] sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945.<ref>Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 1945 di dalam rapat [[PPKI]] diputuskan bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi atas sembilan provinsi dan dua daerah istimewa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Daerah Istimewa Surakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pendapat tersebut bertentangan dengan Putusan PPKI sebagaimana terdapat dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang diterbitkan oleh sekretariat negara baik edisi II (1993) maupun III (1995)</ref>
Kemudian pada tanggal
Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada tanggal
[[Belanda]] yang tidak merelakan kemerdekaan [[Indonesia]] berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan
Tanggal
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, untuk sementara waktu pemerintah [[Republik Indonesia]] membekukan status DIS dan menurunkan kekuasaan raja-raja Kesunanan dan Mangkunegaran serta daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai keresidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan undang-undang. Status [[Pakubuwana|Susuhunan Surakarta]] dan [[Mangkunegara|Adipati Mangkunegaran]] menjadi pemangku adat dan simbol pemersatu di tengah masyarakat [[Suku Jawa|Jawa]] dan warga negara Republik Indonesia, serta [[Keraton Surakarta]] dan [[Pura Mangkunegaran]] kemudian lebih berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pengembangan [[budaya Jawa]].
Baris 228:
=== Perkembangan Selanjutnya ===
[[Berkas:Overzichtskaart van de residentie Soerakarta.jpg|265px|jmpl|Peta [[Karesidenan Surakarta]] yang terdiri dari gabungan dari wilayah Kesunanan Surakarta dan [[Kadipaten Mangkunegaran]] (tanpa daerah [[enklave]]), pada tahun 1920. Wilayah administratif ini oleh pemerintah [[Hindia Belanda]] pada tahun 1928 dinaikkan statusnya menjadi [[kegubernuran]] (''gouvernement'') setingkat [[provinsi]]. Setelah berdirinya [[Indonesia]], wilayah ini kemudian menjadi [[Daerah Istimewa Surakarta]] (
Wilayah kekuasaan Kesunanan Surakarta selanjutnya semakin berkurang pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya, termasuk setelah adanya [[Perjanjian Giyanti]] tahun 1755 dan [[Perjanjian Salatiga]] tahun 1757, yang mengakibatkan Kesunanan Surakarta harus menyerahkan beberapa wilayah kekuasaannya kepada [[Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kadipaten Mangkunegaran]], serta menyerahkan wilayah ''Pasisiran'' kepada [[VOC]]. Usai [[Perang Diponegoro|Perang Jawa]] pada tahun 1830, seluruh wilayah ''Mancanagara'' dirampas oleh pemerintah [[Hindia Belanda]], menyisakan wilayah ''Nagara Agung'' dan ''Kuthagara''.<ref name="sejarah kerajaan tradisional surakarta"/> Wilayah yang tersisa tersebut, kemudian dibagi lagi menjadi beberapa [[kabupaten]] dan [[kawedanan]].
Baris 246:
Untuk wilayah kota Surakarta bagian utara serta [[Kabupaten Karanganyar]] (Kabupaten Kutha Mangkunegaran) dan [[Kabupaten Wonogiri]] (termasuk enklave [[Ngawen, Gunungkidul|Ngawen]] dan [[Semin, Gunungkidul|Semin]]) diperintah oleh [[Kadipaten Mangkunegaran]], yang merupakan [[negara vasal|vasal]] dari Kesunanan Surakarta.<ref name="mangkunegaran"/><ref name="dunia"/> Di tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda menjadikan wilayah [[Karesidenan Surakarta]] yang merupakan gabungan dari Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, sebagai sebuah [[kegubernuran]] setingkat [[provinsi]]. Wilayah dan pembagian administratif tersebut tidak banyak mengalami perubahan hingga masa [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|Pendudukan Jepang]] dan era pemerintahan [[Republik Indonesia]].<ref name="terbentuknya"/>
Setelahnya, di masa pemerintahan [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] wilayah Kesunanan Surakarta mendapat kedudukan sebagai sebuah [[daerah istimewa]] dan menjadi [[Daerah Istimewa Surakarta]], yang bertahan selama beberapa bulan pada tahun
== Daftar Susuhunan (Sunan) Surakarta ==
|