Pikiran Rakyat: Perbedaan antara revisi
[revisi tidak terperiksa] | [revisi tidak terperiksa] |
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Keterangan informasi mengenai kepemilikan website |
k Perubahan pada deskripsi dan sejarah Pikiran Rakyat sebagai kantor saya pribadi Tag: kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan VisualEditor |
||
Baris 14:
|founders=Sakti Alamsyah dan Atang Ruswita|caption=Mengacu ke Akta Pendirian Jajasan "Pikiran Rakjat" Bandung nomor: 35 yang dibuat oleh notaris Noezar, S.H. di Bandung, Pikiran Rakyat de jure berdiri sejak 21 April 1967 meskipun de facto surat kabar ini sudah beredar dengan nama Harian Angkatan Bersenjata edisi Jawa Barat sejak 24 Maret 1966.}}
'''[https://www.pikiran-rakyat.com/ Pikiran Rakyat]''' adalah kelompok usaha media yang bertumbuh di [[Jawa Barat]] dan [[Banten]] dari sebuah gagasan yang progresif pada masanya. Berbeda dengan perusahaan media Indonesia pada umumnya, Pikiran Rakyat bukan milik seorang atau sekelompok pemilik modal. Sampai dengan perubahan-perubahan legalitas dalam rangka penyesuaian dengan aturan hukum dan perundang-undangan Republik Indonesia, Pikiran Rakyat secara kolektif dimiliki langsung oleh wartawan dan karyawannya sendiri. “Bebas dari praktek penghisapan dan penindasan oleh manusia atas manusia,” demikian asa yang terpenggal dari ayat 5 Pasal 4 Akta No. 35 Pendirian “Jajasan Pikiran Rakjat Bandung” sebagaimana dicatat Notaris Noezar di Bandung, 21 April 1967. Yayasan inilah yang selanjutnya merintis jalan pendirian PT Pikiran Rakyat Bandung yang saat ini telah disesuaikan legalitasnya dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sebagian besar dari mereka yang sekarang tercatat sebagai pemilik Pikiran Rakyat, selain koperasi karyawan, adalah ahli waris dari para pendiri di tahun 60-an itu.
Dalam rentang lima puluh tahun sejak pendiriannya, Pikiran Rakyat sempat menjadi kisah keberhasilan media daerah yang memosisikan diri sejajar dengan media-media berskala nasional. Pernah dijuluki “konglomerat media Jawa Barat” di ranah persuratkabaran, Harian Umum Pikiran Rakyat yang menyandang slogan “Dari Rakyat-Oleh Rakyat-Untuk Rakyat” dengan kolom pojok “Ole-ole Si Kabayan” dan tokoh karikatur “Mang Ohle” dikelola oleh PT Pikiran Rakyat Bandung.
Di kawasan Priangan dan [[Banten]], sejumlah penerbitan koran lokal dikelola anak-anak perusahaan: [https://kabarbanten.pikiran-rakyat.com/ PT Berkah Pikiran Rakyat] dan [https://kabarpriangan.pikiran-rakyat.com/ PT Fajar Pikiran Rakyat]. Koran mingguan [https://galura.pikiran-rakyat.com/ Galura] merupakan wujud kontribusi sosial Pikiran Rakyat turut merawat bahasa lokal Sunda. PT Percetakan dan Penerbitan Granesia merupakan wujud krida para pendiri di sektor grafika pers. Adapun [https://prfmnews.pikiran-rakyat.com/ PT Mustika Parahyangan] mengelola khazanah penyiaran. Di platform digital sejak tahun 2019, Pikiran Rakyat mempercayakan pengelolaan medianya ke [https://www.pikiran-rakyat.com/ PT Kolaborasi Mediapreneur Nusantara].
== Sejarah ==
=== '''Bagian 1: Tetap Berdiri Meski Ditinggal Pergi''' ===
'''Pada''' jaman pencerahan filsuf Immanuel Kant menerawang tentang gagasan yang selalu terbelenggu oleh ruang dan waktu. RUANG tempat gagasan Pikiran Rakyat bertumbuh adalah kantor redaksi yang ditinggal kosong di Jalan Asia Afrika nomor 133 Bandung, kancah perjuangan sejumlah wartawan dan karyawan pers yang pada tahun 1965 bertekad mempertahankan kehidupan jurnalistiknya dan melanjutkan penerbitan koran Pikiran Rakyat. Meskipun untuk mewujudkan itu mereka harus bekerja tanpa upah sambil mengusahakan sendiri biaya cetak koran lantaran Pikiran Rakyat diterlantarkan oleh penerbitnya: Bandung NV (''naamloze vennootschap'', akronim hukum dagang Belanda untuk perseroan terbatas atau dibaca ‘Bandung PT,’ ed.) yang ‘angkat kaki’ dan menerbitkan koran Mertju Suar, koran lain yang berafiliasi pada Muhammadiyah. Sejak itu maka wartawan dan karyawan pers di Pikiran Rakyat pun tercampak jadi pengangguran.
Adapun WAKTU yang membatasi tenggat perjuangan mereka adalah masa ketidakpastian di antara surutnya kekuasaan rezim Orde Lama dan bangkitnya dominasi rezim Orde Baru. Masa ketidakpastian tersebut dipicu oleh keputusan Presiden Sukarno yang dibuat gerah oleh iklim politik demokrasi liberal sehingga memberlakukan Demokrasi Terpimpin lewat Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Semua sektor kehidupan saat itu diarahkan pada Manifesto Politik tentang Undang Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional(Manipol Usdek). Dalam pidato yang berjudul ''Rediscovery'' Sukarno juga menyatakan kecewa pada PWI (Persatuan Wartawan Indonesia, ed.). Sejumlah wartawan dipecat dari keanggotaan PWI karena dianggap berhaluan PSI (Partai Sosialis Indonesia, partainya Sutan Syahrir yang pada tahun 1960 dibubarkan oleh Sukarno, ed.) atau karena dituduh “ada main” dengan BPS (Badan Pendukung Sukarno, yang dibentuk sejumlah tokoh politik untuk menjauhkan Sukarno dari Partai Komunis Indonesia namun karena itu justru jadi tidak disukai oleh Sukarno yang menuduh BPS justru “ada main” dengan ''Central Intelligence Agency'' – dengan rencana ''..to kill Sukarno with Sukarnoism'', ed.) Sejumlah wartawan Pikiran Rakyat pun jadi ''persona non grata'' di lembaga-lembaga pers yang semakin condong ke kiri.
Kantor Berita Antara tanggal 12 September 1962 dinasionalisasi dengan Dekrit Presiden nomor: 307/1962. Lebih dari 20 penerbitan pers dibredel Pemerintah pada bulan Februari 1965. Tanggal 25 Maret 1965 Menteri Penerangan menerbitkan Surat Keputusan No.112/SK/KM/1965 tentang Norma-norma Pokok Pengusahaan Pers yang mewajibkan lembaga pers berafiliasi pada partai atau organisasi massa. Seperti yang telah diuraikan, penerbit Bandung NV memilih menerbitkan koran lain dan meninggalkan Pikiran Rakyat. Sejumlah wartawan dan karyawan yang tidak ikut dalam penerbitan koran Mertju Suar itu di-PHK oleh Bandung NV tanpa pesangon.
Direksi Bandung NV sendiri mempunyai sudut pandang berbeda mengenai jalannya peristiwa itu. Melalui biografi yang terbit pada tahun 1995 Djamal Ali berpendapat, Pikiran Rakyat disita karena perbedaan prinsip dan sikap politik. Djamal Ali menolak keras ketentuan pemerintah yang mengharuskan setiap surat kabar mengaitkan dirinya kepada partai politik atau ABRI. Maka sebagai penguasa Pangdam ikut campur tangan dan Pikiran Rakyat disita. Berkat bantuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang waktu itu menjabat Menteri Ekuin pada awal tahun 1970 Djamal memperoleh kembali gedung dan percetakan yang disita itu. Selanjutnya Djamal Ali menuturkan: “Setelah ‘kehilangan’ Pikiran Rakyat saya diminta membantu lahirnya surat kabar Mertju Suar di Bandung tahun 1966. Tokoh-tokoh di balik kelahiran surat kabar ini adalah Letjen Sudirman yang waktu itu menjabat sebagai komandan SESKOAD, Rahardjo, Mintaredja, dan beberapa teman lain."
'''Tahun-tahun krisis'''. Semangat konfrontasi dengan Malaysia menyala. Blokade dunia Barat menjerumuskan Indonesia ke jurang inflasi yang buram. Pelosok negeri panas oleh ketegangan antara pendukung Sukarno ''versus'' mereka yang skeptis terhadap Pemimpin Besar Revolusi, antara warga yang bersimpati dengan sosialisme kontra warga lain yang antikomunisme. Teriakan demonstran “Ganyang PR” terdengar mengagetkan: "PR" maksudnya “Pikiran Rakyat” atau “Pemuda Rakyat” ''onderbouw''-nya PKI? Suasana mencekam Redaksi Pikiran Rakyat yang bertahan independen, nonpartai, dan berusaha tetap terbit meskipun ditelantarkan penerbitnya, sampai ketika momentum itu pecah: prahara 30 September 1965 berikut rentetan tragedi kemanusiaan serta kegalauan yang mengikutinya.
=== '''Bagian 2: Tempat Bersandar Menunggu Reda''' ===
'''Anatomi''' hubungan sipil-militer yang kompleks di Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan menyelubungi Jawa Barat dekade 50-an yang sarat oleh kekerasan, penderitaan rakyat yang terombang-ambing di rute pengungsian, serta perpecahan politik. Dinamika itulah yang membingkai interaksi kalangan pers di Jawa Barat dengan Divisi Siliwangi (Kodam VI Siliwangi, saat itu).
Bagi kelancaran tugas jurnalistik pergaulan wartawan Pikiran Rakyat dengan sejumlah tokoh Siliwangi juga berfungsi sebagai kanal informasi di tengah atmosfir politik nasional yang ambigu dan penuh keraguan. Sebagai insan pers maupun masyarakat biasa hubungan antar personal itu sudah bertaut sejak kemelut [[Bandung Lautan Api]] 24 Maret 1946, sejalan romantika pengungsian. Semasa pasukan Siliwangi "long march“ dari Jawa Barat ke ibukota [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] setelah [[Perjanjian Renville]] 17 Januari 1948 dan "''long march''" kembali ke Jawa Barat. Melalui pemberitaan para pewarta berkontribusi dalam kampanye 'pagar betis' menumpas gerombolan DI/TII hingga tertangkapnya [[Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo]].
Pada satu fragmen sejarah yang baru kemudian terungkap, sebagai seorang Mayor rupa-rupanya Ibrahim Adjie pada November 1948 turut mendampingi Letkol Alex Evert Kawilarang bersama Wakil Presiden sekaligus Perdana Menteri Mohammad Hatta mendamaikan pertikaian berdarah antara sesama laskar di [[Kabupaten Tapanuli Selatan|Tapanuli Selatan]], berkelindan dengan provokasi antar agama yang berbaur sentimen lokal untuk memisahkan diri dari Republik di depan agresi militer pasukan Belanda. Misi Hatta berhasil. Menjadi fakta menarik karena wilayah konflik di Tapanuli Selatan dan Sumatera Barat adalah kampung halaman sejumlah wartawan di Pikiran Rakyat.
Dalam riwayat Indonesia pasca kemerdekaan sosok Ibrahim Adjie dikenang sebagai jenderal kesayangan Sukarno. Apalagi dengan suksesnya penumpasan DI/TII di Jawa Barat. Meskipun secara ideologis bukan Sukarnois namun Ibrahim Adjie menaruh kesetiaan tinggi pada Sukarno. “Bung Karno adalah pemimpinku yang tertera dalam Caturlaksana Siliwangi,” demikian dikutip David Jenkins dalam bukunya "Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer di Indonesia 1975-1983." Pada 28 Agustus 1965 Presiden Sukarno menyerahkan anugerah Sam Karya Nugraha kepada Divisi Siliwangi, anugerah tertinggi pertama dan satu-satunya sepanjang pemerintahan Sukarno. “Hal ini menunjukkan kecintaan Bung Karno secara pribadi kepada Siliwangi dan panglimanya Mayor Jenderal Ibrahim Adjie,” tulis Julius Pour dalam buku "Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang," yang diterbitkan PT Kompas Media Nusantara di Jakarta, 2010.
Periode 1965-1966 merupakan ujian hidup yang berat bagi insan Pikiran Rakyat. Sejak terkendala oleh terbitnya Surat Keputusan Menteri Penerangan No.112/SK/KM/1965, sehingga diterlantarkan oleh penerbitnya Bandung NV (Bandung PT), sampai dinyatakan mati lewat penerbitan No.1 Tahun 1 Warta Harian Mertju Suar pada 1 Februari 1966 wartawan pun bekerja serabutan. Menyambung hidup dengan menulis, bikin komik, mencari “berita eceran” buat media lain atau menyalurkan karya tulisnya lewat media lain yang dikelola [[Komando Daerah Militer III/Siliwangi|Kodam VI/Siliwangi]] seperti Harapan Rakyat atau Harian Berita Yudha. Berdiskusi dan menunggu.
Sampai sinyal ''go ahead'' dari Ibrahim Adjie disampaikan melalui Sakti Alamsyah, Amir Zainun, Yoenoeswinoto dan Parman Djajadiredja. Pada saat kisah ini dituliskan para tokoh tersebut sudah wafat semuanya. Kabar baik itu, wartawan Pikiran Rakyat bergabung dulu dengan penerbitan suratkabar “Harian Angkatan Bersenjata” Edisi Jawa Barat yang berafiliasi dengan Harian Angkatan Bersenjata yang terbit di Jakarta. Rekomendasi tertuang dalam Surat Keputusan Pepelrada Jawa Barat Nomor: 04/Pepelrada/BD/1966 tanggal 31 Januari 1966. Maka nomor perdana Harian “Angkatan Bersenjata” Edisi Jawa Barat (dengan kop "Pikiran Rakyat" yang dicetak kecil) terbit pada 24 Maret 1966. Bertepatan dengan peringatan ke-20 epos “Bandung Lautan Api."
Tidak sampai setahun “Angkatan Bersenjata” Edisi Jawa Barat terbit, Menteri Penerangan RI mencabut lagi ketentuan tentang afiliasi penerbitan media. Panglima Siliwangi yang baru menggantikan Ibrahim Adjie, HR. Dharsono segera mengeluarkan surat keputusan Pepelrada Jawa Barat Nomor: 055/Pepelrada/DB/1967 tanggal 5 Februari 1967 tentang Pelepasan afiliasi Harian “Angkatan Bersenjata Edisi Jawa Barat” dari Harian “Angkatan Bersenjata Pusat.” Dengan keputusan ini terhitung 24 Maret 1967 Harian Umum Pikiran Rakyat terbit dengan wajah yang dikenali pembacanya sampai sekarang.
=== '''Bagian 3: Dari Senjakala Menyongsong Fajar''' ===
Enam tahun pertama sejak masa kelahirannya, bisa dikatakan merupakan masa-masa penuh keprihatinan. Kantor maupun peralatan cetak dan tulis bukanlah milik ''Pikiran Rakyat''. Pada masa ini, oplah ''Pikiran Rakyat'' pun tak pernah lebih dari 200.000 eksemplar per harinya. Namun berkat kegigihan dan keuletan yang didasari jiwa idealisme para perintis saat itu, ''Pikiran Rakyat'' secara pasti terus mendapat tempat di hati pembacanya.<ref>{{Cite news|title=57 Tahun Pikiran Rakyat, Lewati Masa Sulit Gelombang Pertama Era Konvergensi |url=https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-016465015/57-tahun-pikiran-rakyat-lewati-masa-sulit-gelombang-pertama-era-konvergensi?page=all|work=[[Pikiran Rakyat]]|language=id|access-date=2023-05-22}}</ref>
Baris 35 ⟶ 65:
== Grup Pikiran Rakyat ==
* [
* [
* [https://kabarcirebon.pikiran-rakyat.com/ Kabar Cirebon], beredar di wilayah [[Rebana (wilayah metropolitan)|Rebana]] dan sekitarnya.
* [
* [
* [https://aceh.pikiran-rakyat.com/ Pikiran Rakyat Aceh], beredar di Provinsi [[Aceh]].
* [
* [http://sumbar.pikiran-rakyat.com/ Pikiran Rakyat Sumbar], beredar di Provinsi [[Sumatera Barat]].
* [http://sumsel.pikiran-rakya.com/ Pikiran Rakyat Sumsel], beredar di Provinsi [[Sumatera Selatan]].
* [https://
* [https://bangka.pikiran-rakyat.com/redaksi Pikiran Rakyat Bangka Belitung], beredar di Provinsi [[Kepulauan Bangka Belitung|Bangka Belitung]].
* [https://seputarlampung.pikiran-rakyat.com/ Pikiran Rakyat Lampung], beredar di Provinsi [[Lampung]].
* [http://riau.pikiran-rakyat.com Pikiran Rakyat Riau], beredar di Provinsi [[Riau]].
* [https://kepri.pikiran-rakyat.com/redaksi Pikiran Rakyat Kepulauan Riau], beredar di Provinsi [[Kepulauan Riau]].
== Referensi ==
|