Pikiran Rakyat: Perbedaan antara revisi
[revisi tidak terperiksa] | [revisi tidak terperiksa] |
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Perubahan pada deskripsi dan sejarah Pikiran Rakyat sebagai kantor saya pribadi Tag: kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan VisualEditor |
k Mencantumkan sumber kredibel dari pembahasan teks wikipedia ini |
||
Baris 2:
| name = Pikiran Rakyat
| logo = [[Berkas:Pikiran Rakyat.jpg|180px]]
| type = Kelompok Usaha Multi Media
| foundation = {{start date and age|1966|3|24}} secara de facto
{{start date and age|1967|4|21}} secara de jure
| firstdate = 21 April 1967 (de jure) dan 24 Maret 1966 (de facto)
| publisher = Pikiran Rakyat
| headquarters = [[Bandung]], Indonesia
Baris 12 ⟶ 13:
| motto = ''Dari Rakyat - Oleh Rakyat - Untuk Rakyat''
| language = Indonesia
|founders=Sakti Alamsyah dan Atang Ruswita|caption=
'''[https://www.pikiran-rakyat.com/ Pikiran Rakyat]''' adalah kelompok usaha media yang bertumbuh di [[Jawa Barat]] dan [[Banten]] dari sebuah gagasan yang progresif pada masanya. Berbeda dengan perusahaan media Indonesia pada umumnya, Pikiran Rakyat bukan milik seorang atau sekelompok pemilik modal. Sampai dengan perubahan-perubahan legalitas dalam rangka penyesuaian dengan aturan hukum dan perundang-undangan Republik Indonesia, Pikiran Rakyat secara kolektif dimiliki langsung oleh wartawan dan karyawannya sendiri.<ref><nowiki>{{ Akta nomor: 35 pendirian ‘Jajasan “Pikiran Rakjat” Bandung’ yang dibuat oleh notaris Noezar, S.H. di Bandung bertanggal 21 April 1967 yang mencantumkan nama sejumlah tokoh di Komando Daerah Militer VI Siliwangi saat itu: Hartono Rekso Dharsono, Satibi Darwis, Mohamad Nawawi Alif, Mohamad Moehsin, Masturi, Mohamad Moekim dan Apandi serta sejumlah wartawan, yaitu: Sakti Alamsjah, Atang Ruswita, Yoenoeswinoto, Amir Zainun, Bram Mucharam Darmaprawira, Soeharmono Tjitrosoewarno dan Parman Djajadiredja.}}</nowiki></ref> “Bebas dari praktek penghisapan dan penindasan oleh manusia atas manusia,” demikian asa yang terpenggal dari ayat 5 Pasal 4 Akta No. 35 Pendirian “Jajasan Pikiran Rakjat Bandung” sebagaimana dicatat Notaris Noezar di Bandung, 21 April 1967.<ref><nowiki>{{ Akta nomor: 35 pendirian ‘Jajasan “Pikiran Rakjat” Bandung’ yang dibuat oleh notaris Noezar, S.H. di Bandung bertanggal 21 April 1967 yang mencantumkan nama sejumlah tokoh di Komando Daerah Militer VI Siliwangi saat itu: Hartono Rekso Dharsono, Satibi Darwis, Mohamad Nawawi Alif, Mohamad Moehsin, Masturi, Mohamad Moekim dan Apandi serta sejumlah wartawan, yaitu: Sakti Alamsjah, Atang Ruswita, Yoenoeswinoto, Amir Zainun, Bram Mucharam Darmaprawira, Soeharmono Tjitrosoewarno dan Parman Djajadiredja.}}</nowiki></ref> Yayasan inilah yang selanjutnya merintis jalan pendirian PT Pikiran Rakyat Bandung yang saat ini telah disesuaikan legalitasnya dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.<ref><nowiki>{{ PT Pikiran Rakyat Bandung didirikan berdasarkan Akta nomor: 6 yang dibuat oleh notaris Noezar, S.H. di Bandung, bertanggal 9 April 1973, dan telah disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No.YA.5/212/10 bertanggal 13 Juni 1973 dan didaftarkan pada Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 20 Juni 1973. Anggaran Dasar Perseroan telah mengalami beberapa kali perubahan, antara lain berdasarkan Akta nomor: 5 yang dibuat oleh notaris In-in Inayat Amintapura, S.H. di Bandung, bertanggal 8 Oktober 2019, yang merubah maksud dan tujuan perseroan untuk disesuaikan dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI)}}</nowiki></ref> Sebagian besar dari mereka yang sekarang tercatat sebagai pemilik Pikiran Rakyat, selain koperasi karyawan, adalah ahli waris dari para pendiri di tahun 60-an itu.<ref><nowiki>{{ Akta nomor: 36 Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Pikiran Rakyat Bandung yang dibuat oleh notaris In-in Inayat Amintapura, S.H. di Bandung, bertanggal 19 April 2023, serta Surat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum nomor: AHU-AH.01.09-0121887 Perihal Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan PT Pikiran Rakyat Bandung bertanggal 19 Mei 2023.}}</nowiki></ref>
Dalam rentang lima puluh tahun sejak pendiriannya, Pikiran Rakyat sempat menjadi kisah keberhasilan media daerah yang memosisikan diri sejajar dengan media-media berskala nasional. Pernah dijuluki “konglomerat media Jawa Barat” di ranah persuratkabaran, Harian Umum Pikiran Rakyat yang menyandang slogan “Dari Rakyat-Oleh Rakyat-Untuk Rakyat” dengan kolom pojok “Ole-ole Si Kabayan” dan tokoh karikatur “Mang Ohle” dikelola oleh PT Pikiran Rakyat Bandung.
Baris 23 ⟶ 24:
=== '''Bagian 1: Tetap Berdiri Meski Ditinggal Pergi''' ===
'''Pada''' jaman pencerahan filsuf Immanuel Kant menerawang tentang gagasan yang selalu terbelenggu oleh ruang dan waktu. RUANG tempat gagasan Pikiran Rakyat bertumbuh adalah kantor redaksi yang ditinggal kosong di Jalan Asia Afrika nomor 133 Bandung, kancah perjuangan sejumlah wartawan dan karyawan pers yang pada tahun 1965 bertekad mempertahankan kehidupan jurnalistiknya dan melanjutkan penerbitan koran Pikiran Rakyat. Meskipun untuk mewujudkan itu mereka harus bekerja tanpa upah sambil mengusahakan sendiri biaya cetak koran lantaran Pikiran Rakyat diterlantarkan oleh penerbitnya: Bandung NV (''naamloze vennootschap'', akronim hukum dagang Belanda untuk perseroan terbatas atau dibaca ‘Bandung PT,’ ed.)<ref><nowiki>{{ Tulisan AN Ismanto: Persatuan Wartawan Indonesia: Jejak Panjang di Jalan Pers Indonesia (Dan Para Wartawan pun Akhirnya Berpolitik) hal. 188 yang turut mengisi buku Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Taufik Rahzen, et.al – Jakarta, I:BOEKOE, 2007. Sukarno akhirnya berhasil ‘memaksa’ PWI, yang semula independen, ke dalam Front Nasional, dengan alat doktrin Nasakom dan Manipol dalam sistem Pers Terpimpin sebagai bagian dari Demokrasi Terpimpin. Dan para wartawan pun akhirnya berpolitik. Sukarno menggunakan PWI sebagai alat untuk menghantam lawan-lawan politiknya, dengan cara memecat dari PWI para wartawan kritis yang dituduh ‘ada main’ dengan BPS yang juga dituduh ‘ada main’ dengan CIA.}}</nowiki></ref> yang ‘angkat kaki’ dan menerbitkan koran Mertju Suar, koran lain yang berafiliasi pada Muhammadiyah. Sejak itu maka wartawan dan karyawan pers di Pikiran Rakyat pun tercampak jadi pengangguran.
Adapun WAKTU yang membatasi tenggat perjuangan mereka adalah masa ketidakpastian di antara surutnya kekuasaan rezim Orde Lama dan bangkitnya dominasi rezim Orde Baru. Masa ketidakpastian tersebut dipicu oleh keputusan Presiden Sukarno yang dibuat gerah oleh iklim politik demokrasi liberal sehingga memberlakukan Demokrasi Terpimpin lewat Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Baris 31 ⟶ 32:
Kantor Berita Antara tanggal 12 September 1962 dinasionalisasi dengan Dekrit Presiden nomor: 307/1962. Lebih dari 20 penerbitan pers dibredel Pemerintah pada bulan Februari 1965. Tanggal 25 Maret 1965 Menteri Penerangan menerbitkan Surat Keputusan No.112/SK/KM/1965 tentang Norma-norma Pokok Pengusahaan Pers yang mewajibkan lembaga pers berafiliasi pada partai atau organisasi massa. Seperti yang telah diuraikan, penerbit Bandung NV memilih menerbitkan koran lain dan meninggalkan Pikiran Rakyat. Sejumlah wartawan dan karyawan yang tidak ikut dalam penerbitan koran Mertju Suar itu di-PHK oleh Bandung NV tanpa pesangon.
Direksi Bandung NV sendiri mempunyai sudut pandang berbeda mengenai jalannya peristiwa itu. Melalui biografi yang terbit pada tahun 1995 Djamal Ali berpendapat, Pikiran Rakyat disita karena perbedaan prinsip dan sikap politik. Djamal Ali menolak keras ketentuan pemerintah yang mengharuskan setiap surat kabar mengaitkan dirinya kepada partai politik atau ABRI. Maka sebagai penguasa Pangdam ikut campur tangan dan Pikiran Rakyat disita. Berkat bantuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang waktu itu menjabat Menteri Ekuin pada awal tahun 1970 Djamal memperoleh kembali gedung dan percetakan yang disita itu. Selanjutnya Djamal Ali menuturkan: “Setelah ‘kehilangan’ Pikiran Rakyat saya diminta membantu lahirnya surat kabar Mertju Suar di Bandung tahun 1966. Tokoh-tokoh di balik kelahiran surat kabar ini adalah Letjen Sudirman yang waktu itu menjabat sebagai komandan SESKOAD, Rahardjo, Mintaredja, dan beberapa teman lain."<ref><nowiki>{{ Djamal Ali: Sekilas Perjalanan Hidup Saya - Sebagaimana dituturkan kepada Cendrawati Suhartono dan Pradjoto, SH, MA – diterbitkan oleh SPS Pusat. Jakarta, 1995. Halaman 59, alinea ke-5: Maka, pada tahun 1950, saya bersama dengan antara lain A.Z. Sutan Palindih, H. Niti Sumantri, Semaun St. Kenaikan dan yang lainnya mendirikan harian Pikiran Rakyat, dan saya menjadi Pemimp[in Umumnya sampai tahun 1966. Dalam perkembangannya, ternyata Pikiran Rakyat menjadi surat kabar yang besar. Halaman 59, alinea ke-6: Pikiran Rakyat memang telah menjadi besar, tapi kemudian disita. Disita barang yang bergerak dan tidak bergerak. Untuk sesaat, penyitaan itu memang membuat saya tidak bisa bergerak. Halaman 62, alinea ke-1: Setelah “kehilangan” Pikiran Rakyat saya diminta untuk membantu lahirnya suratkabar Mertju Suar di Bandung tahun 1966. Tokoh-tokoh di balik kelahiran suratkabar ini adalah Letjen Sudirman yang waktu itu menjabat sebagai komandan SESKOAD, Rahardjo, Mintaredja, dan beberapa teman lain. Ketika mereka meminta saya untuk duduk di Mertju Suar saya menolak. Pada waktu itu saya katakan saya hanya sanggup untuk membantu dari “belakang layar.” Maka pada bulan-bulan pertama lahirnya surat kabar ini sayalah yang selalu menulis tajuk rencana.}}</nowiki></ref>
'''Tahun-tahun krisis'''. Semangat konfrontasi dengan Malaysia menyala. Blokade dunia Barat menjerumuskan Indonesia ke jurang inflasi yang buram. Pelosok negeri panas oleh ketegangan antara pendukung Sukarno ''versus'' mereka yang skeptis terhadap Pemimpin Besar Revolusi, antara warga yang bersimpati dengan sosialisme kontra warga lain yang antikomunisme. Teriakan demonstran “Ganyang PR” terdengar mengagetkan: "PR" maksudnya “Pikiran Rakyat” atau “Pemuda Rakyat” ''onderbouw''-nya PKI? Suasana mencekam Redaksi Pikiran Rakyat yang bertahan independen, nonpartai, dan berusaha tetap terbit meskipun ditelantarkan penerbitnya, sampai ketika momentum itu pecah: prahara 30 September 1965 berikut rentetan tragedi kemanusiaan serta kegalauan yang mengikutinya.
=== '''Bagian 2: Tempat Bersandar Menunggu Reda''' ===
'''Anatomi''' hubungan sipil-militer yang kompleks di Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan menyelubungi Jawa Barat dekade 50-an yang sarat oleh kekerasan, penderitaan rakyat yang terombang-ambing di rute pengungsian, serta perpecahan politik.<ref><nowiki>{{ Kekerasan, diplomasi, dan kemerdekaan (1949) - halaman 364-366, 378-379, (salah satu tulisan yang mengisi buku Merdeka: Perang Kemerdekaan dan Kebangkitan Republik yang Tak Pasti (1945-1950) - Harry Poeze dan Henk Schulte Nordholt, diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, Jakarta, 2023)}}</nowiki></ref> Dinamika itulah yang membingkai interaksi kalangan pers di Jawa Barat dengan Divisi Siliwangi (Kodam VI Siliwangi, saat itu).
Bagi kelancaran tugas jurnalistik pergaulan wartawan Pikiran Rakyat dengan sejumlah tokoh Siliwangi juga berfungsi sebagai kanal informasi di tengah atmosfir politik nasional yang ambigu dan penuh keraguan. Sebagai insan pers maupun masyarakat biasa hubungan antar personal itu sudah bertaut sejak kemelut [[Bandung Lautan Api]] 24 Maret 1946, sejalan romantika pengungsian.<ref><nowiki>{{"Saya Pilih Mengungsi" - Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan, Tim Penulis: Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo, Ummy Latifah Widodo, Kerja sama penggarapan Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung dan Penerbit Bunaya, Bandung, 2002.}}</nowiki></ref> Semasa pasukan Siliwangi "long march“ dari Jawa Barat ke ibukota [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] setelah [[Perjanjian Renville]] 17 Januari 1948 dan "''long march''" kembali ke Jawa Barat. Melalui pemberitaan para pewarta berkontribusi dalam kampanye 'pagar betis' menumpas gerombolan DI/TII hingga tertangkapnya [[Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo]].
Pada satu fragmen sejarah yang baru kemudian terungkap, sebagai seorang Mayor rupa-rupanya Ibrahim Adjie pada November 1948 turut mendampingi Letkol Alex Evert Kawilarang bersama Wakil Presiden sekaligus Perdana Menteri Mohammad Hatta mendamaikan pertikaian berdarah antara sesama laskar di [[Kabupaten Tapanuli Selatan|Tapanuli Selatan]], berkelindan dengan provokasi antar agama yang berbaur sentimen lokal untuk memisahkan diri dari Republik di depan agresi militer pasukan Belanda. Misi Hatta berhasil. Menjadi fakta menarik karena wilayah konflik di Tapanuli Selatan dan Sumatera Barat adalah kampung halaman sejumlah wartawan di Pikiran Rakyat.
|