Pikiran Rakyat: Perbedaan antara revisi
[revisi tidak terperiksa] | [revisi tidak terperiksa] |
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Mencantumkan sumber kredibel dari pembahasan teks wikipedia ini |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 17:
'''[https://www.pikiran-rakyat.com/ Pikiran Rakyat]''' adalah kelompok usaha media yang bertumbuh di [[Jawa Barat]] dan [[Banten]] dari sebuah gagasan yang progresif pada masanya. Berbeda dengan perusahaan media Indonesia pada umumnya, Pikiran Rakyat bukan milik seorang atau sekelompok pemilik modal. Sampai dengan perubahan-perubahan legalitas dalam rangka penyesuaian dengan aturan hukum dan perundang-undangan Republik Indonesia, Pikiran Rakyat secara kolektif dimiliki langsung oleh wartawan dan karyawannya sendiri.<ref><nowiki>{{ Akta nomor: 35 pendirian ‘Jajasan “Pikiran Rakjat” Bandung’ yang dibuat oleh notaris Noezar, S.H. di Bandung bertanggal 21 April 1967 yang mencantumkan nama sejumlah tokoh di Komando Daerah Militer VI Siliwangi saat itu: Hartono Rekso Dharsono, Satibi Darwis, Mohamad Nawawi Alif, Mohamad Moehsin, Masturi, Mohamad Moekim dan Apandi serta sejumlah wartawan, yaitu: Sakti Alamsjah, Atang Ruswita, Yoenoeswinoto, Amir Zainun, Bram Mucharam Darmaprawira, Soeharmono Tjitrosoewarno dan Parman Djajadiredja.}}</nowiki></ref> “Bebas dari praktek penghisapan dan penindasan oleh manusia atas manusia,” demikian asa yang terpenggal dari ayat 5 Pasal 4 Akta No. 35 Pendirian “Jajasan Pikiran Rakjat Bandung” sebagaimana dicatat Notaris Noezar di Bandung, 21 April 1967.<ref><nowiki>{{ Akta nomor: 35 pendirian ‘Jajasan “Pikiran Rakjat” Bandung’ yang dibuat oleh notaris Noezar, S.H. di Bandung bertanggal 21 April 1967 yang mencantumkan nama sejumlah tokoh di Komando Daerah Militer VI Siliwangi saat itu: Hartono Rekso Dharsono, Satibi Darwis, Mohamad Nawawi Alif, Mohamad Moehsin, Masturi, Mohamad Moekim dan Apandi serta sejumlah wartawan, yaitu: Sakti Alamsjah, Atang Ruswita, Yoenoeswinoto, Amir Zainun, Bram Mucharam Darmaprawira, Soeharmono Tjitrosoewarno dan Parman Djajadiredja.}}</nowiki></ref> Yayasan inilah yang selanjutnya merintis jalan pendirian PT Pikiran Rakyat Bandung yang saat ini telah disesuaikan legalitasnya dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.<ref><nowiki>{{ PT Pikiran Rakyat Bandung didirikan berdasarkan Akta nomor: 6 yang dibuat oleh notaris Noezar, S.H. di Bandung, bertanggal 9 April 1973, dan telah disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No.YA.5/212/10 bertanggal 13 Juni 1973 dan didaftarkan pada Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 20 Juni 1973. Anggaran Dasar Perseroan telah mengalami beberapa kali perubahan, antara lain berdasarkan Akta nomor: 5 yang dibuat oleh notaris In-in Inayat Amintapura, S.H. di Bandung, bertanggal 8 Oktober 2019, yang merubah maksud dan tujuan perseroan untuk disesuaikan dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI)}}</nowiki></ref> Sebagian besar dari mereka yang sekarang tercatat sebagai pemilik Pikiran Rakyat, selain koperasi karyawan, adalah ahli waris dari para pendiri di tahun 60-an itu.<ref><nowiki>{{ Akta nomor: 36 Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Pikiran Rakyat Bandung yang dibuat oleh notaris In-in Inayat Amintapura, S.H. di Bandung, bertanggal 19 April 2023, serta Surat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum nomor: AHU-AH.01.09-0121887 Perihal Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan PT Pikiran Rakyat Bandung bertanggal 19 Mei 2023.}}</nowiki></ref>
Dalam rentang lima puluh tahun sejak pendiriannya, Pikiran Rakyat sempat menjadi kisah keberhasilan media daerah yang memosisikan diri sejajar dengan media-media berskala nasional. Pernah dijuluki “konglomerat media Jawa Barat”<ref>{{Cite news|title= Liputan Majalah Pantau edisi 1 Juli 2002 “Konglomerat Media Jawa Barat” ditulis oleh Agus Sopian. “PR pada akhirnya mampu memosisikan dirinya sebagai salah satu koran papan atas di sektor periklanannya. Membuka halaman demi halaman PR, ibaratnya seperti menyimak lembaran yellow pages.” |url=https://www.pantau.or.id/liputan/2002/07/konglomerat-media-jawa-barat/|work=[[Pantau]]|language=id|access-date=2024-09-04}}</ref> di ranah persuratkabaran, Harian Umum Pikiran Rakyat yang menyandang slogan “Dari Rakyat-Oleh Rakyat-Untuk Rakyat” dengan kolom pojok “Ole-ole Si Kabayan” dan tokoh karikatur “Mang Ohle” dikelola oleh PT Pikiran Rakyat Bandung.<ref>{{Cite news|title= Harian Umum Pikiran Rakjat di Bandung, 1950-1965: Pers Lokal yang Berorientasi Nasional, ringkasan skripsi sarjana yang ditulis oleh Euis Iskantini, S.Pd. untuk Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung dan diterbitkan di HISTORIA: Jurnal Pendidikan Sejarah, No.6, Vol.III (Desember 2002). Sosok “Mang Ohle” itu ditampilkan sebagai wakil dari rakyat kebanyakan. Menurut Soeharmono Tjitrosoewarno, filosofi yang terkandung dari hadirnya tokoh “Mang Ohle” ini adalah agar Pikiran Rakjat selalu dekat dengan pembacanya, dalam hal ini masyarakat Sunda |url=https://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/harian-umum-pikiran-rakjat-di-bandung-1950-1965-pers-lokal-yang-berorientasi-nasional/|work=[[UPI]]|language=id|access-date=2024-09-04}}</ref>
Di kawasan Priangan dan [[Banten]], sejumlah penerbitan koran lokal dikelola anak-anak perusahaan: [https://kabarbanten.pikiran-rakyat.com/ PT Berkah Pikiran Rakyat] dan [https://kabarpriangan.pikiran-rakyat.com/ PT Fajar Pikiran Rakyat]. Koran mingguan [https://galura.pikiran-rakyat.com/ Galura] merupakan wujud kontribusi sosial Pikiran Rakyat turut merawat bahasa lokal Sunda. PT Percetakan dan Penerbitan Granesia merupakan wujud krida para pendiri di sektor grafika pers. Adapun [https://prfmnews.pikiran-rakyat.com/ PT Mustika Parahyangan] mengelola khazanah penyiaran. Di platform digital sejak tahun 2019, Pikiran Rakyat mempercayakan pengelolaan medianya ke [https://www.pikiran-rakyat.com/ PT Kolaborasi Mediapreneur Nusantara].
Baris 24:
=== '''Bagian 1: Tetap Berdiri Meski Ditinggal Pergi''' ===
'''Pada''' jaman pencerahan filsuf Immanuel Kant menerawang tentang gagasan yang selalu terbelenggu oleh ruang dan waktu. RUANG tempat gagasan Pikiran Rakyat bertumbuh adalah kantor redaksi yang ditinggal kosong di Jalan Asia Afrika nomor 133 Bandung, kancah perjuangan sejumlah wartawan dan karyawan pers yang pada tahun 1965 bertekad mempertahankan kehidupan jurnalistiknya dan melanjutkan penerbitan koran Pikiran Rakyat. Meskipun untuk mewujudkan itu mereka harus bekerja tanpa upah sambil mengusahakan sendiri biaya cetak koran lantaran Pikiran Rakyat diterlantarkan oleh penerbitnya: Bandung NV (''naamloze vennootschap'', akronim hukum dagang Belanda untuk perseroan terbatas atau dibaca ‘Bandung PT,’ ed.)<ref><nowiki>{{ Tulisan AN Ismanto: Persatuan Wartawan Indonesia: Jejak Panjang di Jalan Pers Indonesia (Dan Para Wartawan pun Akhirnya Berpolitik) hal. 188 yang turut mengisi buku Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Taufik Rahzen, et.al – Jakarta, I:BOEKOE, 2007. Sukarno akhirnya berhasil ‘memaksa’ PWI, yang semula independen, ke dalam Front Nasional, dengan alat doktrin Nasakom dan Manipol dalam sistem Pers Terpimpin sebagai bagian dari Demokrasi Terpimpin. Dan para wartawan pun akhirnya berpolitik. Sukarno menggunakan PWI sebagai alat untuk menghantam lawan-lawan politiknya, dengan cara memecat dari PWI para wartawan kritis yang dituduh ‘ada main’ dengan BPS yang juga dituduh ‘ada main’ dengan CIA.}}</nowiki></ref> yang ‘angkat kaki’ dan menerbitkan koran Mertju Suar, koran lain yang berafiliasi pada Muhammadiyah. Sejak itu maka wartawan dan karyawan pers di Pikiran Rakyat pun tercampak jadi pengangguran.<ref>{{Cite news|title= Isi wawancara dengan Atang Ruswita (Bandung: 25 Oktober 1997) yang mengisi artikel Wacana Kritik Media: Kajian atas Harian “Pikiran Rakyat,” ditulis oleh Suwirta dan dimuat di jurnal WACANA, Vol. 1, No. 2, Oktober 1999. Dalam kenangan kolektif staf redaksi Pikiran Rakyat, termasuk Atang Ruswita (Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi sekarang), peristiwa itu merupakan pukulan telak yang sangat tidak menyenangkan dan telah menjadikan mereka sebagai jurnalis gelandangan yang sebenarnya. |url= https://media.neliti.com/media/publications/181033-ID-wacana-kritik-media-kajian-atas-harian-p.pdf|work=[[Neliti]]|language=id|access-date=2024-09-04}}</ref>
Adapun WAKTU yang membatasi tenggat perjuangan mereka adalah masa ketidakpastian di antara surutnya kekuasaan rezim Orde Lama dan bangkitnya dominasi rezim Orde Baru. Masa ketidakpastian tersebut dipicu oleh keputusan Presiden Sukarno yang dibuat gerah oleh iklim politik demokrasi liberal sehingga memberlakukan Demokrasi Terpimpin lewat Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Baris 30:
Semua sektor kehidupan saat itu diarahkan pada Manifesto Politik tentang Undang Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional(Manipol Usdek). Dalam pidato yang berjudul ''Rediscovery'' Sukarno juga menyatakan kecewa pada PWI (Persatuan Wartawan Indonesia, ed.). Sejumlah wartawan dipecat dari keanggotaan PWI karena dianggap berhaluan PSI (Partai Sosialis Indonesia, partainya Sutan Syahrir yang pada tahun 1960 dibubarkan oleh Sukarno, ed.) atau karena dituduh “ada main” dengan BPS (Badan Pendukung Sukarno, yang dibentuk sejumlah tokoh politik untuk menjauhkan Sukarno dari Partai Komunis Indonesia namun karena itu justru jadi tidak disukai oleh Sukarno yang menuduh BPS justru “ada main” dengan ''Central Intelligence Agency'' – dengan rencana ''..to kill Sukarno with Sukarnoism'', ed.) Sejumlah wartawan Pikiran Rakyat pun jadi ''persona non grata'' di lembaga-lembaga pers yang semakin condong ke kiri.
Kantor Berita Antara tanggal 12 September 1962 dinasionalisasi dengan Dekrit Presiden nomor: 307/1962. Lebih dari 20 penerbitan pers dibredel Pemerintah pada bulan Februari 1965. Tanggal 25 Maret 1965 Menteri Penerangan menerbitkan Surat Keputusan No.112/SK/KM/1965 tentang Norma-norma Pokok Pengusahaan Pers yang mewajibkan lembaga pers berafiliasi pada partai atau organisasi massa. Seperti yang telah diuraikan, penerbit Bandung NV memilih menerbitkan koran lain dan meninggalkan Pikiran Rakyat. Sejumlah wartawan dan karyawan yang tidak ikut dalam penerbitan koran Mertju Suar itu di-PHK oleh Bandung NV tanpa pesangon.<ref>{{Cite news|title= Isi wawancara dengan Atang Ruswita (Bandung: 25 Oktober 1997) yang mengisi artikel Wacana Kritik Media: Kajian atas Harian “Pikiran Rakyat,” ditulis oleh Suwirta dan dimuat di jurnal WACANA, Vol. 1, No. 2, Oktober 1999. Dalam kenangan kolektif staf redaksi Pikiran Rakyat, termasuk Atang Ruswita (Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi sekarang), peristiwa itu merupakan pukulan telak yang sangat tidak menyenangkan dan telah menjadikan mereka sebagai jurnalis gelandangan yang sebenarnya. |url= https://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/harian-umum-pikiran-rakjat-di-bandung-1950-1965-pers-lokal-yang-berorientasi-nasional/|work=[[UPI]]|language=id|access-date=2024-09-04}}</ref>
Direksi Bandung NV sendiri mempunyai sudut pandang berbeda mengenai jalannya peristiwa itu. Melalui biografi yang terbit pada tahun 1995 Djamal Ali berpendapat, Pikiran Rakyat disita karena perbedaan prinsip dan sikap politik. Djamal Ali menolak keras ketentuan pemerintah yang mengharuskan setiap surat kabar mengaitkan dirinya kepada partai politik atau ABRI. Maka sebagai penguasa Pangdam ikut campur tangan dan Pikiran Rakyat disita. Berkat bantuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang waktu itu menjabat Menteri Ekuin pada awal tahun 1970 Djamal memperoleh kembali gedung dan percetakan yang disita itu. Selanjutnya Djamal Ali menuturkan: “Setelah ‘kehilangan’ Pikiran Rakyat saya diminta membantu lahirnya surat kabar Mertju Suar di Bandung tahun 1966. Tokoh-tokoh di balik kelahiran surat kabar ini adalah Letjen Sudirman yang waktu itu menjabat sebagai komandan SESKOAD, Rahardjo, Mintaredja, dan beberapa teman lain."<ref><nowiki>{{ Djamal Ali: Sekilas Perjalanan Hidup Saya - Sebagaimana dituturkan kepada Cendrawati Suhartono dan Pradjoto, SH, MA – diterbitkan oleh SPS Pusat. Jakarta, 1995. Halaman 59, alinea ke-5: Maka, pada tahun 1950, saya bersama dengan antara lain A.Z. Sutan Palindih, H. Niti Sumantri, Semaun St. Kenaikan dan yang lainnya mendirikan harian Pikiran Rakyat, dan saya menjadi Pemimp[in Umumnya sampai tahun 1966. Dalam perkembangannya, ternyata Pikiran Rakyat menjadi surat kabar yang besar. Halaman 59, alinea ke-6: Pikiran Rakyat memang telah menjadi besar, tapi kemudian disita. Disita barang yang bergerak dan tidak bergerak. Untuk sesaat, penyitaan itu memang membuat saya tidak bisa bergerak. Halaman 62, alinea ke-1: Setelah “kehilangan” Pikiran Rakyat saya diminta untuk membantu lahirnya suratkabar Mertju Suar di Bandung tahun 1966. Tokoh-tokoh di balik kelahiran suratkabar ini adalah Letjen Sudirman yang waktu itu menjabat sebagai komandan SESKOAD, Rahardjo, Mintaredja, dan beberapa teman lain. Ketika mereka meminta saya untuk duduk di Mertju Suar saya menolak. Pada waktu itu saya katakan saya hanya sanggup untuk membantu dari “belakang layar.” Maka pada bulan-bulan pertama lahirnya surat kabar ini sayalah yang selalu menulis tajuk rencana.}}</nowiki></ref>
Baris 41:
Bagi kelancaran tugas jurnalistik pergaulan wartawan Pikiran Rakyat dengan sejumlah tokoh Siliwangi juga berfungsi sebagai kanal informasi di tengah atmosfir politik nasional yang ambigu dan penuh keraguan. Sebagai insan pers maupun masyarakat biasa hubungan antar personal itu sudah bertaut sejak kemelut [[Bandung Lautan Api]] 24 Maret 1946, sejalan romantika pengungsian.<ref><nowiki>{{"Saya Pilih Mengungsi" - Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan, Tim Penulis: Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo, Ummy Latifah Widodo, Kerja sama penggarapan Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung dan Penerbit Bunaya, Bandung, 2002.}}</nowiki></ref> Semasa pasukan Siliwangi "long march“ dari Jawa Barat ke ibukota [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] setelah [[Perjanjian Renville]] 17 Januari 1948 dan "''long march''" kembali ke Jawa Barat. Melalui pemberitaan para pewarta berkontribusi dalam kampanye 'pagar betis' menumpas gerombolan DI/TII hingga tertangkapnya [[Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo]].
Pada satu fragmen sejarah yang baru kemudian terungkap, sebagai seorang Mayor rupa-rupanya Ibrahim Adjie pada November 1948 turut mendampingi Letkol Alex Evert Kawilarang bersama Wakil Presiden sekaligus Perdana Menteri Mohammad Hatta mendamaikan pertikaian berdarah antara sesama laskar di [[Kabupaten Tapanuli Selatan|Tapanuli Selatan]], berkelindan dengan provokasi antar agama yang berbaur sentimen lokal untuk memisahkan diri dari Republik di depan agresi militer pasukan Belanda.<ref>{{Cite news|title= Kisah Legiun Penggempur Naga Terbang, Doa di Bawah Rumpun Bunga Matahari (2), oleh Dr. Midian Sirait (Diterbitkan mengisi Historia edisi 16 Agustus 2010) |url= https://socio-politica.com/2010/08/16/kisah-legiun-penggempur-naga-terbang-doa-di-bawah-rumpun-bunga-matahari-2-2/|work=[[Historia]]|language=id|access-date=2024-09-04}}</ref> Misi Hatta berhasil. Menjadi fakta menarik karena wilayah konflik di Tapanuli Selatan dan Sumatera Barat adalah kampung halaman sejumlah wartawan di Pikiran Rakyat.
Dalam riwayat Indonesia pasca kemerdekaan sosok Ibrahim Adjie dikenang sebagai jenderal kesayangan Sukarno. Apalagi dengan suksesnya penumpasan DI/TII di Jawa Barat. Meskipun secara ideologis bukan Sukarnois namun Ibrahim Adjie menaruh kesetiaan tinggi pada Sukarno.<ref>{{Cite news|title= Loyalis Sukarno Bernama Ibrahim Adjie – Kala situasi kritis, Presiden Sukarno sangat mempercayai Ibrahim Adjie, oleh Martin Sitompul (Diterbitkan mengisi Historia edisi 7 September 2017) |urlhttp://historia.id/militer/articles/loyalis-sukarno-bernama-ibrahim-adjie-vZ5AB |work=[[Historia]]| language=id | access-date=2024-09-04}}</ref> “Bung Karno adalah pemimpinku yang tertera dalam Caturlaksana Siliwangi,” demikian dikutip David Jenkins dalam bukunya "Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer di Indonesia 1975-1983." Pada 28 Agustus 1965 Presiden Sukarno menyerahkan anugerah Sam Karya Nugraha kepada Divisi Siliwangi, anugerah tertinggi pertama dan satu-satunya sepanjang pemerintahan Sukarno. “Hal ini menunjukkan kecintaan Bung Karno secara pribadi kepada Siliwangi dan panglimanya Mayor Jenderal Ibrahim Adjie,” tulis Julius Pour dalam buku "Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang," yang diterbitkan PT Kompas Media Nusantara di Jakarta, 2010.
Periode 1965-1966 merupakan ujian hidup yang berat bagi insan Pikiran Rakyat. Sejak terkendala oleh terbitnya Surat Keputusan Menteri Penerangan No.112/SK/KM/1965, sehingga diterlantarkan oleh penerbitnya Bandung NV (Bandung PT), sampai dinyatakan mati lewat penerbitan No.1 Tahun 1 Warta Harian Mertju Suar pada 1 Februari 1966 wartawan pun bekerja serabutan. Menyambung hidup dengan menulis, bikin komik, mencari “berita eceran” buat media lain atau menyalurkan karya tulisnya lewat media lain yang dikelola [[Komando Daerah Militer III/Siliwangi|Kodam VI/Siliwangi]] seperti Harapan Rakyat atau Harian Berita Yudha. Berdiskusi dan menunggu.
Sampai sinyal ''go ahead'' dari Ibrahim Adjie disampaikan melalui Sakti Alamsyah, Amir Zainun, Yoenoeswinoto dan Parman Djajadiredja. Pada saat kisah ini dituliskan para tokoh tersebut sudah wafat semuanya. Kabar baik itu, wartawan Pikiran Rakyat bergabung dulu dengan penerbitan suratkabar “Harian Angkatan Bersenjata” Edisi Jawa Barat yang berafiliasi dengan Harian Angkatan Bersenjata yang terbit di Jakarta. Rekomendasi tertuang dalam Surat Keputusan Pepelrada Jawa Barat Nomor: 04/Pepelrada/BD/1966 tanggal 31 Januari 1966. Maka nomor perdana Harian “Angkatan Bersenjata” Edisi Jawa Barat (dengan kop "Pikiran Rakyat" yang dicetak kecil) terbit pada 24 Maret 1966. Bertepatan dengan peringatan ke-20 epos “Bandung Lautan Api."<ref>{{Cite news|title= Sejarah Pikiran Rakyat Bandung yang dikompilasi oleh Dian Puspita, Universitas Komputer Indonesia, dari hasil penelitian yang dilaksanakan antara 18 Juli sampai dengan 19 Agustus 2011|url= https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/551/jbptunikompp-gdl-dianapuspi-27540-1-unikom_d-i.pdf |work=[[UPI]]| language=id| access-date=2024-09-04}}</ref>
Tidak sampai setahun “Angkatan Bersenjata” Edisi Jawa Barat terbit, Menteri Penerangan RI mencabut lagi ketentuan tentang afiliasi penerbitan media. Panglima Siliwangi yang baru menggantikan Ibrahim Adjie, HR. Dharsono segera mengeluarkan surat keputusan Pepelrada Jawa Barat Nomor: 055/Pepelrada/DB/1967 tanggal 5 Februari 1967 tentang Pelepasan afiliasi Harian “Angkatan Bersenjata Edisi Jawa Barat” dari Harian “Angkatan Bersenjata Pusat.” Dengan keputusan ini terhitung 24 Maret 1967 Harian Umum Pikiran Rakyat terbit dengan wajah yang dikenali pembacanya sampai sekarang.
|