Nagari: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
Baris 32:
Terdapat dua aliran besar dalam sistem pemerintahan nagari di [[Minangkabau]] yakni ''[[Lareh Koto Piliang|Koto Piliang]]'' dan ''[[Lareh Bodi Caniago|Bodi Caniago]]'' yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada masa [[Yunani]] kuno.<ref>{{cite book|last=Bonner|first=Robert Johnson|year=1933|title=Aspects of Athenian democracy Vol 11|publisher=University of California Press|isbn=|pages=25—86|url-status=live|coauthors=}}</ref> Selain dipengaruhi oleh tradisi [[adat]], struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama [[Islam]], dan pada suatu masa pernah muncul konflik akibat pertentangan kedua pengaruh ini, yang kemudian dapat diselesaikan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam konsep ''Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah''.<ref>Haris, Syamsuddin, (2005), ''Pemilu langsung di tengah oligarki partai: proses nominasi dan seleksi calon legislatif Pemilu 2004'', Gramedia Pustaka Utama, ISBN 978-979-22-1695-0.</ref>
Nagari merupakan unit pemungkiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat, nagari memiliki teritorial beserta batasnya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu beberapa kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi nagari
''A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History'' The Journal of Asian Studies, Vol. 67, No. 3 (Aug., 2008), pp. 971-1010
</ref>
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu ''Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu''. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan ''Taratak'', kemudian berkembang menjadi ''Dusun'', kemudian berkembang menjadi ''Koto'' dan kemudian berkembang menjadi ''Nagari'', yang dipimpin secara bersama oleh para [[penghulu]] atau [[datuk]] setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk itu minimal telah terdiri dari 4 suku (klan) yang mendomisili kawasan tersebut.<ref name="Batuah">Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), ''Tambo Minangkabau dan Adatnya'', Jakarta: Balai Pustaka.</ref>
[[Berkas:Balai, raadszaal, op Sumatra's Westkust KITLV 82838.tiff|jmpl|Balai nagari di pantai barat
Dalam laporannya [[Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers|de Stuers]]<ref>Laporan kepada Gubernur Jendral, 30 Agustus 1825, ''Exhibitum'', 24 Agustus 1826, No. 41.</ref> menyimpulkan bahwa pada daerah pedalaman Minangkabau tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat
Pada tahun [[1914]] dikeluarkan ordonansi nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah [[Hindia Belanda]]. Hal ini dilakukan dengan asumsi untuk mendapatkan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai kepala nagari atau [[wali nagari]], sehingga posisi [[penghulu]] suku kehilangan fungsi tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, jabatan kepala laras dan kepala nagari ini, yang sebelumnya asing akhirnya dapat diterima dan menjadi ''tradisi adat'', di mana jabatan ini juga akhirnya turut diwariskan kepada kemenakan dari pemegang jabatan sebelumnya.<ref>''Verbaal'', 22 Januari 1875, No. 39.</ref> Namun sekarang jabatan ''tuanku laras'' sudah dihapus sedangkan ''wali nagari'' tidak boleh diwariskan kepada kemenakan yang memegang jabatan sebelumnya tetapi tetap harus dipilih secara demokratis.
Setelah proklamasi kemerdekaan, sistem pemerintahan nagari ini diubah agar lebih sesuai dengan keadaan waktu itu. Pada tahun [[1946]] diadakan pemilihan langsung di seluruh
Namun setelah keluarnya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom, maka sejak itu pemerintahan nagari hampir tidak berperan lagi. Dan kemudian ditambah sewaktu Kabinet [[Mohammad Natsir]] tahun [[1951]] membekukan Dewan Perwakilan Rakyat di Provinsi Sumatra Tengah yang juga mencakup wilayah
Tahun [[1974]] Gubernur [[Harun Zain]] memutuskan untuk mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun [[1979]] tentang pemerintahan desa, sistem nagari dihilangkan dan jorong digantikan statusnya menjadi [[desa]]. Kedudukan wali nagari dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para [[kepala desa]].
Semenjak tanggal 1 Agustus 1983, seluruh nagari-nagari yang ada di
desa atau kelurahan adalah bagian dari wilayah kecamatan. Dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat
yang berwenang mengangkat melalui Camat, dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada [[Lembaga Musyawarah Desa]] (LMD).<ref>https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/ham/article/view/68</ref>
Baris 54:
Meskipun demikian nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. [[Peraturan daerah]] No. 13 tahun 1983 mengatur tentang pendirian [[Kerapatan adat nagari|Kerapatan Adat Nagari]] (KAN) di tiap-tiap nagari yang lama. Namun KAN sendiri tidak memiliki kekuasaan formal.
Perubahan peta politik nasional yang terjadi, membangkitkan kembali semangat masyarakat
Dan pada tahun [[2004]], untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan [[pemerintahan daerah]], dan UU No 22 Tahun 1999 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, kemudian [[Presiden Indonesia]] dengan persetujuan [[Dewan Perwakilan Rakyat]] secara bersama, disahkanlah Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengantikan undang undang UU No 22 Tahun 1999. Dan dari [[undang-undang]] baru ini diharapkan munculnya pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dan sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut maka keluarlah [[Peraturan pemerintah|Peraturan Pemerintah]] Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa, yang menekankan prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan keanekaragaman daerah, yang memiliki makna bahwa istilah ''desa'' dapat disesuaikan dengan asal
== Lihat pula ==
|