Tradisi Dhammakaya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 1:
{{Buddhisme}}{{Buddhisme Theravada}}'''Tradisi Dhammakaya''' atau '''Gerakan Dhammakaya''' (juga disebut '''Thammakaai'''{{sfn|Taylor|2016|pp=37{{en dash}}9}}), dikenal sebagai '''Majelis Agama Buddha Mahanikaya Indonesia''' meskipun tidak mewakili seluruh ordo [[Mahā Nikāya]] Thai,<ref>{{Cite web|last=RI|first=Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha-Kementerian Agama|title=Waisak Mahanikaya Indonesia, Nyoman Jadi Baik Bangun Bangsa {{!}} Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI|url=https://bimasbuddha.kemenag.go.id/waisak-mahanikaya-indonesia-nyoman-jadi-baik-bangun-bangsa-berita-443.html|website=Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha - Kementerian Agama RI|language=ID|access-date=2024-09-16}}</ref> adalah tradisi kontroversial dalam Buddhisme Thailand yang didirikan oleh Luang Pu Sodh Candasaro pada awal abad ke-20. Tradisi ini dikaitkan dengan beberapa kuil yang merupakan turunan dari Wat Paknam Bhasicharoen di Bangkok.
Tradisi ini dibedakan dari tradisi Buddhisme Thailand lainnya melalui ajarannya tentang konsep Dhammakaya dan praktik meditasi Dhammakaya (Vijja Dhammakaya), sebuah metode yang oleh para ahli dikaitkan dengan tradisi [[Yogavacara]] (aliran [[Vajrayana]]), yang sudah ada sejak sebelum masa reformasi Buddhisme Thailand pada abad ke-19. Tradisi Dhammakaya dikenal karena ajarannya bahwa ada "Diri Sejati" (''atta'') yang terhubung dengan [[Nirwana]], yang secara khusus dikritik pada tahun 1990-an sebagai dugaan kontradiksi terhadap ajaran tradisional Buddhisme [[Theravāda]] tentang [[Tanpa atma|''anatta'' (bukan-Diri)]]. Beberapa ahli Theravāda, seperti Bhante Payutto, para ahli agama, para biksu, dan akademisi Thailand, telah mengkritik pandangan yang dipegang oleh gerakan ini.
Tradisi Dhammakaya dipandang oleh para pengikutnya sebagai bentuk kebangkitan kembali Buddhisme yang dipelopori oleh Luang Pu Sodh Candasaro. Para sarjana Studi Buddhisme telah menggambarkan aspek-aspek praktiknya sebagai sesuatu yang memiliki karakteristik apologetika agama dan modernisme Buddhis. Ciri-ciri tradisi tersebut meliputi pengajaran meditasi dalam kelompok, pengajaran meditasi secara bersamaan kepada para biarawan dan umat awam, dan penekanan pada penahbisan seumur hidup.
Baris 23:
{{See also|Meditasi Dhammakaya}}
Meditasi merupakan praktik terpenting dari semua kuil utama dalam gerakan Dhammakaya. Sistem meditasi dalam tradisi ini membedakannya dari Buddhisme
Hal yang dianggap penting dalam proses ini adalah "pusat tubuh", yang dijelaskan dengan tepat oleh Luang Pu Sodh sebagai titik yang berjarak dua jari di atas pusar setiap orang: teknik apa pun yang digunakan seseorang untuk bermeditasi, pikiran hanya dapat mencapai tingkat wawasan yang lebih tinggi melalui pusat ini. Pusat ini juga diyakini memainkan peran mendasar dalam kelahiran dan kematian seseorang.{{sfn|Fuengfusakul|1998|p=84}} Bagian tengah tubuh juga digambarkan sebagai "ujung napas", titik terdalam di perut tempat napas bergerak maju mundur.{{sfn|Cholvijarn|2019|pp=149, 268, 388}}
Baris 47:
Menurut tradisi Dhammakaya, Sang Buddha telah menemukan bahwa Nirwana adalah Diri Sejati ({{lang-pi|attā|link=no|italic=yes}}). Tradisi ini menyebut Diri Sejati ini sebagai Dhammakāya, esensi spiritual.{{sfn|Scott|2009|p=52}}{{sfn|Mackenzie|2007}} Tradisi ini percaya bahwa hakikat Buddha dan Nirwana ini ada sebagai realitas literal dalam diri setiap individu.{{sfn|Fuengfusakul|1993|p=173}}{{sfn|Zehner|1990|p=414}}{{sfn|Mackenzie|2007|p=31}} Ajaran tanpa-diri ({{lang-pi|anattā|italic=yes|link=no}}) dianggap oleh tradisi ini sebagai sarana untuk melepaskan apa yang bukan diri, untuk mencapai Diri Sejati.{{sfn|Harvey|2013|p=390}} Menurut sarjana studi Buddhis Paul Williams,{{blockquote|"Meditasi [Dhammakaya] melibatkan realisasi, saat pikiran mencapai keadaan paling murni, dari "Tubuh Dhamma" (''dhammakaya'') yang tak bersyarat dalam bentuk sosok Buddha yang bercahaya, cemerlang, dan jernih, bebas dari segala kekotoran dan berada di dalam tubuh praktisi. Nirwana adalah Diri Sejati, dan ini juga merupakan ''dhammakaya''."{{sfn|Williams|2008|p=126}}}}
====
Beberapa kepercayaan dan praktik tradisi Dhammakaya–seperti tentang Nirwana, “Diri Sejati”, dan meditasi–telah dikritik karena dianggap menentang atau menolak ajaran dan praktik [[Theravāda]] arus utama oleh lembaga dan cendekiawan Buddhis tradisional Thailand.{{refn|See {{harvnb |Scott |2009 |pp=3, 82, 129–130, 140}}: "... critique of the Dhammakaya Temple's wealth and alleged heretical teachings and practices ..." (p. 3); "... high ranking monastic officials who alleged that Phra Dhammachayo had violated the monastic code of conduct by teaching heretical views on nirvana". (pp. 129–130); ff.; {{harvtxt|Scott |2008 |pages=231, 248}}; {{harvtxt|Taylor|2016|pp=55–57}} ; and {{harvnb|Mackenzie|2007|pp=16{{en dash}}7, 50{{en dash}}2, 175–9}}: "Thailand's highly regarded scholar monk, Phra Dhammapitaka [Prayudh Payutto] sought to identify Wat Phra Dhammakaya's position as heretical by commenting, 'In all Buddhist scriptures, both the Tipitaka and the commentaries, there is no evidence that nibbana is atta. But there is much evidence that nibbana is anatta ...'" (p. 51); "... his understanding of the Pali scriptures clearly demonstrates to the Thai that the movement is heretical in its beliefs" (p. 16)}}<ref name="Hackett2008p231">{{cite book|year=2008|url=https://books.google.com/books?id=ZHHXAAAAMAAJ|title=Proselytization Revisited: Rights Talk, Free Markets and Culture Wars|publisher=Equinox|isbn=978-1-84553-227-7|editor=Rosalind I. J. Hackett|pages=231, 248|access-date=15 December 2018}}</ref><ref name="Malikhao2017p18">{{cite book|author=Patchanee Malikhao|year=2017|url=https://books.google.com/books?id=zLXHDgAAQBAJ&pg=PA18|title=Culture and Communication in Thailand|publisher=Springer|isbn=978-981-10-4125-9|pages=18–19|access-date=7 December 2018|archive-url=https://web.archive.org/web/20220506230601/https://books.google.com/books?id=zLXHDgAAQBAJ&pg=PA18|archive-date=6 May 2022|url-status=live}}</ref> Sebagian besar ajaran Buddhisme Theravāda Thailand menolak ajaran Dhammakaya yang menyatakan bahwa Diri Sejati adalah diri yang tidak ada dan bersikeras bahwa bukan diri yang absolut adalah ajaran sejati Sang Buddha.{{sfn|Seeger|2010|p=71, n.39–40|ps=, at the height of the controversy the spiritual leader of this movement, with regard to Phra Thammachayo, it was claimed that he was "spreading teachings that have been regarded as unorthodox from a Theravāda doctrinal point of view. Severe criticism has particularly been directed against the movement's wide use of miracles ([[Pali|P.]] ''pāṭihāriya'') and their teaching that ''nirvāṇa'' ([[Pali|P.]] ''nibbāna''), the [[soteriological]] goal of Buddhism, has the characteristic of a Higher Self ([[Pali|P.]] attā), which is in conflict with traditional Theravāda's view that "all and everything is no-self" ([[Pali|P.]] ''sabbe dhammā anattā''), including ''nibbāna''." ... (These teachings have been) "criticized heavily by a number of acknowledged Thai scholars, academics, monks and social critics who are concerned about the integrity and longevity of original Buddhism".}} Kontroversi mengenai hakikat sejati ''anatta'' sudah ada sejak tahun 1939, ketika Patriark Tertinggi ke-12 Thailand menerbitkan sebuah buku yang menyatakan bahwa Nirwana adalah "Diri Sejati".{{sfn|Williams|2008|p=126}} Perselisihan ini muncul lagi pada tahun 1990-an ketika seorang biksu sarjana monastik bernama Phra Prayudh Payutto menerbitkan sebuah buku yang mengkritik ajaran tradisi Dhammakaya tentang Nirwana.{{sfn|Scott|2009|p=138}}<ref>พระธรรมปิฎก (ป. อ. ปยุตฺโต) (1996). กรณีธรรมกาย : เอกสารเพื่อพระธรรมวินัย. กรุงเทพฯ: มูลนิธิพุทธธรรม. {{ISBN|974-575-455-2}}. (in Thai)</ref>{{sfn|Mackenzie|2007|p=51}}{{sfn|Fuengfusakul|1998|p=88}} Phra Payutto menyatakan, dalam bukunya ''The Dhammakaya Case'', bahwa ajaran "Nibbāna [Nirwana] adalah Diri yang Lebih Tinggi atau Diri Sejati (''atta'')" dari Dhammakaya "menghina" ajaran kanonis dan pasca-kanonis Buddhisme. Ia melanjutkan bahwa ajaran Theravāda yang historis menekankan Nirwana dalam konteks ''anatta'' (seperti dalam "''sabbe dhamma anatta"''), dan "Nirwana sebagai ''atta''" bukanlah penafsiran yang dapat diterima.{{sfn|Seeger|2009|pp=13–15 with footnotes, context: 1–31}} Namun, Phra Payutto juga dikritik oleh sejumlah akademisi dan jurnalis Thailand karena dianggap "dogmatis" dan mempromosikan intoleransi agama.{{sfn|Seeger|2010|page=72|ps=, "For his criticism of Wat Phra Thammakai and Santi Asok, Phra Payutto has himself repeatedly been criticized not only by proponents of these movements but also by a number of Thai academics. He was accused of 'being narrow-minded' (Thai: ''mi naeu khwamkhit khapkhaep''), 'attached to the scriptures', 'a dogmatist' and 'a purist' who tries 'to prevent religious freedom and thus promot[es] religious intolerance'."}} Meskipun beberapa cendekiawan mengkritik ajaran Dhammakaya tentang Nirwana di masa lalu, kritik-kritik ini hampir tidak menarik perhatian publik hingga tahun 1990-an ketika Phra Payutto menerbitkan bukunya. Menurut cendekiawan agama Rachelle Scott, perkataan Phra Payutto secara luas dianggap berwibawa dalam Buddhisme Theravāda Thailand, dan dengan demikian melegitimasi interpretasi Dhammakaya tentang Nirwana sebagai kontroversial.{{sfn|Scott|2009|p=146-149}}
Menurut para pendukung dan pengajar tradisi ini, seperti biksu Luang Por Sermchai, para sarjana cenderung memegang pandangan tentang ketiadaan diri yang absolut, sedangkan "beberapa biksu pertapa hutan yang terkemuka" seperti Luang Pu Sodh, Ajahn Mun, dan Ajahn Maha Bua memegang Nirwana sebagai Diri Sejati, karena mereka telah "mengonfirmasi keberadaan Diri yang Lebih Tinggi atau Diri Sejati (''atta'')" melalui realisasi mereka sendiri.{{sfn|Williams|2008|pp=127–8}}{{sfn|Seeger|2009|pp=13 footnote 40}} Ia lebih lanjut menyatakan bahwa Nirwana tidak mungkin bukan diri (''anatta'') karena ia bukanlah fenomena yang terkondisi (''saṅkhāra'') dan bercampur.{{sfn|Williams|2008|pp=127–8}} Sarjana studi agama Potprecha Cholvijarn mencatat bahwa Luang Pho Nong Indasuvaṇṇo, salah satu guru meditasi awal Luang Pu Sodh, mengambil posisi yang sama. Menurut Luang Pho Nong, Nirwana sebagaimana dipahami oleh beberapa praktisi Buddhis dengan pengalaman langsung berbeda dari pemahaman Nirwana yang umumnya digunakan oleh para sarjana.{{sfn|Cholvijarn|2019|pp=63, 74–82}} Williams merangkum pandangan Luang Por Sermchai dan menyatakan bahwa cara-cara membaca Buddhisme dalam konteks "... Diri Sejati tampaknya cocok di lingkungan Asia Timur, dan karenanya berkembang dalam konteks yang, oleh karena alasan-alasan yang rumit, Mahayana juga menemukan 'rumah' yang siap". Menurut Williams, perdebatan terkait Dhammakaya di Thailand mengarah pada apresiasi bahwa{{blockquote|"... sekarang dan dulu ada penganut Buddhisme yang dengan itikad baik menerima ajaran tentang Diri (''atta'') dan berpendapat bahwa Diri Sejati adalah tujuan utama ajaran Buddha. Setiap catatan ilmiah tentang ajaran Buddha sebagaimana yang telah ada dalam sejarah secara keseluruhan harus menerima perbedaan dalam masalah ini, meskipun memang benar bahwa para pendukung bukan-Diri (''anatta'') tampaknya merupakan mayoritas".{{sfn|Williams|2008|pp=127–8}}}}
|