Ketuhanan dalam Buddhisme: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 6:
Sang Buddha sendiri tidak pernah menyebut diri-Nya sebagai Tuhan. Buddha diyakini sebagai [[guru]] agung umat Buddha yang telah menemukan [[Dhamma]], bukan menciptakan Dhamma.<ref name=":63">{{Cite web|title=Sutta reference for that Buddha discovered the Dhamma, not invented it|url=https://discourse.suttacentral.net/t/sutta-reference-for-that-buddha-discovered-the-dhamma-not-invented-it/26152|website=SuttaCentral Discuss & Discover|access-date=2024-02-08}}</ref> Setelah mengajarkan Dhamma, ajaran yang telah ditemukan-Nya, Beliau memutuskan untuk hanya memberi hormat kepada Dhamma dan bukan suatu makhluk apa pun.
[[Komentar (Theravāda)|Kitab-kitab komentar]] Buddhisme [[Theravāda]] merangkum daftar [[Niyāma]] ("Hukum Alam"), yaitu suatu hukum [[Tuhan personal|impersonal]] yang mengatur [[alam semesta]] dan bekerja tanpa pribadi pengatur tertinggi. Niyāma tersebut terdiri atas hukum keteraturan musim (''utu''), benih atau bibit (''bīja''), karma (''kamma''), kesadaran (''citta''), dan segala fenomena (''dhamma''). Daftar ini ditujukkan untuk menggambarkan cakupan universal hukum [[Kemunculan Bersebab]] (''paticcasamuppāda''). [[Ledi Sayadaw]] menyatakan bahwa diperkenalkannya istilah "''pañcaniyāma''" dalam [[kitab komentar]] bukanlah untuk meninggikan atau merendahkan hukum [[Karma dalam Buddhisme|karma]], namun untuk menunjukkan ruang lingkup Hukum Alam sebagai alternatif terhadap klaim [[teisme]]. Menurut Bhikkhu [[Sri Paññāvaro Mahāthera]], dalam sebuah ceramah, hukum karma (''kamma-niyāma'') dianggap memenuhi pemahaman masyarakat umum terkait Tuhan, jika perlu mencari sesuatu yang berperan seperti Tuhan dalam Buddhisme.
Selain itu, beberapa ahli, seperti [[Cornelis Wowor]], menyatakan bahwa [[Nirwana]] sebagai keadaan dan tujuan tertinggi dapat diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Pendapat ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk memenuhi sila pertama [[Pancasila|Pancasila Indonesia]] tersebut. Dasar teks kitab suci yang digunakan berasal dari syair dalam Tatiyanibbāna Sutta ([[Udāna]] 8.3), yaitu "''ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ''" dengan makna:
|