Pengguna:Fazoffic/Ch: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 46:
=== Ch. ===
{{Collapsible list|title=Baca|
Sang kakek telah bangun, Setya juga telah bangun. Segelas air putih hangat menemani keduanya yang memandang Pegunungan Wilis yang berkabut. Indahnya, apakah ini surga dunia? Mungkin.
Sang kakek telah bangun,
 
Sang kakek berdiri, lalu mengatakan sesuatu yang klise.
"Cuci piring sana."
 
Setya manut, lalu berusaha mengambil penggosok piring, sejenis spons, kelihatannya. Tapi, tangannya terasa berat
"Uh .... apaan nih?"
 
"Halah, cuma 16 kg aja kamu gak bisa angkat." Celetuk si kakek.
 
Hah? 16 kg? Spons cuci piring, 16 kg? Enam Belas Kilogram? Gila kali. Komodo macam apa yang sanggup cuci piring kayu sambil tahan ngangkat spons dengan berat segitu. Setya diam membatu, perlahan ia mengangkat kepalanya, menatap mata si kakek.
 
"Jadi guru ... aku nyuci ini ... pakai ... ini?"
 
"Pake nanya, ya iyalah."
 
"Tapi, apa manfaatnya buatku? Toh kan aku gak dapat apa-apa." Ujar Setya berharap si kakek bermurah hati.
 
"Wah, gak bisa begitu le. Mengangkat spons ini akan melatih kelenturan, kekuatan, dan kecepatan pergelangan tanganmu. Kamu harus bisa melatih kelenturan, kekuatan, dan kecepatan pergelangan tanganmu untuk berlatih Tapak Dharma bla ... bla ... bla ..." Oceh si kakek.
 
"Tapi kan guru, guru belum mengajariku apapun?" Tanya Setya dengan polos.
 
"Dengan tubuh kurus kering ringkihmu itu? Kujamin baru sekali tempeleng kau sudah melayang sampai Sakanusa." Timpal si kakek.
 
Setya kembali terdiam, mulutnya seolah terkunci dan tergembok, dan sekarang kuncinya dibuang oleh si kakek ke kawah Gunung Merapi.
 
Setelah selesai mencuci piring dengan total tiga piring patah, si kakek memberikan tujuh lembar lontar.
"Apa ini?" Tanya Setya.
 
"Tugas-tugasmu." Jawab si kakek.
 
"Semua ini?"
 
"Ya."
 
Tujuh lembar lontar, isinya adalah full tugas dari si kakek. Delapan puluh persen adalah tugas rumah, lima belas persen adalah keperluan khusus si kakek, dan lima persen sisanya adalah latihan fisik lainnya.
 
"Bukannya ini terlalu banyak?" Tanya Setya sambil mengeluh.
 
"Udah ah, cuci baju sana." Timpal si kakek.
 
Setya mengangkat sebuah keranjang yang sangat berat, kemudian membawanya pergi ke sungai kecil di kaki gunung. Isi keranjang itu adalah baju-baju kotor. Setya mengeluarkan semua baju, tapi lalu mendapati sebuah penggosok, ya, penggosok yang biasa digunakan orang bahari untuk menggosok-gosok pakaian supaya cepat bersih itu.
 
"Wah, kukira aku akan mengucek semuanya sendiri." Ucap Setya.
 
Setya kemudian mencoba mengangkat penggosok itu, tapi anehnya, penggosok itu sangat berat sekali. Ia hampir tidak bisa mengangkat penggosok itu. Akhirnya, dihantamkannya sajalah penggosok itu ke pakaian-pakaian yang dicuci itu. Alhasil pakaian-pakaian itu pun habis robek dan hancur semua.
 
Sampai ke rumah [si kakek],
Swuushh~ swusshh~ swuushh~ Plakk ...
 
"SIALAN!!! CUMA 100 KILOGRAM KAU TAK BISA MENGANGKAT BENDA RINGAN ITU??!!! BAGAIMANA KAU BISA JADI AHLI BELADIRI KALAU GITU??!!" Teriak si kakek muntab sambil memukulkan rotan ke patat Setya.
 
"Ampun guruuuuu!!!!!" Teriak Setya kesakitan. Pantatnya kini habis lebam akibat dihantam rotan.
 
"BAJU-BAJUKUUUUU!!!!!!"
 
Sekarang Setya telah melihat kesaktian rotan, benda yang kelak akan mempengaruhi pemikiran dan traumanya.
 
Seusai digebuki,
"Cih, tua bangka sialan, anak kecil mana yang sanggup mengangkat beban 100 kg? Dasar wasiran sadis!" Setya menyumpahi si kakek dalam hati.
 
Sore pun tiba, sekarang saatnya memotong kayu bakar untuk dipakai menyalakan api di malam gunung yang dingin.
 
"Huh? Gak ada kapak guru?" Setya kebingungan melihat tidak adanya kapak di tempat memotong kayu.
 
"Kapak? Oh! Aku baru sadar ada benda begituan di rumahku. Tunggu sebentar!" Ucap si kakek.
 
Si kakek masuk ke rumah, lalu keluar sambil memutar-mutar kapak di jarinya seperti memutar gasing.
 
"Nih kapak. Aku gak terbiasa sih, biasanya aku tinggal pakai tangan buat belah kayu." Celetuk si kakek dengan sombongnya.
 
Setya hanya manggut-manggut mendengar ocehan gurunya. Dia mencoba mengangkat kapak itu, dan benar saja, kapak itu bahkan hampir sama beratnya dengan penggosok pakaian. Ia kemudian mengangkat kapak besar itu, lalu menghantamkannya ke potongan kayu. Meskipun tidak simetris, namun kayu bakar segera tersedia. Setya sampai ngos-ngosan hanya karena memotong kayu.
 
Malam pun tiba, setelah selesai menyapu rumah dan merapikan kamarnya, ia kemudian rebahan santai. Seperti yang umum dialami para pekerja magang di hari pertama, badan Setya semuanya pegel. Untungnya, ia punya pengalaman jadi tukang pijat pada pandita kuil Hindu sebelumnya. Sekarang ia kembali melakukan praktek, tapi pada dirinya sendiri.
 
Ia melanjutkan malamnya dengan memandangi langit dari jendela kamar. Langit yang sangat indah, penuh bintang-bintang. Bintang-bintang itu redup dan mekar silih berganti, seperti hidup Setya, yang telah menghadapi berbagai pertemuan dan perpisahan silih berganti.
 
Dulu, ia dilahirkan oleh sang ibu, namun kemudian kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Ia segera berpisah dari sang ibu. Dulu, ia bertemu dengan pandita kuil yang dengan senang hati merawatnya, namun ia kemudian menyaksikan sendiri akhir dari sang pandita. Kini, ia bertemu dengan kakek tua yang menjadi gurunya, entah kapankah kebahagiaan ini bisa bertahan lama, meskipun lebih cocok disebut sebagai neraka.
 
Bagaikan langit dihiasi bintang gemintang
Lingkungan sekitar kita pergi dan datang
Meninggalkan masa lalu dan bayang-bayang
Mengarahkan kepada masa depan yang gemilang
Yaitu berupa kenikmatan kayang
}}