Konfrontasi Indonesia–Malaysia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Keenandiant (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Keenandiant (bicara | kontrib)
Baris 171:
[[File:Anti Indonesian Infiltration during Confrontation, 1965.jpg|thumb|Demonstrasi [[Sentimen anti-Indonesia|anti-Indonesia]] oleh sekelompok perempuan Malaysia pada tahun 1965.]]
Menjelang akhir 1965, konflik antar kedua negara mengalami kebuntuan. Presiden baru Filipina, [[Ferdinand Marcos]], berupaya meredakan ketegangan, dan berbeda dengan pendahulunya, ia tidak menggalakkan klaim Filipina atas Sabah Utara secara gigih. Untuk menengahi pertikaian, Filipina berencana untuk mengakui Federasi Malaysia. Pada tanggal 5 Februari 1965, Filipina memberitahu Indonesia mengenai normalisasi hubungannya dengan Kuala Lumpur. Sukarno menentang dan mengecam tindakan Marcos dalam pidatonya, yang mengejutkan Manila. Pidato Sukarno memicu gelombang baru masyarakat yang mendukung konfrontasi, dan organisasi pemuda serta keagamaan mengecam rencana Marcos.<ref name="Weinstein-2009">{{Cite book |last=Weinstein |first=Franklin B. |url=https://books.google.com/books?id=4xz8zHFfnDwC&q=offer&pg=PA34 |title=Indonesia Abandons Confrontation: An Inquiry Into the Functions of Indonesian Foreign Policy |date=2009 |publisher=Equinox Publishing |isbn=978-602-8397-45-2 |language=en}}</ref>
{{Quote|text="Jika Marcos ingin membantu Malaysia, itu urusannya, tetapi kami akan terus menghancurkan Malaysia, bahkan jika kami harus bertempur sendirian."|author=Sukarno|title=onmenanggapi his opinion of Ferdinandtindakan Marcos|source=<ref name="Weinstein-2009" />}}
 
Pada malam tanggal 30 September 1965, terjadi [[Gerakan 30 September|percobaan kudeta]] di Jakarta. Enam pemimpin militer senior Indonesia dibunuh, sementara Jenderal Nasution berhasil melarikan diri dari para penculiknya. Di tengah kebingungan, Sukarno setuju untuk membiarkan [[Suharto]] mengambil alih komando darurat dan mengendalikan Jakarta serta angkatan bersenjata yang ditempatkan di sana. Dalang upaya kudeta tersebut dituduhkan kepada [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI), dan dalam beberapa minggu dan bulan berikutnya, upaya penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI terjadi di Jakarta dan seluruh penjuru Indonesia. Dengan makin kuatnya citra Suharto, skala dan intensitas upaya penyusupan Indonesia ke Borneo mulai mereda. Rentetan peristiwa yang dipicu oleh kegagalan kudeta tersebut menyebabkan menguatnya kekuasaan Suharto secara bertahap dan makin terpinggirnya Sukarno. Pada saat yang sama, [[Pembantaian di Indonesia 1965–1966|pembersihan antikomunis]] menyebar di seluruh Indonesia. Penguatan kekuasaan Suharto setelah peristiwa 30 September memungkinkannya untuk membentuk [[Transisi ke Orde Baru|pemerintahan baru]] dan pada bulan Maret 1967, Suharto membentuk kabinet baru.{{sfn|Pocock|1973|p=215}}