Gereja Katolik Santa Perawan Maria di Fatima: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Hrnmskz (bicara | kontrib)
penataan ulang
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Hrnmskz (bicara | kontrib)
k perbaikan kata
Baris 1:
'''Gereja Katolik Santa Perawan Maria di Fatima, Sragen''' adalah [[gereja]] [[paroki]] yang berdiri di [[Kabupaten Sragen]] sejak tahun 1969, dan menjadi salah satu karya [[arsitektur]] dari Romo [[Y. B. Mangunwijaya|Y. B. Mangunwijaya]]. Bangunan gereja awal berupa 1 bangunan utama dengan bentuk [[limasan]] tunggal, dan 1 bangunan [[pastoran]]. Hampir 50 tahun kemudian (2002), sebagai hadiah yubileum emas dan atas persetujuan Romo Mangun, dibangun bangunan gereja limasan ganda, dengan perluasan secara mirroring.
 
Pada September 2022, saat Misa penerimaan [[Penguatan|sakramen krisma]] sekaligus perayaan ulang tahun gereja ke-65, telah diresmikan 2 gedung baru, oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. [[Robertus Rubiyatmoko]], yang merupakan gedung aula dan pastoran baru. Menara lonceng diresmikan tepat 2 tahun kemudian di bulan dan misa untuk perayaan yang sama.<ref name=":0">{{Cite web|title=Gereja Katolik Santa Perawan Maria di Fatima Sragen|url=https://kas.or.id/paroki-st-maria-fatima-sragen/}}</ref>
Baris 97:
 
=== Gereja Diaspora<ref name=":3">{{Cite web|title=Soundscape Studies as a Critic to Y.B. Mangunwijaya's Open Church Concept|url=https://journal.unpar.ac.id/index.php/risa/article/view/4729/3262}}</ref> ===
Konsep rancangan gereja khas Romo Mangun lebih dikenal dengan sebutan Gereja Diaspora. Kata diaspora berasal dari bahasa [[Bahasa Yunani|Yunani]] (διασπορά) yang artinya “terpencar-pencar”.4 Menurut Romo Mangun, diaspora artinya benih-benih yang serba tersebar, terpencar, tidak kompak dalam satu tempat, tidak terisolasi dan terkonsentrasi dalam suatu wilayah yang tertutup.5 Suatu istilah yang penggunaannya dihubungkan dengan keberadaan gereja di Indonesia dengan menunjuk pada suatu gambaran kehidupan umat Katolik yang tersebar. Konsep diaspora ini pada dasarnya adalah sebuah upaya inkulturasi, yang memang merupakan bagian dari amanat Konsili Vatikan II. Dalam kaitannya dengan arsitektur gereja di Indonesia, Y. B. Mangunwijaya berpendapat bahwa gereja yang sesuai haruslah kembali ke dalam lokalitas budaya masyarakat dimana sebuah institusi gereja berdiri. Wujud arsitekturnya menjadi sangat identik dengan bangunan-bangunan [[Arsitektur Jawa|Jawa]] mulai dari gubahan bentuk hingga keterbukaannya.
 
Rancangan bangunan ini tidak lepas dari keinginan dan gagasan Romo Mangun tentang gereja yang kontekstual dengan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa dimana bangunan ini berdiri. Pemilihan bentuk joglo sangat mencerminkan kehidupan dan nilai-nilai masyarakat Jawa. Pemahaman tentang bangunan gereja yang umumnya pada saat itu masih campur baur di Indonesia kemudian dimantapkan oleh Romo Mangun dengan pendekatannya kenusantaraannya. Kesederhanaan merupakan aspek lain yang muncul pada bangunan pendopo ini. Suatu bangunan gereja tentunya perlu akrab dengan pluralitas, kebudayaan, hingga kemiskinan yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan karena gereja seseungguhnya tidak sekedar sebagai rumah Tuhan, namun juga merupakan rumah bagi manusia. Sikap keberpihakan terhadap kaum miskin sewajarnya menjadi suatu keharusan.
Baris 132:
Untuk memasuki taman doa ini, pengunjung harus meniti beberapa anak tangga dengan medan berkelok. Dari sini, pengunjung bisa melanjutkan perjalanan menuju kolam pertobatan sebelum tiba di taman tempat patung Bunda Maria berdiri.Untuk menjangkau lokasi doa di hadapan Bunda Maria, pengunjung terlebih dulu harus melewati jalan melingkar tak berujung mengelilingi taman. Tak jauh dari taman doa, terdapat Kapel Adorasi yang memiliki [[kubah]] berwarna kuning keemasan.<ref>{{Cite web|title=Taman Doa Santa Perawan Kota Sragen Jadi Magnet Wisatawan Berbagai Agama|url=https://travel.okezone.com/read/2019/06/14/406/2066500/taman-doa-santa-perawan-kota-sragen-jadi-magnet-wisatawan-berbagai-agama}}</ref>
 
Menurut Mgr. [[Johannes Pujasumarta]], Ngrawoh bisa dikaitkan dengan 'Ngarah (menuju) Uwoh (buah, dalam hal ini buah iman)'<blockquote>“Ngarah uwoh yaitu bahasa kiasan untuk meyakinkan umat supaya berduyun-duyun berdoa hingga mengarah ke satu titik atau mengarah ke buah. Buahnya apa di sana. Setiap orang kan masing-masing, bisa kesaksian-kesaksian, misalkan sakit bisa sembuh, keinginan mendaftar bisa lulus, atau yang lain,”<ref name=":1" /> </blockquote>Adapun konsep taman doa ingin menggambarkan peziarahan melalui pertobatan dalam jiwa dan roh yang seutuhnya agar bisa mendapatkan pengampunan dari Allah melalui [[Yesus|Yesus Kristus]]. Penggambaran tersebut diwujudkan melalui pembangunan tiga bagian dalam taman doa, yakni pertama menggambarkan perjuangan mengikuti Yesus di dunia yang meliputi bangunan Kapel St. Maria, St. Yusuf, Taman [[Getsemani]], dan [[Jalan Salib]].
 
Kedua, menggambarkan orang yang sudah meninggal atau yang masih hidup menjalani peziarahan iman bersama Bunda Maria. Meliputi bangunan Kolam Pertobatan, Lingkaran Tak Berujung Bunda Maria, dan Salib Millenium.