Kota Padang Panjang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Membatalkan 1 suntingan by 36.77.105.24 (bicara): Pengguna Anonim ini tidak mencantumkan Referensi/Sumber Tepercaya dan tindakan dibatalkan. (TW) Tag: Pembatalan |
Membalikkan revisi 26375174 oleh EditorPKY (bicara) Suntingan ini harusnya tidak diurungkan secara tiba-tiba, mohon juga diteliti. Pada dasarnya suntingan ini berawal dari menyanggah suatu tulisan yang menyebutkan bahwa Padang Panjang sebelumnya adalah sebuah nagari dan tentu ini jelas salah. Tag: kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan |
||
Baris 56:
== Sejarah ==
Satu-satunya kota yang memiliki ikatan sejarah pendidikan dan keagamaan yang popular di Sumatera Barat dari dahulu hingga sekarang, adalah Kota Padangpanjang. Namun, sebelum kota itu dikenal, di awal abad ke-19 sebagai sentra penyebaran dakwah agama Islam di ranah minang ini, kota Padangpanjang ternyata sedikit memiliki sejarah yang agak kelam. Disebut demikian, karena pernah terjadi peperangan antar kaum yang disulut oleh perkara jual beli di Pakan Jumat nan Usang antara kaum Nan IV Koto yang terhimpun dari Gunung, Paninjauan, Jaho dan Tambangan melawan kaum Nan V Koto yang meliputi, Singgalang, Air Angek, Pandai Sikek, Koto Laweh dan Panyalaian.
Kota Padang Panjang sekarang, dahulunya adalah satu kawasan padang ilalang yang luas, yang kerap disebut sebagai Tangah Padang Nan Panjang. Batasannya dari Gantiang hingga Bukit Tui sekarang. Tidak ada rumah dan sawah sama sekali. Mungkin seperti sabana padang ilalang yang luas dan datar. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hamparan ilalang yang bergoyang. Waktu peperangan itu, nama “Tangah Padang Nan Panjang” ditambah dengan “Sari Mananti.” Jadi, namanya kian panjang,” Tangah Padang Nan Panjang Sari Mananti”. Adapun hamparan padang ilalang itu adalah kepunyaan orang Gunung, kaum Nan IV Koto. Daerah Gunung, sebagai sebuah daerah tentu punya batas wilayah tertentu, dimana sebelah timur berbatasan dengan Batipuh. Sebelah barat dengan Batang Anai, sebelah Selatan dengan Ambacang Rombok dan sebelah utara dengan Kubu Induk Ayam (Panyalaian).
Kaum V Koto, dalam peperangan tersebut dikomandoi oleh dua orang pandekar yang gagah dan berani, yakni Akik Bagindo Rajo (Orang Singgalang) dan Rasul Andung Bagindo Ali (Orang Aia Angek). Sedangkan yang menjadi panglima perang dari Kaum Nan IV Koto, dipimpin oleh Tuanku Bandaro (Orang Gunung) dan Datuk Bungsu (Orang Paninjauan). Karena perselisihan perkara jual beli itu, pecahlah tragedi perang antar kaum dan antar kampung. Peperangan itu tidaklah seimbang mengingat, jumlah pasukan Kaum Nan V Koto amatlah banyak. Berbeda pada pasukan kaum Nan IV Koto. Karena tidaklah seimbang, alhasil, mereka nyaris kalah, dan kedua panglima Kaum Nan IV Koto, Tuanku Bandaro dan Datuk Bungsu hampir dapat ditawan oleh pasukan Nan V Koto. Karena perang begitu kejam, Tuanku Bandaro dan Datuk Bungsu dibunuh di Bandar Jum’ah tepatnya 1 Desember 1790 M. Lokasinya, sekarang, adalah di Simpang Bak Air simpang ke Paninjauan.
Kaum Nan IV Koto, pun mundur karena kekalahan hampir diambang mata dan kedua panglima mereka telah tewas. Sebaliknya seorang panglima pasukan dari Singgalang yang bernama Sitampuh Raja di laut suku Pisang, bako dari Datuk Tumanggung bekas penghulu Singgalang berlari dengan kencang menyerbu pasukan Nan IV Koto. Saking bernafsu mengejar pasukan Nan IV Koto yang hampir kalah, kakinya tersorong (tersaruk/terjepit) di rongga batu di daerah Bukit Kepanasan. Lama-kelamaan, Bukit Kepanasan berubah nama menjadi Bukit Tersorong dan akhirnya, menjadi Bukit Surungan dikemudian hari.
Sebelum benar-benar kalah, pasukan Nan V Koto yang merasa sedang berada diatas angin, sedangkan pasukan Kaum Nan IV Koto hampir binasa, datanglah Tuanku Pamansiangan orang Koto Laweh-ulama ternama tetapi sejarahnya kurang dikenal dikemudian hari- mencemplungkan diri ke tengah peperangan yang sedang berkecamuk itu. Ia memarahi kedua belah pihak. Ia nasehati kedua kaum yang ternyata masih memiliki hubungan keluarga antara satu sama lain. Timbul rasa insyaf kedua belah pihak, walau korban telah berjatuhan. Perdamaian pun digagas berkat campur tangan ulama besar ini.
Sejak itulah, Kubu Induk Ayam, Pakan Jumat Nan Usang serta Bukit Surungan ditetapkan menjadi Kubu oleh orang Nan V Koto yang sekarang dihuni oleh orang Nan VI Koto karena belakangan bertambah satu, yakni Koto Baru. Disebut kubu, karena berfungsi sebagai pengintai sekiranya musuh datang atau melanggar Negeri V Koto. Orang yang bertugas menjaga itulah yang akan melaporkan kepada kaum Nan V Koto. Yang mula-mula menjaga Kubu Bukit Surungan itu sebelum dihuni oleh seseorang, ialah dihuni oleh ninik Gunung dari Koto Laweh. Selama 26 tahun kubu tadi dijaga olehnya, kemudian dilanjutkan oleh orang Aia Angek yang bergelar Angku Ukun. Selanjutnya, kubu tadi, diupayakan oleh orang Nan VII Laras, dengan menjadikan Tengah Padang Nan Panjang Sari Mananti” sebagai medan perdamaian orang Nan Tujuh Laras setelah pecah perang Regent Batipuh melawan Gubernement. Nama yang panjang itu dipersingkat menjadi sebutan “Padang Panjang”.
Seorang Laras VI Koto, yang bernama Tuanku Nan Elok, dari Koto Laweh meminta kepada pemerintah kolonial, agar sebagian kota Padangpanjang dijadikan hak milik orang Nan VI Koto. Permintaan itupun disetujui. Maka sejak Batang Bakarek sampai Air Putih, terus Padang Sarai (daerah Kampong Teleng) dan Batang Anai kepunyaan orang Nan VI Koto. Sedangkan Tabu Baraia (Kandang Aia Tabek kepunyaan Orang Nan VI Koto) jatuh menjadi kepunyaan orang Nan IV Koto, sebagai ganti kepemilikan. Tapi sayangnya, orang Nan IV Koto Baru sadar, kalau hal itu telah merugikan daerah mereka karena wilayahnya kian kecil dan tidak mendapatkan apa-apa. Tapi apa lacurnya, nasi telah jadi bubur. Yang berlalu tidak bisa disesali lagi.
Tuanku Nan Elok berjanji akan meramaikan Padangpanjang dengan membuat sawah dan ladang. Mengaliri air dengan membuat bandar (selokan air) dari Panyalaian ke Padang Panjang. Bandar air yang besar itu (bandar gadang) sekarang adalah jalur yang dipakai oleh rel Kereta Api sekarang. Sejak adanya Bandar Gadang tadi, sawah pun bertebaran dimana-mana. Seperti di jalan hendak ke Lubuk Mata Kucing, mungkin areal daerah belakang Perguruan Diniyyah Puteri sampai ke terminal Bukit Surungan sekarang. Kemudian sawah di Kampung Manggis dan lainnya.
Yang tidak bisa dijadikan sawah adalah bagian Silaing dan Padang Sarai karena tidak ada tempat untuk mengaliri air. Maka bermufakatlah Tuanku Nan Elok laras VI Koto dengan Tuan Lie Saij untuk membuat bandar dari Lubuk Mata Kucing ke Silaing dengan pengerjaannya dilakukan oleh kaum Nan VI Koto. Karena air berlebihan di Silaing, maka Tuan Lie Saij membuat kebun rumput banto-untuk makanan kuda kompeni Belanda, dan ia pun membayar sewanya kepada kaum Nan VI Koto. Sejak usaha Tuan Lie Saij berhasil maka beramai-ramailah penduduk Padangpanjang membuat usaha serupa, yakni bercocok tanam padi sawah dan berkebun rumput banto.
Usaha yang dilakukan Tuanku Nan Elok, yang lain adalah membuat Bandar air baru sejak dari simpang ke Paninjauan (Bak Aia sekarang), terus ke Kampung China, Kampung Nias dan jalan ke Sungai Andok. Rupanya, Tuan Sikolos, tertarik pula untuk melakukan seperti yang diperbuat oleh Tuan Lie Saij, sejak adanya Bandar air yang dibangun oleh Tuanku Nan Elok VI Koto. Maka disewa pula sebidang tanah kepada Tuanku Nan Elok Laras VI Koto. Ini dilakukan sejak aliran air yang kian lancar ke Kampung Nias. Akhirnya, timbulllah nama daerah itu menjadi Kebun Sikolos. <ref>Berdasarkan arsip Zainal Sutan Salim yang diambil dari dalam arsip anggota Onderafdee Lingsraad Batipuh X Koto Padangpanjang, melalui Ferry, Marefri (2011) [https://www.facebook.com/notes/padati-padangpanjang-damai-dihati/asal-usul-kota-padang-panjang/263642597018975/?_rdr]. "Asal Usul Kota Padang Panjang". ''Facebook''. Diakses pada sekitar tahun 2017-2018.</ref> Itulah kemudian yang menjadi cikal bakal kota yang dikenal saat ini.
Kawasan kota ini sebelumnya merupakan bagian dari wilayah [[Tuan Gadang]] di [[Batipuh, Tanah Datar|Batipuh]]. Pada masa [[Perang Padri]] kawasan ini diminta [[Belanda]] sebagai salah satu pos pertahanan dan sekaligus batu loncatan untuk menundukan kaum Padri yang masih menguasai kawasan ''Luhak Agam''. Selanjutnya Belanda membuka jalur jalan baru dari kota ini menuju [[Kota Padang]] karena lebih mudah dibandingkan melalui kawasan [[Luak Kubuang Tigo Baleh|Kubung XIII]] di [[kabupaten Solok]] sekarang.
Di masa selanjutnya, wilayah VI Koto dan IV Koto kemudian bergabung membentuk wilayah X Koto yang saat itu Nagari Gunung masih termasuk di dalamnya. X Koto pada era kolonial Belanda dijadikan sebagai wilayah ''onderafdeeling'' yang merupakan bagian dari Afdeeling Batipoeh en X Koto, hingga kemudian turun status menjadi bagian dari wilayah Onderafddeling Pariaman yang ini merupakan bagian dari Afdeeling Batipoeh en Pariaman setelah adanya perubahan stuktur wilayah administratif. Pada era kolonial Belanda ini, Padang Panjang dijadikan sebagai wilayah koordinir di X Koto.
Kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan sementara [[Kota Padang]], setelah [[Kota Padang]] dikuasai Belanda pada masa [[Agresi Militer Belanda I|agresi militer Belanda]] sekitar tahun 1947.<ref>[[Mardanas Safwan|Safwan, Mardanas]], (1987), ''Sejarah kota Padang'', Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.</ref>▼
▲Pasca kemerdekaan Indonesia, Padang Panjang merupakan bagian dari [[Kabupaten Tanah Datar|Tanah Datar]] yang saat itu berstatus sebagai [[Luak|luhak]] setelah terakhir diterapkan oleh di masa [[Kerajaan Pagaruyung]] hingga dianeksasi oleh [[Hindia Belanda]]. Kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan sementara [[Kota Padang]], setelah [[Kota Padang]] dikuasai Belanda pada masa [[Agresi Militer Belanda I|agresi militer Belanda]] sekitar tahun 1947.<ref>[[Mardanas Safwan|Safwan, Mardanas]], (1987), ''Sejarah kota Padang'', Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.</ref>
Di masa selanjutnya, Padang Panjang terbentuk sebagai wilayah otonom setingkat kabupaten/kota berdasarkan [[Undang-Undang]] Nomor 8 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota kecil dalam lingkungan daerah provinsi Sumatra Tengah pada tanggal [[23 Maret]] [[1956]]. Kawasan ini pada mulanya terdiri dari Nagari Bukit Surungan dan juga Nagari Lareh Panjang (yang berdasarkan informasi yang minim, wilayah ini pernah disebut sebagai Nagari Balai-Balai). Hingga kemudian Nagari Gunung yang ada di wilayah X Koto turut bergabung dan membentuk wilayah Padang Panjang yang dikenal saat ini.
== Geografi ==
Baris 81 ⟶ 105:
== Pemerintahan ==
Kota ini sebagai pemerintah daerah terbentuk berdasarkan [[Undang-undang]] nomor 8 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota kecil dalam lingkungan daerah provinsi Sumatra Tengah pada tanggal [[23 Maret]] [[1956]]. Selanjutnya berdasarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1957, status kota ini sejajar dengan daerah [[kabupaten]] dan kota lainnya di Indonesia.
Berdasarkan keputusan DPRD Peralihan Kota Praja nomor 12/K/DPRD-PP/57 tanggal 25 September 1957, maka kota Padang Panjang dibagi menjadi 4 wilayah administrasi, yakni Resort Gunung, Resort Lareh Nan Panjang, Resort Pasar dan Resort Bukit Surungan. Kemudian, berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 istilah ''kota praja'' diganti menjadi ''kotamadya'' dan berdasarkan peraturan menteri nomor 44 tahun 1980 dan [[peraturan pemerintah]] nomor 16 tahun 1982 tentang susunan dan tata kerja pemerintahan kelurahan, maka ''resort'' diganti menjadi [[kecamatan]] dan ''jorong'' diganti menjadi [[kelurahan]] dan berdasarkan peraturan pemerintah nomor 13 tahun 1982 kota Padang Panjang dibagi atas dua kecamatan dengan 16 kelurahan.
Saat Padang Panjang berstatus ''kota praja'' hingga berubah status menjadi ''kotamadya'' dari tahun 1957 sampai pada tahun 1982, wilayah administrasi yang terdiri dari 4 resort ini terdiri dari beberapa jorong yakni :
1. Resort Bukit Surungan :
a. Jorong Bukit Surungan.
b. Jorong Kampung Manggis.
c. Jorong Silaing Atas.
d. Jorong Silaing Bawah.
2. Resort Pasar :
a. Jorong Pasar Usang.
b. Jorong Pasar Baru.
c. Jorong Balai-Balai.
d. Jorong Tanah Hitam.
3. Resort Lareh Nan Panjang :
a. Jorong Guguk Malintang.
b. Jorong Tanah Pak Lambik.
c. Jorong Koto Panjang.
d. Jorong Koto Katik.
4. Resort Gunung :
a. Resort Ngalau.
b. Resort Ekor Lubuk.
c. Resort Sigando.
d. Resort Ganting.
Lalu kemudian saat Padang Panjang masih berstatus ''kotamadya'' hingga berubah status menjadi ''kota'' dari tahun 1982 sampai sekarang ini, wilayah administrasi yang terdiri dari 2 kecamatan ini terdiri dari beberapa kelurahan yakni :
1. Kecamatan Padang Panjang Barat :
a. Kelurahan Bukit Surungan.
b. KelurahanPasar Usang.
c. Kelurahan Pasar Baru.
d. Kelurahan Balai-Balai.
e. Kelurahan Tanah Hitam.
f. Kelurahan Kampung Manggis.
g. Kelurahan Silaing Atas.
h. Kelurahan Silaing Bawah.
2. Kecamatan Padang Panjang Timur :
a. Kelurahan Guguk Malintang.
b. Kelurahan Tanah Pak Lambik.
c. Kelurahan Koto Panjang.
d. Kelurahan Koto Katik.
e. Kelurahan Ngalau.
f. Kelurahan Ekor Lubuk.
g. Kelurahan Sigando.
h. Kelurahan Ganting.
Kemudian, berdasarkan [[peraturan daerah]] kota Padang Panjang nomor 17 tahun 2004 maka ditetapkan hari jadi kota Padang Panjang pada tanggal [[1 Desember]] [[1790]].<ref>http://www.padangpanjangkota.go.id {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20071007212250/http://www.padangpanjangkota.go.id/ |date=2007-10-07 }} [http://www.padangpanjangkota.go.id/ Sejarah] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20071007212250/http://www.padangpanjangkota.go.id/ |date=2007-10-07 }} (diakses pada 10 Juli 2010)</ref>
|