Hadi Sukatno: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 17:
Seni permainan anak-anak, nasibnya tidak semanis dulu. Kini sulit menjumpai kegembiraan anak yang berdendang jamuran, soyang, cublak-cublak suweng, dan sebangsanya, di kala rembulan bersinar terang. Anak-anak lebih suka melihat TV daripada keluar rumah bermain di bawah sinar mentari. Ini gejala memprihatinkan. Setidaknya peristiwa semacam itu bagi generasi tua hanya kan menjadi kenangan. Sebab, generasi selanjutnya tidak lagi melakukan permainan kreatif itu. "Perkembangan seni permainan (dolanan) anak-anak kian lama kian berkurang, dan semakin tidak dikenali oleh anak-anak masa kini ". Demikian kata Ki Hadi Sukatno, seorang Pembina seni permainan anak-anak.
Ki Hadi Sukatno, yang
Kiranya sudah wajar, dan tepat demikian seharusnya, Pak Katno yang ditempa di lingkungan Perguruan Tamansiswa ini sejak duduk di bangku Taman Guru Taman Siswa Yogyakarta pada tahun 1937,<ref>{{cite web|url=http://gudeg.net/id/directory/73/360/Ki-Hadisukatno.html|title=Ki Hadisukatno : Seniman & Budayawan|publisher=Gudeg.net|accessdate=March 24, 2012|archive-date=2012-10-18|archive-url=https://web.archive.org/web/20121018051101/http://gudeg.net/id/directory/73/360/Ki-Hadisukatno.html|dead-url=no}}</ref> telah menekuni, mengasuh, dan menciptakan gending-gending dan tembang (Lagu-lagu Jawa), yang kemudian mengkhususkan diri pada seni permainan anak Jawa (dolanan anak), macapat, dan bacaan buku. Pada tahun 1937 ia pernah mendapat kepercayaan dari Ki Hajar Dewantara untuk memimpin pementasan panembrama (sejenis koor tembang Jawa) yang hal ini bagi Hadi Sukatno muda itu merupakan kebanggaan tersendiri. Memang demikian, apa yang ia kerjakan tidak pernah lepas dari [[Taman Siswa]], demikian pengakuannya. Ki Hajar Dewantara mempunyai konsep "[[Sistem Among]]" yang menggunakan dolanan anak (bahasa Belanda: ''kinder spellen'') sebagai sifat kodrat semua anak untuk sarana [[pendidikan]]. Sehingga hampir semua mata pelajaran di [[Tamansiswa]] bermuatan dolanan untuk membangkitkan rasa gembira dan kemerdekaan jiwa sang anak. Ini yang cocok dengan kemampuan Ki Hadi Sukatno dalam kesenian dolanan anak.
Baris 155:
Di sini Hadi Sukatno muda jatuh hati kepada salah seorang putri gurunya, [[RAj Kustihadi]] putri [[RW. Hatmodidjojo]] yang kemudian dipersuntingnya sebagi istri. Semula Raden Ajeng Kustihadi digigit Tokek dibalut dengan saputangan Hadi Sukatno, sesuai cerita lisan [[Ki Hajar Dewantara]] kepada putra ke duanya [[Raden Mas Priyo Dwiarso]]. Ketika tiba waktunya melamar Hadi Sukatno mohon pertolongan Ki Hajar Dewantara untuk melamar di Keraton Yogyakarta kepada RW Hatmodijoyo sekaligus sebagai saksi pernikahannya. Ia menikah pada tahun 1940 dan meninggal dunia tahun 1983.
Ki Hadi Sukatno yang Pembina seni permainan anak-anak ini, juga seorang pembaca ceritera berbahasa Jawa yang baik. Sejak tahun 1953 setiap dua minggu sekali membaca di [[RRI Yogyakarta|RRI Nusantara II Yogyakarta]] program "Bacaan Buku", penggemarnya banyak. Tetapi tahun 1981, acara ini tiba-tiba dihentikan. Apa sebabnya iapun tidak mengetahui dengan pasti. Cukup dengan ucap "Terima kasih" katanya. Ia terkejut dengan penghentian ini, padahal sekarang Bahasa dan Sastra Jawa digalakkan, buktinya adanya proyek Javanologi, yang ia pernah juga diundang untuk memberikan ceramah tentang Seni permainan anak-anak. "Sekarang ini hanya Taman Siswa saja yang menalurikan kebudayaan itu kepada anak didik. Sebenarnya demi melestarikan dan dan mendasari rasa budaya kebangsaannya, seni permainan anak-anak yang mencakup kesenian daerah itu harus tetap hidup. Hanya saja bentuk, isi dan iramanya yang mesti menyesuaikan gerak zaman. Sifat permainannya tetap. Sebab sebagaimana wejangan [[Ki Hajar Dewantara]], sifat kebudayaan tidak akan pernah berubah, sekalipun bentuk isi dan iramanya berlainan. Kita bisa mencari jalan pembaharuan supaya Seni permainan anak-anak bisa memenuhi selera zaman. Jika bentuknya berkisar ke itu-itu saja, nanti sulit melawan arus. Tidak akan ada yang nonton. Untuk mewujudkan seni permainan anak-anak seperti jamuran, soyang, dan cublak-cublak suweng adalah pekerjaan yang sulit. Sebab lingkungan suasananya tidak mendukung. Yang utama mengkreasikan inti pendidikan dalam permainan (dolanan) itu.
Demikian ucap Ki Hadi Sukatno, seorang Pembina Seni permainan anak-anak, seorang pendidik tulen yang penuh pengabdian.
|