Kerajaan Dusun Tuo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
OrophinBot (bicara | kontrib)
Ryan Ikhsan R (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{refimprove}}
 
'''Kerajaan Dusun Tuo''' adalah kerajaan yang sudah ada di [[Minangkabau]] sebelum berdirinya [[Kerajaan Pagaruyung]] danyakni pada abad ke-5 yang merupakan pecahan dari [[Kerajaan Pasumayan Koto Batu]] yangdan terletak di Limo Kaum, [[kabupatenKabupaten Tanah Datar]] sekarang. Kerajaan Dusun Tuo didirikan oleh [[Datuk Perpatih Nan Sebatang|Datuak Parpatiah Nan Sabatang]] dan sebagai Yang Dipertuan atau [[perdana menteri]] adalah ''DatukDatuak Bandaro Kuniang''. Berbeda dengan saudaranya yang se-ibu lain ayah yaitu [[Datuk Ketumanggungan|Datuak Katumangguangan]] mendirikan Kerajaan Bungo Satangkai yang terletak di [[Sungai Tarab, Sungai Tarab, Tanah Datar|Sungai Tarab]], [[Kabupaten Tanah Datar]] sekarang dan sebagai yang perdana menteri adalah ''Datuak Bandaro Putiah''.<ref>Idris, Abdul Samad (1990). ''Payung Terkembang''. Kuala Lumpur: Pustaka Budiman.</ref><ref>Ampera Salim, Zulkifli (2005). ''Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer''. Padang: Citra Budaya Indonesia.</ref><ref>[http://mozaikminang.wordpress.com/2009/10/25/kerajaan-kerajaan-pendahulu-pagaruyung/ Kerajaan Kerajaan Pendahulu Pagaruyung], 25 Oktober 2009. Diakses pada 20 Desember 2011.</ref>
 
Kerajaan Bungo Satangkai di Bawah pimpinan [[Datuk Ketumanggungan|Datuak Katumangguangan]] tetap bertahan dengan undang-undang lama semasa Pasumayan Koto Batu, yakni Undang-Undang Si Mumbang Jatuah. Berbeda dengan adiknya selaku pemimpin [[Kerajaan Dusun Tuo]], sempat dilakukan perubahan Undang-Undang Si Mumbang Jatuah menjadi Undang-Undang Si Lamo-lamo, dimana sesuatu keputusan yang akan diambil terlebih dahulu diperhitungkan masak-masak, baik secara mudarat atau memanfaatkannya. Hukuman yang telah dijatuhkan belum dapat langsung dilaksanakan, tetapi harus diberi tenggang waktu lebih dahulu agar hukuman itu benar-benar menghukum orang yang bersalah.
 
Atas perbedaan faham tersebut, akhirnya memicu perselisihan antara [[Datuk Ketumanggungan|Datuak Katumangguangan]] dengan [[Datuk Perpatih Nan Sebatang|Datuak Parpatiah Nan Sabatang]]. Beruntung perselisihan ini dapat diredam berkat masukan para cerdik pandai, hingga dikukuhkan dengan ikrar bersama yang ditandai oleh prasasti Batu Batikam. Dalam perdamaian itu juga disepakati bahwa Undang-undang Silamo-lamo berlaku bagi seluruh wilayah kedaulatan Minangkabau, Adat Bodi Chaniago dan Koto Piliang sama-sama boleh menerapkannya.
 
Selanjutnya terjadi pula perubahan yaitu Undang-Undang Si Lamo-lamo diganti dengan Undang-Undang Tariek Baleh. Sebagai contoh Undang-Undang Tariek Baleh ini adalah:
 
''Salah tariek mangumbalikan''
 
''Salah cotok malantiengkan''
 
''Salah makan mamuntahkan''
 
Artinya kesalahan yang diperbuat seseorang dapat diuperbaikinya kembali sebelum hukuman dijatuhkan kepadanya. Akhirnya Undang-Undang Tariek Baleh ini terjadi lagi perubahan yaitu Undang-Undang Duo Puluah yang diberlakukan di seluruh Minangkabau baik di Lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago yang mana sampai sekarang masih berfungsi sebagai hukum adat di nagari-nagari pada saat sekarang.
 
Selain sebagai kerajaan yang berdaulat dengan pemerintahannya, Kerajaan Dusun Tuo juga berfungsi sebagai pusat pengatur adat [[Lareh Bodi Chaniago]] sampai berakhirnya kedaulatan kerajaan ini diperkirakan pada abad ke-14, dengan ditandai bahwa [[Kerajaan Pagaruyung]] yang muncul kemudian dan selaku pemegang kedaulatan wilayah juga turut menjadi koordinator pengatur adat Minangkabau secara administratif yang tidak hanya mencakup [[Lareh Koto Piliang]], namun juga [[Lareh Bodi Chaniago]], tetapi segala sumber urusan adat berpusat di [[Pariangan, Pariangan, Tanah Datar| Pariangan]], sesuai dengan pepatah, ''"Baadaik ka Pariangan, barajo ka Pagaruyuang"''.
 
 
== Referensi ==