Salahuddin Ayyubi di Mesir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Vëantur07 (bicara | kontrib)
Membuat beberapa bagian translate dari halaman bahasa Inggris. Belum memasukan reference
Tag: tanpa kategori [ * ] tidak menyebut judul [ * ] VisualEditor
 
Manggadua (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
Saladin[[Salahuddin Ayyubi]] tiba di [[Mesir]] pada tahun 1163 dan memerintahnya dari tahun 1171 hingga kematiannya pada tahun 1193. Mesir berada dalam kondisi yang buruk sebelum SaladinSalahuddin naik ke tampuk kekuasaan dengan situasi politik dan sosial yang kacau balau. SaladinSalahuddin pertama kali tiba di Mesir bersama pamannya Shirkuh[[Syirkuh]] dalam sebuah kampanye yang dilancarkan oleh Nur[[Nuruddin al-DinZanki]]. Ia menjadi terkenal di bawah ShirkuhSyirkuh dan akhirnya menggantikannya sebagai [[wazir (Kekhalifahan Fathimiyah)|wazir]] Mesir. Ketika [[Kekhalifahan FatimiyahFathimiyah]] jatuh pada tahun 1171, SaladinSalahuddin adalah satu-satunya penguasa yang tersisa di Mesir, ia akan menggunakan peningkatan kekuasaan dan kemerdekaannya untuk memperluas wilayah kekuasaan dan pengaruhnya.
 
== Mesir sebelum Sultan Salahuddin ==
Kekhalifahan FatimiyahFathimiyah yang telah memerintah di Mesir sejak tahun 969 berada di ambang kehancuran total pada periode sebelum kedatangan SaladinSalahuddin. Tantangan yang dihadapi negara itu sangat luas dan menyentuh setiap aspek kehidupan di Mesir. Kondisi Mesir FatimiyahFathimiyah dapat dibagi menjadi tiga bidang: politik, sosial, dan ekonomi.
 
=== Politik ===
Kekuasaan di Kekhalifahan FatimiyahFathimiyah pada akhirnya berada di tangan [[khalifah]]. Namun, selama bertahun-tahun, kekuasaan sejati telah beralih ke jabatan [[wazir (kekhalifahan Fathimiyah)|wazir]]. Awalnya, wazir dimaksudkan untuk menjadi kepala administrator negara, yang melayani sesuai keinginan dan keinginan khalifah. Hal ini berubah dengan naiknya [[Badr al-Jamali]] (1074–1094) ke posisi tersebut. Badr dan para penerusnya, yang sebagian besar berasal dari militer, menggabungkan jabatan wazir dengan jabatan "panglima tentara" dan memegang kekuasaan penuh atas nama khalifah. Para "wazir pedang" ini pada saat yang sama adalah menteri utama yang bertanggung jawab atas semua administrasi sipil, kepala tentara, yang bertanggung jawab atas semua masalah peradilan sebagai kepala ''[[kadi|qāḍī]]'', dan bahkan untuk semua masalah keagamaan komunitas Isma'ili sebagai kepala misionaris (''dāʿī al-duʿāt'').[1] Ketika kekuasaan wazir tumbuh melampaui kekuasaan khalifah, mereka bahkan mengambil gelar "raja" (''al-malik'') diikuti dengan julukan.
 
Kekuasaan yang tersisa yang mungkin dimiliki khalifah hancur ketika khalifah dewasa terakhir, [[al-Hafiz]], meninggal pada tahun 1149. Kematian ini memulai periode ketidakstabilan dan intrik lainnya, yang berpuncak pada pembunuhan banyak laki-laki dalam keluarga kerajaan FatimiyahFathimiyah pada tahun 1153. Pembunuhan ini memicu pemberontakan oleh gubernur Armenia di Mesir Tengah, [[Tala'i bin Ruzzik]], yang dibantu oleh [[Sitt al-Qusur]], saudara perempuan khalifah muda [[al-Fa'iz Binasrillah|al-Fa'iz]]. Ibnu Ruzzik dengan cepat mengonsolidasikan kekuasaannya atas Mesir (mencegah intervensi apa pun yang mungkin direncanakan Nur al-DinNuruddin) dan memerintah secara efektif. Di bawah Ibnu Ruzzik, Mesir mendapatkan kembali beberapa ukuran pengaruh internasional, berhasil mempertahankan diri dari gangguan angkatan laut, menyerang pengiriman oposisi di [[Mediterania Timur]], dan terlibat dalam negosiasi dengan Nur al-DinNuruddin mengenai jihad terpadu melawan Negara-negara [[Tentara Salib]]. Tentara Salib di [[Kerajaan Yerusalem]] tidak menyadari sifat halus posisi mereka dan berusaha untuk membangun hubungan fungsional dengan IbnIbnu Ruzzik, yang berpuncak dengan gencatan senjata antara kedua negara dengan Mesir membayar sejumlah besar tahunan ke [[Yerusalem]] sebagai salah satu syarat. Pada tahun 1161, IbnIbnu Ruzzik dibunuh dan dengan dia meninggal stabilitas di Mesir. Putra IbnIbnu Ruzzik menggantikannya tetapi dengan cepat digulingkan oleh gubernur Arab di Mesir bagian atas, Shawar[[Syawar]], pada tahun 1163. Pada tahun yang sama ShawarSyawar sendiri segera digulingkan oleh seorang abdi dalem bernama [[Dirgham]]. ShawarSyawar melarikan diri dari Mesir dan mencari bantuan dari Nur al-DinNuruddin di [[Suriah]]. Kekacauan internal tahun 1163 meluas ke kancah internasional ketika raja baru Yerusalem, [[Amaury I dari Yerusalem|Amalric I]], melancarkan kampanye hukuman di Mesir sebagai tanggapan atas kegagalan Mesir membayar upeti tahunan mereka. Kampanye Amalric dihentikan bukan oleh militer FatimiyahFathimiyah, melainkan [[banjir Sungai Nil]] yang melumpuhkan pasukannya saat mereka mengepung kota [[Bilbays]] di Mesir utara.
 
=== Sosial ===
Doktrin resmi negara FatimiyahFathimiyah adalah Ismailisme[[Ismailiyah|Isma'ilisme]], cabangsekte [[Syiah|Islam Syiah]] yang dianut oleh FatimiyahFathimiyah. Menurut kepercayaan Ismailiyah, khalifah juga merupakan imam, [[ahlul bait|pewaris]] [[Muhammad|Nabi Muhammad]] yang dipilih dan dibimbing secara ilahi, dalam suksesi langsung dan tak terputus melalui [[Ali bin Abi Thalib]]. Klaim FatimiyahFathimiyah tentang keturunan Ali telah ditentang selama abad ke-10, baik oleh Abbasiyah [[Sunni]] [[Abbasiyah]] tetapi juga oleh banyak Syiah, yang menolak legitimasi mereka dan mengklaim bahwa mereka adalah penipu. Sebagian besar orang Mesir menolak Ismailisme dan mempraktikkan Islam Sunni. Ketegangan semakin memburuk karena para khalifah terus-menerus kehilangan kekuasaan, termasuk kekuasaan untuk mendukung agama negara mereka. Ke dalam kekosongan yang berkembang ini melangkah Islam Sunni, yang berkembang pesat di utara Mesir terutama di sekitar kota Alexandria[[Aleksandria]]. SudahSekitar di c.tahun 1070, orang kuat militer [[Nasir al-Dawla bin Hamdan]] telah mencoba untuk menggulingkan dinasti dan mengembalikan kekuasaan Sunni atas Mesir. Gengsi kekhalifahan semakin menurun setelah serangkaian perpecahan yang sangat memecah belah dalam agama Ismailiyah itu sendiri, atas suksesi [[imamah]]/kekhalifahan: perpecahan [[Isma'ilisme Nizari|Nizari]] tahun 1094 dan perpecahan [[Isma'ilisme Hafizi|Hafizi]] tahun 1130/32.
 
Selain tekanan agama yang meningkat ini, sifat kehidupan politik Mesir yang tidak stabil memaksa para elit di setiap bidang (administrasi, puisi, hukum, dll.) ke dalam lingkaran sosial yang erat yang sering rentan terhadap pembersihan ketika faksi-faksi yang bersaing merebut kekuasaan. Hal ini mengakibatkan kematian banyak orang paling berbakat di Mesir, yang berkontribusi pada jatuhnya negara FatimiyahFathimiyah.
 
=== Ekonomi ===
Mungkin satu-satunya bagian Mesir sebelum SaladinSalahuddin yang dapat disebut sukses adalah ekonominya. Sejak zaman kuno, tepian [[Sungai Nil]] yang subur telah menjadikan Mesir lumbung pangan Mediterania Timur. Makam [[Firaun]] berfungsi sebagai tambang emas buatan bagi FatimiyahFathimiyah, yang secara aktif menguras kekayaan makam kuno ini untuk mendukung proyek-proyek mereka. Penopang terakhir dalam keberhasilan ekonomi Mesir adalah pertumbuhan perdagangan. Rute perdagangan meluas hingga ke [[India]] dengan barang-barang dari Timur disalurkan melalui Mesir bagian atas dalam perjalanan mereka ke [[Eropa]] dan [[Timur Tengah]], berkontribusi pada pertumbuhan yang luas dari kota-kota perdagangan seperti [[Damietta]] dan Alexandria[[Aleksandria]]. Untuk sekali saja kelemahan negara FatimiyahFathimiyah berfungsi sebagai keuntungan karena orang-orang dari semua latar belakang agama memanfaatkan semua aspek perdagangan yang berkembang pesat dan berhasil menciptakan sistem keuangan yang sangat sukses. Ekonomi dan sistem keuangan yang kuat ini memberi wazir Mesir seperti Ibnu Ruzzik kemampuan untuk menggunakan dana yang luar biasa dalam politik internal dan internasional.
 
== Jabatan Wazir SaladinSalahuddin ==
Peningkatan jabatan wazir jelas merupakan momen yang menentukan dalam hidupnya. Ia menikah untuk pertama kalinya. Negara FatimiyahFathimiyah yang diwarisinya sama tidak stabilnya dengan negara yang direbut ShawarSyawar, tetapi SaladinSalahuddin menghadapi tantangan tambahan sebagai penjajah asing. Tantangan ini bertambah karena penguasa SaladinSalahuddin, Nur al-DinNuruddin, tidak tahu banyak tentang keponakan emirnya yang telah meninggal, selain bahwa ia berasal dari keluarga Ayyubiyah yang terkenal ambisius. Jadi, masa jabatan SaladinSalahuddin sebagai wazir dapat dinilai sebagai upaya terbaik untuk memperbaiki situasi politik dan sosial di Mesir sambil terus diawasi oleh Nur al-DinNuruddin, yang percaya bahwa penambahan sumber daya Mesir ke kekaisaran Suriahnya adalah salah satu langkah terakhir untuk menyelesaikan jihadnya melawan Negara-negara Tentara Salib.
 
== Penguasa Mesir ==
Setelah Kekhalifahan FatimiyahFathimiyah tumbang, SaladinSalahuddin kini menjadi penguasa Mesir, meskipun masih menjadi bawahan Nur al-DinNuruddin yang jauh. Nur al-DinNuruddin, pada gilirannya, tidak merasa puas dengan SaladinSalahuddin karena sejumlah alasan. Alasan terbesarnya adalah ketidaksenangannya dengan besarnya pembayaran upeti SaladinSalahuddin, yang ia harapkan jauh lebih besar. Masalah ini diperparah oleh fakta bahwa Nur al-DinNuruddin telah berusaha untuk memajukan Syirkuh, bukan SaladinSalahuddin dan, dengan kematian Ayyub, Nur al-DinNuruddin merasa bahwa ia tidak memiliki kendali atas penguasa yang lebih muda itu dan menjadi semakin yakin bahwa SaladinSalahuddin akan berusaha untuk menjadi independen. Sejauh mana SaladinSalahuddin mungkin sengaja membayar Nur al-DinNuruddin terlalu rendah tidak diketahui, tetapi kemungkinan besar makam Firaun akhirnya mengering setelah begitu banyak digunakan oleh wazir sebelumnya. Saladin terus secara aktif menghindari pertemuan pribadi dengan Nur al-DinNuruddin, yang mungkin telah menyingkirkannya dari kekuasaan.
 
Tidak diragukan lagi bahwa tindakan SaladinSalahuddin tampak mencurigakan saat ia melanjutkan reformasinya di seluruh masyarakat Mesir, termasuk penghapusan banyak pajak yang bertentangan dengan hukum Islam, dan mulai membangun angkatan laut yang tangguh. Namun, Nur al-DinNuruddin tidak sendirian dalam menghadapi bawahan yang ambisius. Ketika Ayyubiyah lainnya mengumpulkan kekuasaan di Mesir, mereka juga ingin mendapatkan wilayah, kekayaan, dan kejayaan. Di antara mereka adalah keponakannya Taqi al-Din Umar, yang memperluas wilayah kekuasaan Saladin ke arah barat hingga ke perbatasan Kekaisaran Almohad pada tahun 1173, dan saudaranya Turanshah, yang menyerbu Yaman dan menggulingkan pemimpinnya yang sesat pada tahun 1174. Manuver ini menyebabkan Nur al-DinNuruddin mengirim seorang auditor ke Mesir untuk menetapkan jumlah pembayaran yang tepat pada tahun 1173, sebuah tanda ketidakpercayaan yang jelas. Dengan meningkatnya ketegangan, tahun 1174 terbukti menjadi tahun yang krusial bagi SaladinSalahuddin. Di awal tahun, ketika saudaranya yang ambisius berangkat ke [[Yaman]], SaladinSalahuddin menemukan konspirasi untuk mengembalikan kekuasaan FatimiyahFathimiyah dan menangani para konspirator dengan cepat dan brutal.
 
Sementara itu, kesabaran Nuruddin tampaknya akhirnya habis dan ia mulai mengumpulkan pasukan untuk invasi ke Mesir. Nuruddin tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal, meninggalkan sejumlah penerus langsung yang tidak cukup umur atau tidak memiliki keterampilan untuk menggantikannya. Dengan Mesir sebagai basis kekuatannya yang aman, SaladinSalahuddin tidak membuang waktu untuk maju ke [[Damaskus]], di mana penduduk menyambutnya dengan tangan terbuka pada tahun 1174. Sejak saat itu, perhatiannya akan difokuskan pada Suriah.