Nyai Ageng Serang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
menambahkan referensi |
||
Baris 25:
== Kehidupan Dewasa ==
Nyi Ageng Serang lahir di desa Serang saat musim hujan. Di masa mudanya, ia menerima pelatihan militer dan sempat menjadi istri dari Sri Sultan [[Hamengkubuwana II]]. Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang menikah dua kali, selain dengan Hamengkubuwana II yang kemudian berpisah, ia menikah dengan Pangeran Serang I (nama asli: Pangeran Mutia Kusumowijoyo). Di Serang, dia melahirkan seorang putra bernama Pangeran Kusumowijoyo atau Sumowijoyo (1794-1852), yang disebut sebagai Pangeran Serang II dalam sumber [[Belanda]]. Dicap oleh Jenderal [[Hendrik Merkus de Kock]], sebagai yang sungguh jahat, tidak berprinsip, dan kecanduan madat.<ref name=":2">{{cite book|last=Carey|first=Peter|title=Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|date=2017|location=Jakarta|pages=31|url=http://www.penerbitkpg.id/|isbn=978-602-6208-16-3|year=|last2=Houben|first2=Vincent}}</ref> Ia juga memiliki seorang putri yang menikah dengan anak Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Mangkudiningrat I (1775-1824), yang diasingkan ke [[Pulau Pinang]] (1812-1815) dan [[Ambon]] (1816-1824) setelah Inggris menyerang [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]]. Pasangan yang terakhir ini punya seorang putra, Raden Tumenggung Mangkudirjo yang kelak akan bergelar Pangeran Adipati Notoprojo atau Raden Mas Papak (1803-1855). Julukan itu diberikan karena jari-jari tengah-tengah kiri sama rata, tanda kebesaran sebagai calon raja.<ref>{{Cite web|title=Vredeburg.id|url=https://vredeburg.id/id/post/nyi-ageng-serang-sosok-pejuang-sejati-ahli-siasat-perang|website=vredeburg.id|access-date=2024-10-27}}</ref>
Nyi Ageng Serang terlibat dalam perang melawan Belanda bersama ayahnya, Pangeran Notoprojo. Pada saat itu, Belanda melakukan serangan mendadak terhadap kubu pertahanan yang dipimpin oleh Pangeran Notoprojo. Karena faktor usia yang telah lanjut, kepemimpinan pertahanan di Serang kemudian diserahkan kepada Nyi Ageng Serang. Selama pertempuran berlangsung, saudara laki-lakinya gugur di medan perang. Nyi Ageng Serang mengambil alih kepemimpinan sepenuhnya dan memimpin pasukan melawan Belanda. Meskipun ia bertempur dengan segala daya upaya, pasukan Serang terdesak oleh kekuatan musuh yang lebih besar, terlebih setelah Pangeran Mangkubumi tidak lagi memberikan dukungan setelah mengadakan perjanjian damai dengan Belanda melalui Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Awalnya, Nyi Ageng Serang menolak menyerah, namun ia akhirnya berhasil ditangkap dan menjadi tawanan Belanda. Dari peristiwa pertempuran di Serang inilah, nama Kustiah dikenal sebagai Nyi Ageng Serang. Setelah dibebaskan, ia dikirim ke Yogyakarta, di mana ia kemudian lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memperkuat kehidupan spiritualnya.<ref>{{Cite web|last=Rebeca Bernike Etania, Tri Indriawati|date=2023/09/01|title=Biografi Nyi Ageng Serang, Pemimpin Pasukan di Perang Diponegoro|url=https://www.kompas.com/stori/read/2023/09/01/140000079/biografi-nyi-ageng-serang-pemimpin-pasukan-di-perang-diponegoro|access-date=2024/10/27}}</ref>
Masa perjuangan Nyi Ageng Serang terus berlanjut. Setelah berpisah dari Hamengkubuwana II, Nyi Ageng Serang kembali ke daerah Purwodadi dan bergabung dalam perjuangan bersama Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa (1825–1830), meskipun saat itu ia telah berusia 73 tahun. Selama perang tersebut, Nyi Ageng Serang tetap aktif dan gigih melanjutkan perlawanan bersama cucunya, R.M. Papak Nyi Ageng. Dalam Perang Diponegoro, ia memegang posisi strategis sebagai penasihat Pangeran Diponegoro, serta beberapa kali dipercaya memimpin pasukan dalam pertempuran di wilayah Serang, Purwodadi, Gundih, Kudus, Demak, dan Semarang. Nyi Ageng Serang dikenal sebagai ahli strategi militer, terutama dengan taktik yang disebut "strategi lembu," yang memanfaatkan hewan atau daun talas sebagai alat penyamaran dalam peperangan. Selain itu, ia juga pernah memimpin perang gerilya di sekitar Desa Beku, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Atas saran Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang kemudian memindahkan markasnya ke Prambanan dan menjadi penasihat Sultan Sepuh, Hamengku Buwono II.<ref name=":4" />
|