Abdul Jalil Syah dari Siak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Harris Est 13 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Harris Est 13 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan VisualEditor
Baris 16:
| spouse 1 = Ence Kecil/Jenamal
| spouse 2 = Tengku Kamariah
| spouse 3 = Tengku Sahak
| spouse 4 =
| spouse 5 =
Baris 24:
| spouse 9 =
| spouse 10 =
| issue = {{plainlist|
* [[Sultan Alamuddin Syah dari Siak|Sultan Alamuddin Syah]]
* [[Tengku Buwang Asmara]]
* Tengku Sahak
* Tengku Putih
* Sultan Bekabut
}}
| royal house =
Baris 43 ⟶ 46:
}}
 
'''Sultan Abdul Jalil Syah''', atau dikenal juga dengan panggilan '''Raja Kecil''', adalah pendiri [[Kesultanan Siak Sri Inderapura]]. Menurut legenda, ia adalah putra Sultan Mahmud Shah II dari Johor dan dengan klaim tersebut, ia menghimpun berbagai suku bangsa di pesisir timur Sumatera untuk merebut takhta [[Kesultanan Johor|Johor]], yang diduduki oleh Tengku Bendahara setelah kematian ayahnya. Setelah empat tahun berkuasa di Johor, ia dilengserkan dan mundur ke Buantan serta mendirikan Kesultanan Siak. Dari Buantan, Raja Kecil merongrong kekuasaan Johor dengan berbagai serangan dan mengamankan wilayahnya yang kaya dengan sumber daya alam.<ref>Andaya, L. (2008). ''Leaves of the Same Treename=":4" Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka'' (1st ed., p. 102). Hawaii: University of Hawaii Press. Retrieved from https://books.google.com.my/books?id=w7AqZR1ZUZgC&pg=PA104&dq=sultan+of+Pagaruyung&hl=en&sa=X&ved=0CBwQ6AEwAGoVChMIyLeelM</ref>
 
== Historiografi ==
Baris 50 ⟶ 53:
Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah keberpihakan: ''Tuhfat an-Nafis'' sangat berpihak kepada tokoh-tokoh Bugis, di mana Raja Ali Haji merupakan keturunan bangsa tersebut, serta menjelek-jelekkan pihak Siak dan Minangkabau yang menjadi musuh utama pada masa tersebut. Sementara itu, ''Hikayat Siak'' membela Raja Kecil dan pengikutnya dan memberi alasan logis terhadap beberapa tindakan-tindakan Raja Kecil terhadap Bugis. Terkadang, hasil perang dimenangkan pihak yang didukung oleh masing-masing penulis, seperti dalam serangan Kedah.<ref name=":2">{{Cite journal|last=Hashim|first=Muhammad Yusoff|date=1988|title=Di Antara Fakta dan Mitos: Tradisi Pensejarahan di Dalam Hikayat Siak atau Sejarah Raja-Raja Melayu|url=https://ejournal.um.edu.my/index.php/SEJARAH/article/view/8910|journal=Sejarah: Journal of the Department of History|language=|volume=1|issue=1|pages=63-116|doi=10.22452/sejarah.vol1no1.3|issn=2756-8253}}</ref>
 
Di samping itu, orang Belanda juga mencatat keberadaan Raja Kecil, terutama aktivitasnya saat dewasa.<ref>{{cite journal|last=Coolhaas|first=W.P.|year=1964|title=Generale Missiven der V.O.C.|journal=Journal of Southeast Asian History|volume=2|issue=7|doi=10.1017/S0217781100003318}}</ref> Pertama kali nama Raja Kecil tercatat oleh VOC adalah ketika pihak Minangkabau menyurati mereka bahwa seorang anak Mahmud Syah datang sebagai perwakilan Pagaruyung demi menuntut balas darah ayahnya.<ref name=":3" /> Karena dibesarkan dan diutus oleh Pagaruyung, Belanda menganggap kehadiran Raja Kecil sebagai bagian dari alam Minangkabau.<ref name=":4">{{Cite book|last=Andaya|first=Leonard Y.|date=2019|url=|title=Selat Malaka: sejarah perdagangan dan etnisitas|location=Jakarta|publisher=Komunitas Bambu|isbn=978-623-7357-04-9|language=|url-status=live}}</ref> Namun, pada beberapa masa, perwakilan Minangkabau oleh Raja Kecil tergantikan oleh "Sultan Maharaja", sehingga ia tidak lagi mengafiliasikan diri ke sana.<ref name=":3">{{Cite book|last=Barnard|first=Timothy P.|date=2003|url=https://brill.com/display/title/23422|title=Multiple Centres of Authority: Society and Environment in Siak and Eastern Sumatra, 1674-1827|location=London|publisher=Brill|isbn=978-90-04-45435-4|language=|url-status=live}}</ref> Kebanyakan kisah Raja Kecil dari sudut pandang Barat (Belanda dan Inggris) dirangkum oleh [[Elisa Netscher]] dalam tulisannya ''De Nederlands in Johor en Siak 1602 tot 1865''.<ref name=":7">{{Cite book|last=Netscher|first=Elisa|date=2002|title=Belanda di Johor dan Siak 1602-1865|location=Pekanbaru|publisher=Pemerintah Daerah Kabupaten Siak dan Bina Pusaka|others=Diterjemahkan oleh Wan Ghalib|url-status=live}}</ref> Sumber lain yang mengisahkan terbentuknya Kesultanan Siak adalah ''Syair Raja Siak.''
 
== Kelahiran dan Kehidupan Awal ==
Kisah Raja Kecil diawali dengan meninggalnya Sultan Mahmud Syah. Baik ''Tuhfat'' maupun ''Hikayat Siak'' sama-sama menceritakan<ref name=":0" /> bahwa Mahmud Syah membunuh istri Megat Sri Rama, sehingga membangkitkan amarah Megat Sri Rama. Kesempatan itu diambil oleh Datuk Bendahara, Temenggung dan Indera Bungsu, yang bermufakat untuk melancarkan balas dendam Megat Sri Rama sekaligus menggantikan sang sultan. Datuk Bendahara kemudian menghasut sultan untuk membunuh hulubalangnya yang setia bernama Seri Bija Wangsa dengan tuduhan berkhianat.<ref name=":1" /> Namun, dalam ''Hikayat Siak'', Datuk Bendahara menghukum mati Seri Bija Wangsa tanpa sepengetahuan sultan.<ref name=":0" /> Pada hari Jumat, Mahmud Syah dibopong (''dijulang'') pergi ke masjid, dan Megat Seri Rama menusuk sang sultan sehingga meninggal ''(mangkat''). Dari peristiwa inilah ia digelari Marhum Mangkat Dijulang.<ref name=":0" /><ref name=":1" />
 
Dalam ''Hikayat Siak'', Raja Kecil adalah anak dari Sultan Mahmud Syah II (dalam naskah disebut Sultan Abdul Jalil Syah) dan Encik Apong yang "berhubungan" pada malam jumat sebelum sang sultan meninggal dunia. "Hubungan" yang dimaksud adalah saat sang sultan berahi air maninya terpancar, dan sultan menyuruh Encik Apong menelannya.<ref name=":0">{{Cite book|last=Hashim|first=Muhammad Yusof|last2=|date=1992|url=https://books.google.co.id/books/about/Hikayat_Siak.html?hl=id&id=NggXAAAAIAAJ&redir_esc=y|title=Hikayat Siak: Sejarah mengenai raja-raja Melayu Kerajaan Siak Sri Inderapura|location=Kuala Lumpur|publisher=Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan, Malaysia|isbn=978-983-62-2728-7|language=ms|url-status=live}}</ref> Dalam ''Tuhfat'', setelah menceritakan "di dalam sejarah sebelah Siak" tersebut, Raja Ali Haji juga menceritakan "setengah kaul sejarah lain" bahwa setelah Mahmud Syah "takkala mangkat baginda itu zakarnya berdiri", dan pembesar Johor menyuruh Encik Apong bersetubuh dengannya sehingga "rebah zakar baginda itu". Setelah itu, Encik Apong dilarikan oleh seseorang bernama Panglima Bebas ke Pagaruyung.<ref name=":1">{{Cite book|last=Haji|first=Raja Ali|date=2002|url=https://pustaka.kebudayaan.kemdikbud.go.id/index.php?p=show_detail&id=11519|title=Tuhfat Al-Nafis Sejarah Riau-Lingga dan Daerah Takluknya 1699-1864|location=Kuala Lumpur|publisher=Yayasan Khazanah Melayu|language=|url-status=live}}</ref>
 
''Tuhfat'' tidak menambahkan lagi nasib Encik Epong setelah itu, lain halnya dengan ''Hikayat Siak''. Saat masih hamil, Encik Apong diinterogasi oleh Bendahara lalu mengaku bahwa janin tersebut adalah anak Mahmud Syah. Ia berjanji kepada Bendahara tidak akan melihat wajah anaknya itu begitu ia melahirkan.<ref name=":0" /> Setelah melahirkan, Encik Apong menyerahkan bayinya kepada ayahnya, Laksamana, untuk dibawa pergi dari Johor. Laksamana membawanya ke Raja Negara di Selat Singapura. Oleh Raja Negara, bayi tersebut dibawa ke Muar untuk diasuh oleh Temenggung Muar, dan dibesarkan di sana.<ref name=":0" /> Dengan tidak adanya anak Mahmud Syah (yang tampak), orang Johor mengangkat Tengku Bendahara sebagai sultan Johor dengan nama Sultan Abdul Jalil.<ref name=":1" />
Baris 68 ⟶ 71:
Penyerangan Johor terjadi sekitar akhir Februari dan awal Maret tahun 1718. Menurut ''Hikayat Siak'', selain kekuatan orang Minangkabau, Raja Kecil juga didukung oleh Orang Laut, penduduk Selat Melaka, beberapa orang Bugis, serta beberapa petinggi kerajaan Johor yang membelot kepadanya. Keadaan ini ditambah dengan kondisi pertahanan Johor yang tidak banyak melawan.<ref name=":5">{{Cite journal|last=Andaya|first=Leonard Y.|date=1972|title=Raja Kechil and the Minangkabau Conquest of Johor in 1718|url=https://www.jstor.org/stable/41492060|journal=Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society|volume=45|issue=2 (222)|pages=51–75|issn=0126-7353}}</ref> ''Hikayat Siak'' mencatat bahwa meriam Johor tidak dapat menembak, melainkan keluar air; kisah sabotase meriam ini menjadi 'bahan' kharisma Raja Kecil sebagai anak Mahmud Syah Mangkat Dijulang.<ref name=":2" /><ref name=":5" /> Setelah berlabuh di Johor, Raja Kecil meyakinkan sebagian orang Johor; dalam ''Hikayat Siak'' ia mencelupkan mangkuk rotan ke air laut, berdoa sekiranya ia anak Mahmud Syah maka air itu tawar rasanya, dan ketika mereka mencobanya air itu memang tawar. Sebagian besar yang yakin itu adalah dari kalangan [[Orang Laut]].<ref name=":4" /><ref name=":0" /> Menurut catatan Joao Tavares, seorang kapten Portugis, Raja Kecil juga didukung oleh penduduk Singapura dan beberapa orang Bugis, serta dengan yakinnya mengajak Portugis untuk bergabung;<ref name=":3" /> dalam ''Hikayat Siak'', pimpinan Bugis ini adalah Daeng Parani dan Daeng Celak.<ref name=":3" /><ref name=":0" />
 
Setelah Raja Kecil memasuki Johor, Yang Dipertuan Muda Johor membunuh istri dan anaknya lalu mengamuk di dalam kota; dalam ''Tuhfat al-Nafis'' ia membunuh mereka karena takut dijadikan budak dan gundik oleh musuhnya.<ref name=":2" /><ref name=":0" /> Raja Kecil kemudian mengikat persekutuan dengan Abdul Jalil dengan cara meletakkannya kembali sebagai Tengku Bendahara dan menikahi putrinya, Tengku Tengah. Namun, Raja Kecil membatalkan pertunangan dengannya karena tertarik dengan adiknya, Tengku Kamariah. Raja Kecil ditabalkan sebagai Yang Dipertuan Besar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah.<ref name=":3" /><ref name=":0" /> Selam di Johor ia mendengar kabar bahwa Encik Apong meninggal, lalu ia menziarahi kuburnya.<ref name=":0" />
 
Walau telah berusaha menjaga aliansi, Raja Kecil tidak dapat mempertahankannya lebih lanjut. Pembatalan tunangan dengan Tengku Tengah merupakan salah satu titik balik hubungan aliansi tersebut.<ref name=":3" /> Belum lagi, Daeng Parani menuntut janji kepada Raja Kecil agar dijadikan Raja Muda tetapi akhirnya ditolak, dengan alasan mereka datang takkala rombongan Raja Kecil telah selesai menyerang Johor.<ref name=":0" /> Tengku Tengah kemudian menikah dengan Daeng Parani dan dijanjikan jabatan tinggi apabila mereka dapat menyingkirkan Raja Kecil dan mengangkat Raja Sulaiman, saudara Tengku Tengah, sebagai Yang Dipertuan Johor. Mereka menculik Tengku Kamariah dan lari ke Pahang. Dengan demikian, Raja Kecil kehilangan kekuatan dari bangsawan Melayu dan Bugis.<ref name=":3" /> Raja Kecil dan pendukungnya undur diri, mula-mula ke kepulauan Riau, kemudian pada bulan Januari 1719 ke Pulau Guntung.<ref name=":3" /> Sementara dalam tahanan mereka, Tengku Kamariah melahirkan [[Tengku Buwang Asmara|Tengku Buwang]].<ref name=":0" />
 
Sementara di Pulau Guntung, ia berhubungan dengan VOC, yang dalam catatan mereka sebagai "Baginda Raja Kecil yang memerintah Pulau Guntung dan syahbandar Sri Sultan Pagaruyung".<ref name=":3" /><ref name=":5" /> Namun, VOC juga mendapat surat dari Pagaruyung bahwa "Sultan Gagar Alam" (dalam catatan VOC merupakan anak Putri Jamilan) telah menunjuk Sultan Maharaja untuk menggantikan Raja Kecil serta memanggilnya agar kembali ke Pagaruyung, serta menjamin jalur perdagangan emas di pesisir timur Sumatera. Alih-alih menurut, Raja Kecil menghimpun Orang Laut di Riau untuk mendukungnya kembali, serta memburu Sultan Maharaja dan empat Orang Kaya pengikutnya, yang akhirnya kalah dan lari ke pedalaman Sumatera. Raja Kecil memberi tahu VOC bahwa ia telah mengamankan jalur Petapahan dan akan kembali ke Johor melalui Pulau Guntung. Pasukan pendukung Raja Kecil kemudian menyerbu Riau,<ref name=":3" /> tetapi melihat kekuatan Bugis, Raja Kecil mundur ke pedalaman Sumatera.<ref name=":0" /> Dengan terbunuhnya Tengku Bendahara di pihak Siak—entah itu sebelum meninggalkan Johor atau saat berada di Riau—Raja Sulaiman yang telah menguasai Johor diangkat menjadi sultan dan mengikat aliansi bersama Bugis dengan memberikan mereka jabatan Raja Tua dan Raja Muda.<ref name=":3" /><ref name=":1" /><ref name=":0" />
Baris 76 ⟶ 79:
== Yang Dipertuan Besar Siak ==
 
Raja Kecil pada tahun 1722 meneroka pedalaman Riau dan menemukan sebuah daerah bernama Buantan. Dari sana, di tepi Sungai Siak, ia mendirikan "negeri" baru, dengan dirinya sebagai pemimpin dengan nama Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah.<ref name=":3" /><ref name=":0" /> Dari Buantan, ia menghimpun kekuatan untuk menyerang Johor dan berhasil merebut istrinya kembali dari tangan musuh. ''Hikayat Siak'' menceritakan kisah ini sebagai upaya nekat yang heroik oleh Raja Kecil, di mana ia dapat menyelamatkan istri serta Tengku Buwang anaknya, manakala ''Tuhfat al-Nafis'' menceritakan bahwa Raja Kecil memohon Raja Sulaiman untuk mengembalikan istrinya dengan sumpah bahwa ia tidak akan menyerang Johor kembali.<ref name=":1" /><ref name=":0" /><ref name=":6" /> Ia juga menyempatkan balas dendam terhadap syahbandar Johor yang mempermalukannya di Bukit Batu atau Sabah Aur, tetapi karena permohonan Orang Asli ia tidak dibunuh, melainkan jarinya dilukai sedikit dan darahnya dihisap oleh Raja Kecil demi menebus sumpahnya; hal ini sekaligus menandakan takluknya daerah tersebut.<ref name=":0" /><ref name=":6" /> PendukungnyaPada dapatmasa menetap dan berkembang di negerinyaini, tetapiRaja hakAlam kepemilikanbertemu tanahdengan beradaayahnya didan tanganmenjadi orangpetinggi asliistana.<ref name=":60" />
 
Tahun-tahun awal berdirinya Siak diwarnai dengan konflik antara Raja Kecil dengan Johor. Raja Kecil sering sering merongrong kekuasaan Johor dengan menyerang kepulauan Riau dan sekitarnya, sedangkan Johor berusaha menegakkan kedaulatannya di pesisir timur Sumatera (terutama Bengkalis dan sekitarnya) serta menghalang-halangi Raja Kecil. Hasil penyerangan ini seringkali tidak pasti, karena baik ''Hikayat Siak'' maupun ''Tuhfat al-Nafis'' saling mengklaim berbagai kemenangan pada pihak yang mereka dukung.<ref name=":2" /><ref name=":3" /> Raja Kecil awalnya juga beraliansi dengan VOC yang menyediakan meriam dan mesiu dengan bayaran uang real dan guliga, tetapi aliansi itu terhenti pada tahun 1727.<ref name=":3" /> Peperangan paling disorot oleh ''Hikayat Siak'' dan ''Tuhfat al-Nafis'' adalah perang Kedah, di mana Daeng Parani tewas ditembak meriam Raja Kecil. Hasil perang tersebut juga tidak pasti: ''Hikayat Siak'' menyatakan kemenangan Raja Kecil yang beraliansi dengan raja Kedah kemudian kembali ke Siak, sementara ''Tuhfat al-Nafis'' menyatakan pasukan Bugis mengamuk setelah kematian Daeng Parani sehingga Raja Kecil mundur ke Siak.<ref name=":2" /><ref name=":1" /><ref name=":0" /> Di tengah kemelut tersebut, Raja Kecil mempunyai seorang istri lagi yang melahirkan Tengku Sahak dan Tengku Putih, dan jumlah anak Raja Kecil adalah sembilan orang.<ref name=":3" /><ref name=":0" /> Raja Kecil menyerang Johor untuk terakhir kalinya pada tahun 1735.<ref name=":3" />
 
Selama di Buantan Raja Kecil menata pemerintahannya. Pendukung Raja Kecil dapat menetap dan berkembang di negerinya, tetapi hak kepemilikan tanah berada di tangan orang asli.<ref name=":6" /> Ia juga mengangkat beberapa pendukungnya sebagai Orang Besar-besar; institusi ini nantinya berevolusi menjadi Datuk Empat Suku.<ref name=":3" /> Kedua anaknya juga membantu ayahnya dalam menghadang Johor di Selat Melaka, terutama setelah ia tidak menyerang lagi. Raja Alam pada tahun 1737 membangun benteng di Riau dan menyerang sebuah kapal bugis serta merampas meriamnya. Meskipun pada akhirnya mundur, Raja Alam merongrong kekuasaan Johor dengan menduduki beberapa wilayah Johor dan mengganggu pelayaran mereka. Tengku Buwang merongrong wilayah Linggi dan sekitarnya, dan pada bulan Mei 1740 menyerang orang Bugis di Muar.<ref name=":3" />
 
== Akhir Hayat ==
Kondisi jiwanya terguncang ketika Tengku Kamariah meninggal karena sakit yang telah lama diidapnya. Ia sering mengunjungi makam istrinya dan bahkan tidur di samping pusaranya. Kondisi tersebut semakin memburuk beberapa tahun menjelang akhir hayatnya. Ketika ditanya siapa yang akan menggantikan dirinya, Raja Kecil menjawab "barangsiapa yang hidup, itulah anak kita"<ref name=":3" /><ref name=":1" /><ref name=":0" /> Orang-orang kaya besar dalam hal ini memilih Tengku Buwang, yang merupakan ''anak gahara'' (keturunan bangsawan Melayu), daripada Raja Alam yang merupakan anak keluarga lokal yang terpandang. Raja Alam dijadikan Yang Dipertuan Muda, yang berarti akan menggantikan Tengku Buwang sebagai penerusnya.<ref name=":3" /><ref name=":0" /> Sekalipun demikian, perseteruan Raja Alam dengan Tengku Buwang tidak selesai. Raja Alam menghimpun kekuatan di Batubara,<ref name=":3" /><ref name=":0" /> di mana banyak perantau Minangkabau menetap di sana.<ref>{{Cite book|last=Dobbin|first=Christine|date=2008|title=Gejolak ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri : Minangkabau 1784-1847|location=Jakarta|publisher=Komunitas Bambu|isbn=979-3731-26-5|url-status=live}}</ref> Bahkan kota itu dapat menyaingi perdagangan Bengkalis.<ref name=":3" />
 
Di tengah konflik kedua anaknya tersebut, Raja Kecil meninggal kira-kira tahun 1746<ref name=":7" /> dan dimakamkan di Buantan, dekat makam Tengku Kamariah. Makamnya saat ini menjadi salah satu cagar budaya Kabupaten Siak.<ref>{{Cite journal|last=Khairiah|date=2014|title=Menelusuri Jejak Arkeologi di Siak|url=https://media.neliti.com/media/publications/40476-ID-menelusuri-jejak-arkeologi-di-siak.pdf|journal=Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya|volume=11|issue=1|pages=34-54}}</ref>
 
== Rujukan ==