Tanpa atma: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Faredoka (bicara | kontrib)
k -ahamkara +ahaṃkāra
Faredoka (bicara | kontrib)
translate refs & notes
Baris 61:
Belenggu ([[Bahasa Pali|Pali]]: ''[[saṁyojana]]'', ''saññojana'') mengikat mahkluk hidup pada [[Samsara (Buddhisme)|samsara]], yaitu lingkaran [[punarbawa]] yang disertai [[Penderitaan (Buddhisme)|penderitaan]]. Dengan meyingkirkan seluruh belenggu secara bertahap, seseorang mencapai [[Nirvana|Nirwana]] melalui [[empat tingkat kemuliaan]]. Sebagaimana ditampilkan pada tabel, di dalam [[Sutta Piṭaka]], lima belenggu pertama dirujuk sebagai "belenggu-belenggu rendah" (''orambhāgiyāni saṃyojanāni'') dan disingkirkan segera setelah seseorang mencapai tingkat [[Sotapana|''sotāpanna'']]; dan lima belenggu terakhir dirujuk sebagai "belenggu-belenggu tinggi" (''uddhambhāgiyāni saṃyojanāni''), disingkirkan oleh seorang [[arahat]].<ref>Untuk referensi sutta-tunggal baik untuk "belenggu-belenggu tinggi" dan "belenggu-belenggu rendah," lihat, [[Digha Nikaya|DN]] 33 (bagian kelima) dan [[Anguttara Nikaya|AN]] 1.13. Dalam hal lainnya, sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu rendah diikuti dengan sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu tinggi, seperti dalam: [[Samyutta Nikaya|SN]] 45.179 and 45.180; SN 46.129 and 46.130; SN 46.183 dan 46.184; SN 47.103 dan 47.104; SN 48.123 dan 48.124; SN 49.53 dan 49.54; SN 50.53 dan 50.54; SN 51.85 dan 51.86; SN 53.53 dan 53.54; dan, AN 9.67 dan 9.70. Sebagai tambahana, lima belenggu rendah sendiri (tanpa rujukan akan belenggu-belenggu tinggi) didiskusikan, contoh, dalam [[Majjhima Nikaya|MN]] 64.</ref>
 
Tanpa-atma terkait erat dengan belenggu pertama, yaitu pandangan identitas diri atau roh (''sakkāyadiṭṭhi'').<ref name=":1">[http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2684.pali Rhys Davids & Stede (1921-25), pphlm. 660-1, "Sakkāya" entry] {{Webarchive|url=https://archive.today/20120707211711/http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2684.pali|date=2012-07-07}} (retrievedDiakses 2008-04-09). Lihat pula, ''[[anatta]]''.</ref> Dalam Sabbasava Sutta ([[Majjhima Nikaya|MN]] 2), Buddha juga menjelaskan "belenggu atas pandangan":
 
: "Ini adalah bagaimana ia memperhatikan dengan tidak bijaksana:
Baris 92:
== Mahāyāna ==
{{Utama|Ātman (Buddhisme)}}
Ajaran tentang "[[Benih Kebuddhaan]]" merupakan gagasan utama pemikiran [[Mahāyāna]] Asia Timur (seperti dalam [[Buddhisme Han]]).{{sfn|Lusthaus|1998|p=83}} Konsep Benih Kebuddhaan mengacu pada beberapa istilah terkait,{{refn|Buddha-dhātu, batin/pikiran, ''TathagatagarbhaTathāgatagarbha'', Dharma-dhatu, hal-hal demikian (''tathata'').{{sfn|Lusthaus|1998|p=84}}|group=note}} terutama ''Tathāgatagarbha'' dan ''Buddha-dhātu''.{{refn|Sanskerta; Jp.Jepang: ''Busshō'', "Benih Kebuddhaan".|group=note}} ''[[Tathāgatagarbha]]'' berarti "rahim dari yang telah meninggal" (lih. yang tercerahkan), sedangkan ''Buddha-dhātu'' secara harfiah berarti "alam Buddha" atau "substrat Buddha".{{refn|{{harvnb|Trainor|2004|p=207}}: "benih suci yang menjadi dasar bagi [makhluk] untuk menjadi Buddha (''sacred nature that is the basis for [beings'] becoming buddhas'')."|group=note}} Beberapa teks utama merujuk pada ''tathāgatagarbha'' atau ''Buddha-dhātu'' sebagai "atman", Diri, atau esensi, meskipun teks-teks tersebut juga berisi peringatan terhadap penafsiran harfiah. Beberapa ahli telah mencatat kesamaan antara teks-teks ''tathāgatagarbha'' dan [[monisme]] substansial yang ditemukan dalam tradisi [[atman]] dan [[Brahman]].<ref>Jamie Hubbard, ''Absolute Delusion, Perfect Buddhahood'', University of Hawai’i Press, Honolulu, 2001, pphlm. 99–100</ref>
 
Ajaran Tathāgatagarbha, pada awalnya, mungkin muncul pada akhir abad ke-3 Masehi, dan dapat diverifikasi dalam terjemahan bahasa Tionghoa pada milenium pertama Masehi.{{sfn|Williams|1989|p=104}}
 
=== Mahāparinirvāṇa Sūtra ===
Berbeda dengan aliran-aliran ''madhyamika'', [[Mahāparinirvāṇa Sūtra]] menggunakan "bahasa positif" untuk menunjukkan "realitas absolut". Menurut Paul Williams, Sūtra Mahāyāna Mahāparinirvāṇa mengajarkan esensi yang mendasari, "Diri", atau "Atman".{{sfn|Williams|1989|pp=98–99}} "Diri sejati" ini adalah Benih Kebuddhaan ([[Tathāgatagarbha]]) yang diyakini hadir dalam semua makhluk hidup, dan disadari oleh mereka yang telah tercerahkan. Sebagian besar ahli menganggap ajaran TathagatagarbhaTathāgatagarbha dalam Sūtra Mahāparinirvāṇa yang menegaskan 'esensi alamiah' dalam setiap makhluk hidup setara dengan 'Diri',{{refn|Wayman dan Wayman tidak setuju dengan pandangan ini, dan mereka menyatakan bahwa ''TathagatagarbhaTathāgatagarbha'' bukanlah diri maupun makhluk hidup, bukan jiwa, maupun kepribadian.{{sfn|Williams|1989|p=107}}|group=note}} dan hal ini bertentangan dengan ajaran tanpa-atma (''anatta'') dalam sebagian besar teks dalam kitab-kitab Buddhis. Hal ini menyebabkan para alhli berpendapat bahwa Sūtra Tathāgatagarbha ditulis untuk mempromosikan Buddhisme kepada non-Buddhis.{{sfn|Williams|1989|pp=104–105, 108}}<ref>{{cite book|author=Merv Fowler|year=1999|url=https://books.google.com/books?id=A7UKjtA0QDwC|title=Buddhism: Beliefs and Practices|publisher=Sussex Academic Press|isbn=978-1-898723-66-0|pages=101–102}}, '''Quote:''' "Some texts of the ''tathagatagarbha'' literature, such as the ''Mahaparinirvana Sutra'' actually refer to an ''atman'', though other texts are careful to avoid the term. This would be in direct opposition to the general teachings of Buddhism on ''anatta''. Indeed, the distinctions between the general Indian concept of ''atman'' and the popular Buddhist concept of Buddha-nature are often blurred to the point that writers consider them to be synonymous."</ref>
 
Menurut Sallie B. King, Sūtra Mahāyāna Mahāparinirvāṇa tidak mewakili suatu inovasi besar.{{sfn|King|1991|p=14}} Inovasi terpentingnya adalah menghubungkan istilah ''buddhadhātu'' dengan ''tathāgatagarbha''.{{sfn|King|1991|p=14}} Menurut King, ''sūtra'' tersebut agak tidak sistematis,{{sfn|King|1991|p=14}} yang membuatnya "menjadi s''ūtra'' yang bermanfaat bagi para siswa dan komentator di kemudian hari, yang terpaksa membuat tatanan mereka sendiri dan membawanya ke dalam teks".{{sfn|King|1991|p=14}} ''Sūtra'' tersebut berbicara tentang sifat-sifat Buddha dalam begitu banyak cara yang berbeda sehingga para sarjana Tiongkok membuat daftar jenis-jenis Benih Kebuddhaan yang dapat ditemukan dalam teks tersebut.{{sfn|King|1991|p=14}} Salah satu pernyataan tersebut adalah:
Baris 103:
{{quote|Meskipun ia telah mengatakan bahwa semua fenomena [''dharma''] tidak memiliki Diri, bukan berarti bahwa semua itu sepenuhnya/sungguh-sungguh tidak memiliki Diri. Apakah Diri ini? Setiap fenomena [''dharma''] yang benar [''satya''], nyata [''tattva''], abadi [''nitya''], berdaulat/otonom/mengatur diri sendiri [''aisvarya''], dan yang dasar/ fondasinya tidak berubah [''asraya-aviparinama''], disebut sebagai 'Diri' [''atman''].{{sfn|Yamamoto|Page|2007|p=32}}}}
 
Dalam Sūtra Mahāparinirvāṇa, Sang Buddha juga diyakini berbicara tentang "sifat-sifat positif" dari Nirwana, yaitu "Yang Abadi, Bahagia, Diri (Atman), dan Yang Murni."<ref>Dr. Kosho Yamamoto, ''Mahayanism: A Critical Exposition of the Mahayana Mahaparinirvana Sutra'', Karinbunko, Ube City, Japan, 1975, pphlm. 141, 142</ref> Sūtra Mahāyāna Mahāparinirvāṇa menjelaskan:
 
{{quote|‘Diri’ (Atman) melambangkan Buddha; ‘Yang Abadi’ melambangkan Dharmakaya; ‘Kebahagiaan’ melambangkan Nirwana, dan ‘Yang Murni’ melambangkan Dharma.{{sfn|Yamamoto|Page|2007|p=29}}}}
 
Edward Conze. secara konotasi, menghubungkan istilah ''tathāgata'' itu sendiri (sebutan yang diberikan Sang Buddha kepada diri-Nya sendiri) dengan gagasan tentang Diri yang sejati dan nyata:{{quote|Seperti halnya ''tathata'' menunjuk pada realitas sejati secara umum, demikian pula kata yang berkembang menjadi ''Tathāgata'' menunjuk pada jati diri sejati, realitas sejati dalam diri manusia.<ref>Edward Conze, ''The Perfection of Wisdom in 8,000 Lines'', Sri Satguru Publications, Delhi, 1994, phlm. xix</ref>}}
 
Johannes Bronkhorst menyatakan bahwa mungkin saja "Buddhisme asli tidak menyangkal keberadaan jiwa [''Ātman'', ''Atta'']", meskipun tradisi Buddhis yang teguh telah menyatakan bahwa Sang Buddha menghindari pembicaraan tentang jiwa atau bahkan menyangkal.<ref>{{cite book|author=Johannes Bronkhorst|year=1993|url=http://www.khamkoo.com/uploads/9/0/0/4/9004485/the_two_traditions_of_meditation_in_ancient_india.pdf|title=The Two Traditions of Meditation in Ancient India|publisher=Motilal Banarsidass|isbn=978-81-208-1114-0|page=74, Footnote 187}}</ref> Meskipun mungkin ada ambivalensi tentang keberadaan atau ketidakberadaan Atman dalam literatur Buddhis awal, Bronkhorst menambahkan, jelas dari teks-teks ini bahwa mencari pengetahuan-tentang-Diri bukanlah jalan Buddhis untuk pembebasan, dan berpaling dari pengetahuan-tentang-Diri adalah jalan untuk pembebasan.<ref name="bronkhorst25">{{cite book|author=Johannes Bronkhorst|year=2009|url=https://books.google.com/books?id=fjU6AwAAQBAJ|title=Buddhist Teaching in India|publisher=Wisdom Publications|isbn=978-0-86171-811-5|page=25}}</ref> Posisi ini merupakan posisi yang terbalik dari tradisi [[Weda]] yang mengakui pengetahuan tentang Diri (Atman) sebagai "sarana utama untuk mencapai pembebasan".<ref name="bronkhorst25" />
Baris 114:
Menurut Paul Williams, Sutra Mahaparinirvana menggunakan istilah “Diri” (Atman) untuk memenangkan hati para pertapa non-Buddhis. Ia mengutip dari ''sūtra'' tersebut:{{sfn|Williams|1989|p=100}}
 
{{quote|Benih Kebuddhaan sebenarnya bukanlah diri. Demi [membimbing] makhluk hidup, saya menggambarkannya sebagai Diri.<ref name="Youru Wang 2003, page 58">Youru Wang, ''Linguistic Strategies in Daoist Zhuangzi and Chan Buddhism: The Other Way of Speaking.'' Routledge, 2003, phlm. 58.</ref>}}
 
Dalam [[Lankavatara Sutra]] yang muncul lebih belakangan, disebutkan bahwa ''tathāgatagarbha'' dapat disalahartikan sebagai suatu Diri/Atman, padahal bukan demikian.<ref>Peter Harvey, ''Consciousness Mysticism in the Discourses of the Buddha.'' In Karel Werner, ed., ''The Yogi and the Mystic.'' Curzon Press 1989, phlm. 98.</ref>
 
=== Ratnagotravibhāga ===
Baris 131:
<!-- "atman_Hinduism" -->
{{refn|group=note|name="atman_Hinduism"|Atman dalam agama Hindu:
* [https://www.britannica.com/topic/anatta Anatta] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20151210185046/https://www.britannica.com/topic/anatta |date=2015-12-10 }}, ''Encyclopædia Britannica'' (2013): "Konsep ''anatta'', atau ''anātman'', bertolakbelakang dari kepercayaan Hindu terkait ''ātman'' ("diri"). [''The concept of anatta, or anatman, is a departure from the Hindu belief in atman ("the self")''].";
* Steven Collins (1994), "Religion and Practical Reason" (Editors: Frank Reynolds, David Tracy), State Univ of New York Press, {{ISBN|978-0-7914-2217-5}}, pagehlm. 64; "Central toInti Buddhistdari [[wikt:soteriology|soteriologysoteriologi]] isBuddhis theadalah doctrineajaran oftentang notbukan-selfdiri (Pali: anattā''anatta'', SanskritSanskerta: ''anātman'', theajaran opposedyang doctrineberlawanan ofdari ajaran tentang ''ātman'' issebagai centralinti todari Brahmanicalpemikiran thoughtBrahman). Put very brieflySingkatnya, thisini isadalah theajaran [BuddhistBuddhis] doctrinebahwa thatmanusia humantidak beingsmemiliki haveroh, no souljiwa, notidak selfmemiliki diri, notidak memiliki hakikat [kekal] yang unchangingtidak essenceberubah.";
* Edward Roer (Translatorpenerjemah), {{Google books|3uwDAAAAMAAJ|Shankara's Introduction|page=2}} to ''Brihad Aranyaka Upanishad'', hlm. 2–4;
* Katie Javanaud (2013), [https://philosophynow.org/issues/97/Is_The_Buddhist_No-Self_Doctrine_Compatible_With_Pursuing_Nirvana Is The Buddhist 'No-Self' Doctrine Compatible With Pursuing Nirvana?] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150206211126/https://philosophynow.org/issues/97/Is_The_Buddhist_No-Self_Doctrine_Compatible_With_Pursuing_Nirvana |date=2015-02-06 }}, ''Philosophy Now'';
* David Loy (1982), "Enlightenment in Buddhism and Advaita Vedanta: Are Nirvana and Moksha the Same?", ''International Philosophical Quarterly'', Volume 23, Issue 1, hlm. 65–74;