== Latar belakang ==
Merasa frustrasi dalam negosiasi dengan republik dan meyakini bahwa republik telah dilemahkan oleh pemberontakan [[Negara Islam Indonesia|Darul Islam]] dan [[Pemberontakan PKI 1948|Madiun]], [[Belanda]] melancarkan serangan militer pada tanggal 19 Desember 1948 yang mereka sebut sebagai “''[[Agresi Militer Belanda II|Operatie Kraai]]''” (Operasi Gagak). Keesokan harinya, Belanda berhasil menaklukkan [[Kota Surakarta]] dan [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] yang merupakan lokasi ibu kota republik sementara. Pada akhir Desember, semua kota besar yang dikuasai republik di [[Jawa]] dan [[Sumatra]] telah berada di tangan Belanda. [[Soekarno|Presiden]], [[Mohammad Hatta|wakil presiden]], dan semua kecuali enam menteri Republik Indonesia ditangkap oleh pasukan Belanda dan diasingkan ke [[Pulau Bangka]] di lepas pantai timur Sumatra. Di daerah sekitar Yogyakarta dan Surakarta, pasukan republik menolak untuk menyerah dan terus melancarkan perang gerilya di bawah pimpinan kepala staf militer republik Jenderal Sudirman yang berhasil lolos dari serangan Belanda. Pemerintah darurat republik, [[Pemerintahan Darurat Republik Indonesia|Pemerintah Darurat Republik Indonesia]] (PDRI), didirikan di [[Sumatera Barat]].
Pada Desember 1948, Belanda melancarkan [[Agresi Militer Belanda II|Agresi Militer II]] yang menargetkan Yogyakarta. Setelah menguasai Bandar Udara Manguwo pada 18 Desember 1948, tentara Belanda bergerak menuju Kota Yogyakarta dan menangkap Presiden [[Soekarno|Sukarno]] bersama dengan Wakil Presiden [[Mohammad Hatta]] dan Menteri Luar Negeri [[Agus Salim]] dengan mengasingkannya ke [[Pulau Bangka]].
Sebelum ditangkap, [[Mohammad Hatta]] yang juga menjabat sebagai perdana menteri memutuskan untuk membentuk [[Pemerintahan Darurat Republik Indonesia|pemerintahan darurat]] di [[Kota Bukittinggi|Bukittinggi]] yang dipimpin oleh [[Syafruddin Prawiranegara|Sjafruddin Prawiranegara]]. Pemerintahan darurat tersebut dapat terus menjalin komunikasi dengan gerilyawan di Pulau Jawa.
Agresi militer yang dilakukan Belanda direspon oleh Indonesia dengan melancarkan [[Gerilya|perang gerilya]]. Pada 22 Desember 1948, [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) membagi Pulau Jawa menjadi empat divisi dengan tiga divisi tersebut berstatus area spesial militer yang di mana komandan militer di divisi tersebut juga bertugas sebagai gubernur militer. Divisi III dipimpin oleh Kolonel [[Bambang Soegeng]] yang mencakup kawasan Kedu, Banyumas, Pekalongan, Yogyakarta, dan Semarang bagian barat. Untuk memfasilitasi pergerakan dan koordinasi dalam perang gerilya, Kol. Bambang Soegeng membentuk tiga ''wekhreise'' dengan ''wekhreise'' III dipimpin oleh Letnan Kolonel [[Soeharto]] yang meliputi kawasan Yogyakarta.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Herlina|first=Nina|last2=Sofianto|first2=Kunto|last3=Falah|first3=Miftahul|date=2023-12-31|title=The March 1st, 1949, general attack: A defining point of recognition of Indonesia’s Sovereignty|url=https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/23311886.2023.2232566|journal=Cogent Social Sciences|language=en|volume=9|issue=1|doi=10.1080/23311886.2023.2232566|issn=2331-1886}}</ref>
Sekitar awal Februari 1949, di perbatasan [[Jawa Timur]], Letkol. dr.Wiliater Hutagalung - yang diangkat sebagai Perwira Teritorial sejak September 1948, ditugaskan untuk membentuk jaringan persiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III. Ia bertemu dengan [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Soedirman|Sudirman]] untuk melaporkan mengenai resolusi [[Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa|Dewan Keamanan]] [[PBB]] dan penolakan [[Belanda]] terhadap resolusi tersebut dan melancarkan [[propaganda]] yang menyatakan bahwa [[Indonesia|Republik Indonesia]] sudah tidak ada lagi. Melalui [[Radio Rimba Raya]], [[Soedirman|Panglima Besar Sudirman]] juga telah mendengar berita tersebut. [[Soedirman|Panglima Besar Sudirman]] menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil untuk memutar balikkan [[propaganda]] [[Belanda]].
Pada 19 Februari 1948, Kol. Bambang Soegeng menghadiri rapat yang juga dihadiri oleh panglima Divisi II yaitu Letnan Kolonel Sarbini dan Letkol dr. Wiliater Hutagalung. Hasil dari rapat tersebut menentukan bahwa perlunya adanya serangan umum di ketiga divisi tersebut yang melibatkan militer dan sipil dalam skala besar sehingga dampaknya dapat dirasakan dalam skala internasional. [[Hamengkubuwana IX|Sultan Hamengkubuwono IX]] meminta Panglima TNI Letnan Jenderal [[Soedirman|Sudirman]] untuk melaksanakan serangan umum tersebut pada siang hari dan Sultan juga berkomunikasi dengan Soeharto selaku komandan ''wekhreise'' III.<ref>{{Cite journal|last=Hilal|first=Syamsul|last2=Hendra|first2=Afrizal|last3=Legionosuko|first3=Tri|last4=Risman|first4=Helda|date=Januari 2022|title=Universe War Strategy on the March 1, 1949 General Attack in Yogyakarta|url=https://rsisinternational.org/journals/ijriss/Digital-Library/volume-6-issue-1/192-199.pdf|journal=International Journal of Research and Innovation in Social Science (IJRISS)|volume=6|issue=1}}</ref>
Hutagalung membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III sehingga dapat selalu berhubungan dengan [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]], ia menjadi penghubung antara [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]] dengan [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima]] Divisi II, [[Kolonel]] [[Gatot Subroto]] dan [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima]] Divisi III, [[Kolonel|Kol]]. [[Bambang Sugeng]]. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru-paru, setiap ada kesempatan, Hutagalung juga ikut merawat [[Soedirman|Panglima Besar Sudirman]] yang saat itu menderita penyakit paru-paru.
Sultan Hamengkubuwono IX menolak wacana Belanda untuk membentuk negara federal dan mendengarkan pemberitaan internasional bahwa konflik Indonesia-Belanda akan dibahas di [[Perserikatan Bangsa-Bangsa|Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)]] pada Maret 1949. Hal tersebut yang membuat Sultan menginisiatif untuk meminta Sudirman untuk melaksanakan serangan umum ke Yogyakarta pada siang hari atas dasar pemikiran bahwa diplomasi Indonesia tidak akan efektif tanpa keberadaan militer. Sebelumnya, aksi gerilya di ''wekhreise'' III telah gagal dalam mengganggu posisi Belanda dalam diplomasi internasional. Serangan tersebut direncanakan pada 28 Februari 1948, namun harus diundur akibat adanya bocoran sehingga harus diundur ke keesokan harinya. <ref name=":0" />
== Pertempuran ==
|