Menurut Samaria Ginting (1994), bentuk Geriten hampir mirip dengan [[Jambur]], tetapi Geriten lebih kecil daripada jambur. Bangunan ini memiliki ukuran sekitar 2,5 meter x 2,5 meter. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Hilderia Sitanggang (1991) dalam bukunya ''Arsitektur Tradisional BatakSuku Karo,''<ref>{{Cite book|last=Hilderia.|first=Sitanggang,|date=[1991?]|url=http://worldcat.org/oclc/26988946|title=Arsitektur tradisional Batak Karo|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|oclc=26988946}}</ref> yang menjelaskan bahwa Geriten merupakan bangunan yang lebih kecil dari jambur. Bangunan Geriten digunakan untuk tempat penyimpanan tengkorak dari nenek moyang atau tulang-belulang dari orang tua yang cawir metua. Nelly Tobing (1991) menjelaskan dalam bukunya berjudul ''Upacara Adat Kampung Lingga,''<ref>{{Cite book|last=Nelly.|first=Tobing,|date=[1990?]|url=http://worldcat.org/oclc/33864525|title=Upacara adat Kampung Lingga|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|oclc=33864525}}</ref> cawir metua memiliki arti meninggal dalam usia yang sudah lanjut. Dalam hal ini, seseorang yang disebut mate cawir metua sudah mempunyai banyak turunan termasuk anak, cucu, cicit, bahkan buyut. Jenis kematian ini dianggap paling mulia dalam budaya [[Suku Karo| Karo]].<ref>{{Cite web|url=https://analisadaily.com/berita/arsip/2016/3/12/221385/geriten-bagi-masyarakat-karo/|title=Geriten Bagi Masyarakat Karo|last=M.Hum|first=Dr. Daulat Saragih|date=12 Mar 2016|website=analisadaily.com|access-date=2 Peb 2020|archive-date=2023-04-19|archive-url=https://web.archive.org/web/20230419010457/https://analisadaily.com/berita/arsip/2016/3/12/221385/geriten-bagi-masyarakat-karo/|dead-url=no}}</ref>