Albertus Soegijapranata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Yudajatnika (bicara | kontrib)
penambahan pranala
Baris 62:
Mgr. '''Albertus Soegijapranata''', {{post-nominals|post-noms=[[Yesuit|S.J.]]}} ([[EYD|Ejaan Yang Disempurnakan]]: '''Albertus Sugiyapranata'''; {{lahirmati||25|11|1896||22|7|1963}}), lebih dikenal dengan nama lahir '''Soegija''', merupakan Vikaris Apostolik [[Semarang]], kemudian menjadi [[uskup agung]]. Ia merupakan [[uskup]] [[pribumi]] Indonesia pertama dan dikenal karena pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".
 
Soegija dilahirkan di [[Surakarta]], [[Hindia Belanda]], dari keluarga seorang [[abdi dalem]] dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota [[Yogyakarta]] saat Soegija masih kecil. Karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. [[Frans van Lith]] untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah [[Yesuit]] di [[Muntilan]]. Di sana Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24&nbsp;Desember 1910. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di [[seminari]] di Muntilan sebelum berangkat ke [[Belanda]] pada tahun 1919. Ia menjalani masa pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua tahun di [[Grave]]; ia juga menyelesaikan ''juniorate''<!--yuniorat tidak ada di KBBI--> di sana pada tahun 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di [[Oudenbosch]], ia dikirim kembali ke Muntilan sebagai guru; ia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 ia kembali ke Belanda untuk belajar teologi di [[Maastricht]], dan [[penahbisan|ditahbiskan]] pada tanggal 15&nbsp;Agustus 1931. Setelah itu Soegija menambahkan kata "pranata" di belakang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke [[Hindia Belanda]] untuk menjadi pastor.
 
Soegijapranata memulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]], tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St. Yoseph di [[Bintaran, Yogyakarta|Bintaran]] dibuka pada tahun 1934. Dalam periode ini ia berusaha untuk meningkatkan rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga Katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata [[konsekrasi|dikonsekrasikan]] sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan. Meskipun jumlah pemeluk Katolik meningkat setelah ia dikonsekrasikan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. [[Kekaisaran Jepang]] menduduki Hindia Belanda pada awal tahun 1942, dan selama [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|periode pendudukan]] itu banyak gereja diambil alih dan banyak pastor ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa lolos dari kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan mendampingi orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.
 
Setelah Presiden [[Soekarno]] [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|memproklamasi kemerdekaan Indonesia]], Semarang dipenuhi dengan kekacauan. Soegijapranata membantu menyelesaikan [[Pertempuran Lima Hari]] dan menuntut agar pemerintah pusat mengirim seseorang dari pemerintah untuk menghadapi kerusuhan di Semarang. Biarpun permintaan ini ditanggapi, Semarang menjadi semakin rusuh dan pada tahun 1947 Soegijapranata pindah ke Yogyakarta. Selama [[Revolusi Nasional Indonesia|revolusi nasional]] Soegijapranata berusaha untuk meningkatkan pengakuan Indonesia di dunia luas dan meyakinkan orang Katolik untuk berjuang demi negera mereka. Tidak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Soegijapranata kembali ke Semarang. Dalam periode pasca-revolusi ia banyak menulis mengenai komunisme dan berusaha untuk mengembangkan pengaruh Katolik, serta menjadi perantara beberapa faksi politik. Pada tanggal 3&nbsp;Januari 1961 ia diangkat sebagai uskup agung, saat [[Tahta Suci]] mendirikan enam provinsi gerejawi di wilayah Indonesia. Soegijapranata bergabung dengan sesi pertama dari [[Konsili Vatikan&nbsp;II]]. Ia meninggal pada tahun 1963 di [[Steyl]], Belanda dan jenazahnya diterbangkan kembali ke Indonesia. Ia dijadikan seorang [[Daftar pahlawan nasional Indonesia|Pahlawan Nasional]] dan dikebumikan di [[Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal]], Semarang.