Kesunanan Surakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bimo K.A. (bicara | kontrib)
Bimo K.A. (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 77:
Semula, sejak tahun 1745 hingga peristiwa [[Perjanjian Giyanti|Palihan Nagari]] pada tahun 1755, Kesunanan Surakarta yang beribu kota di Surakarta merupakan kelanjutan dari Kesultanan Mataram yang sebelumnya berkedudukan di [[Keraton Kartasura|Kartasura]], baik dari segi wilayah, pemerintahan, maupun kedudukan penguasanya. Kemudian, berlakunya [[Perjanjian Giyanti]] dan diadakannya [[Perjanjian Jatisari|Pertemuan Jatisari]] pada tahun 1755 menyebabkan terpecahnya Kesunanan Surakarta menjadi dua kerajaan; kota Surakarta tetap menjadi pusat pemerintahan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta dengan rajanya yaitu [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]],<ref>[https://www.youtube.com/watch?v=3wHNbzcIR6g KERATON SOLO Temukan Situs Perjanjian Jatisari, Bukti Keraton Solo Bukan Antek Belanda]</ref> sedangkan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta yang lain diperintah oleh [[Hamengkubuwana I|Sultan Hamengkubuwana I]] yang berkedudukan di kota [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], dan wilayah kerajaannya kemudian disebut sebagai [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Kesultanan Yogyakarta]]. [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat|Keraton]] dan kota [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] sendiri baru dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu berdiri. Adanya [[Perjanjian Salatiga]] tanggal 17 Maret 1757 turut memperkecil wilayah Kesunanan, dengan diberikannya sebagian daerah [[apanase]] di dalam wilayah ''Nagara Agung'' (wilayah inti di sekitar ibu kota kerajaan) kepada pihak [[Mangkunegara I|Raden Mas Said]] yang kemudian bergelar Adipati Mangkunegara I.<ref>{{cite journal|author=Eko Punto Hendro|title=Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan Nasional Pangeran Sambernyowo|journal=Endogami:Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi|pages=42-54|url=https://ejournal.undip.ac.id/index.php/endogami/article/download/16837/12215|format=[[PDF]]}}</ref> Sejak tahun 1755 itulah, Kesunanan Surakarta bersama dengan Kesultanan Yogyakarta dianggap sebagai pengganti dan penerus [[Kesultanan Mataram]], karena raja-rajanya merupakan kelanjutan dan keturunan raja-raja [[Wangsa Mataram|Mataram]]. Setiap raja Kesunanan Surakarta bergelar [[susuhunan]] atau sunan, sedangkan raja Kesultanan Yogyakarta bergelar [[sultan]].
 
Setelah selama beberapa waktu menjadi bagian dari [[Imperium Belanda|daerah koloni]] [[Hindia Belanda]] dan berada dalam [[Pendudukan Jepang di Hindia-Belanda|Pendudukan Jepang]], Kesunanan Surakarta kemudian bergabung dengan [[Republik Indonesia]] usai [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|Proklamasi]] tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 1 September 1945, [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] menerbitkan maklumat penegasan yang menyatakan bahwa Kesunanan Surakarta merupaknmerupakan bagian dari Republik Indonesia sebagai sebuah [[Daerah Istimewa]].<ref name="Sri Juari Santosa">Santosa, Sri Juari. (2002) ''Suara Nurani Keraton Surakarta: Peran Keraton Surakarta dalam Mendukung dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia''. Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika.</ref> TerjadinyaAdanya ketidakstabilan politik dan pemerintahan di Surakarta yang terjadi selanjutnya mengakibatkan pemerintah Indonesia membekukan [[Daerah Istimewa Surakarta]] (DIS) pada tahun 1946 demi menjaga keselamatan serta kestabilan pemerintahan, dan menjadikannya sebagai [[Karesidenan Surakarta|Karesidenan]] yang bersifat khusus, hingga menggabungkannya ke dalam [[Provinsi Jawa Tengah]] pada tahun 1950.<ref name="Sri Juari Santosa"/> Sejak saat itu, institusi Kesunanan Surakarta berkedudukan sebagai monarki seremonial tak berdaulat sekaligus pusat pelestarian dan pengembangan [[budaya Jawa]] di dalam negara [[Republik Indonesia]].
 
== Latar Belakang ==