Suyati Tarwo Sumosutargio: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 25:
Ketika telah resmi diangkat menjadi penari di Istana Mangkunegaran, Suyati menjalani kehidupan asrama di lingkungan kerajaan. Selain mewariskan bangunan yang megah, Istana Mangkunegaran juga merupakan pusat seni kebudayaan Jawa yang sampai sekarang masih dapat dinikmati ataupun dikaji. Adapun asrama yang diperuntukkan bagi para penari perempuan terletak di sebelah barat tembok Istana Mangkunegaran.<ref name=":2">{{Cite journal|last=Sumarno|first=|date=Juni 2013|title=Jabatan dan Tugas dalam Pemerintahan di Keraton Surakarta: Studi Serat Wadu Aji|url=|journal=Patra Widya|volume=Vol. 14, No. 2|issue=Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya|doi=|issn=1411-5239|pmid=|access-date=}}</ref> Suyati menjalani kehidupan asrama sebagai penari di Istana Mangkunegaran selama <u>+</u> 3 tahun hingga wafatnya Mangkunegara VII. Berkenaan dengan mangkatnya Mangkunegara VII dan memasuki masa Mangkunegara VIII, asrama tersebut kemudian dibubarkan. Setelah asrama dibubarkan, Suyati yang saat itu berusia <u>+</u> 12 tahun lantas kembali ke rumah bibinya yang mengasuhnya sejak kecil.
Kehidupan Suyati di asrama dijalaninya bersama dengan 14 orang penari perempuan lainnya. Beberapa penari yang masih diingat oleh Suyati antara lain: Kunti, Seno, Sarbini, Suparni, Tugini, Sagiyem, dan Jaikem. Pada waktu itu, para wanita penari keraton tersebut (termasuk Suyati) tinggal di dalam ''keputren'' yang berada di dalam tembok istana. Masyarakat ''keputren'' memiliki pemerintahan yang diatur oleh ''
Kelompok penari perempuan seperti Suyati biasa disebut dengan ''bedhaya, magang priyantun'', ataupun ''abdi dalem priyantun''. Dari penyebutan tersebut tampak bahwa para ''[[abdi dalem]]'' ini mendapatkan perlakuan dan perhatian khusus dari raja.<ref>Ernawati Purwaningsih, dkk. (2013). hlm. 29-30.</ref> Hal tersebut disebabkan karena para ''bedhaya'' juga bertugas melayani raja atau permaisuri. Untuk menjadi ''bedhaya'', mereka dididik sejak usia dini, yaitu sejak masih memakai ''sabuk wala'' yang merupakan cara memakai kain dalam tradisi Jawa untuk anak usia 10-12 tahun. Apabila mereka sudah berusia 12-15 tahun, mereka mengenakan tatanan kain model ''pinjungan'' terkait perkembangan bentuk tubuhnya. Setelah dewasa, mereka harus mengenakan model atau tatanan berkain yang disebut dengan ''semekan'' atau ''ubet-ubet''.<ref>Prabowo, W.S. (2007). hlm. 35.</ref>
|