Suyati Tarwo Sumosutargio: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 29:
Kelompok penari perempuan seperti Suyati biasa disebut dengan ''bedhaya, magang priyantun'', ataupun ''abdi dalem priyantun''. Dari penyebutan tersebut tampak bahwa para ''abdi dalem'' ini mendapatkan perlakuan dan perhatian khusus dari raja.<ref>Ernawati Purwaningsih, dkk. (2013). hlm. 29-30.</ref> Hal tersebut disebabkan karena para ''bedhaya'' juga bertugas melayani raja atau permaisuri. Untuk menjadi ''bedhaya'', mereka dididik sejak usia dini, yaitu sejak masih memakai ''sabuk wala'' yang merupakan cara memakai kain dalam tradisi Jawa untuk anak usia 10-12 tahun. Apabila mereka sudah berusia 12-15 tahun, mereka mengenakan tatanan kain model ''pinjungan'' terkait perkembangan bentuk tubuhnya. Setelah dewasa, mereka harus mengenakan model atau tatanan berkain yang disebut dengan ''semekan'' atau ''ubet-ubet''.<ref>Prabowo, W.S. (2007). hlm. 35.</ref>
Pada saat Suyati diangkat menjadi penari di Istana Mangkunegaran, dia berada pada masa pemerintahan
Suyati sendiri belajar menari di [[Istana Mangkunagaran|Istana Mangkunegaran]] mulai dari mendalami bentuk-bentuk ''tayungan''<ref>Tayungan merupakan latihan gerak-gerak dasar dalam belajar menari. Adapun urutan ''tayungan'' antara lain: ''dhekung, sembahan, ngadeg ngigel, ngedeg sabetan, tanjak tengen, tanjak kiwo, kalang kinantang, kambeng, bapang, bapang gecul, nayung, ukel nayung, ubet sampur, miwir sampur, mirong, ridhong, sampir sampur, ngolong sampur, dhadap, srisig, nyindur, ingkrong, larikan, larikan rakit'', dan ''larikan sungsun.''</ref> hingga bentuk-bentuk tari ''wireng''. Latihan menari di masa Suyati kecil dulu tidak terikat pada pakem atau hafalan urutan gerakan dari suatu tarian, namun berdasarkan ''kendangan''. Seorang penari harus pandai mengikuti irama [[Kendhang|kendang]] yang menyatu dengan gerakan.<ref>Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 33.</ref>
|