Sunan Lawu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Nyilvoskt (bicara | kontrib)
k Mengembalikan suntingan oleh 114.10.157.112 (bicara) ke revisi terakhir oleh 114.10.157.69
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Menyunting sesuai sumber primer
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
Baris 1:
'''Susuhunan Lawu''' atau '''Sinuhun Lawu''' merupakan putra bungsu Prabu Brawijaya terakhir dari permaisurinya, Daran Awanti atau Dewi Andharawati<ref>{{Cite web|last=Padmosoesastro|first=author|date=1902|title=Sajarah Dalem Pangiwa lan Panengen|url=https://www.sastra.org/arsip-dan-sejarah/umum/3186-sajarah-dalem-pangiwa-lan-panengen-padmasusastra-1902-1122|website=|language=Javanese|access-date=2024-12-08}}</ref>. Sebelumnya, Sunan Lawu bernama Raden Gugur. Gelar Sunan merupakan bentuk singkat dari 'susuhunan' yang kata dasarnya yaitu 'suhun' atau 'diangkat di atas kepala', menunjukkan penghormatan yang teramat tinggi. Sedangkan nama Lawu berasal dari nama [[Gunung Lawu|gunung]] yang menjulang tinggi di sebelah timur wilayah [[Kabupaten Karanganyar|Karanganyar]], [[Jawa Tengah]].<ref name=":0">{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=DmJWNAg4K3QC&pg=PA45&lpg=PA45&dq=Sunan+Lawu&source=bl&ots=wNAcoBtK1e&sig=ta3HcSNmBj_w3jDCpy04vCpTk2o&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjO8faatqDbAhXEtI8KHUMACEY4ChDoAQhiMAk#v=onepage&q=Sunan%20Lawu&f=false|title=Cerita Rakyat Dari Karanganyar|last=Raharjanti|first=Daniel Maryanto, Liestyaning|publisher=Grasindo|isbn=9789790811683|language=id}}</ref>. Adalah sosok yang keberadaannya sangat penting dalam mitologi Jawa dan begitu dihormati oleh kerajaan-kerajaan Mataram Islam selain Kanjeng Ratu Kidul di Pantai Selatan.
 
== Asal -usul dan kisahnya ==
Menurut naskah-naskah Jawa-Surakarta, Sunan Lawu merupakan putra [[Prabu Brawijaya|Prabu Brawijaya V]] yang lahir dari permaisuri dan bernama asli Raden Gugur.<ref>{{Cite book|last=Anonim|first=Author|date=1865|url=https://www.sastra.org/kisah-cerita-dan-kronikal/babad/3031-babad-pajajaran-dumugi-demak-anonim-1865-1747-pupuh-16-22|title=Babad Pajajaran Dumugi Demak|url-status=live}}</ref>
Menurut cerita yang berkembang, Sunan Lawu merupakan keturunan keluarga Kerajaan Majapahit <ref>{{Cite web|last=Admin|date=2022-03-22|title=Mengenal Jalak Lawu, Dari Mitos Tugas Wongso Menggolo Hingga Sejarah Pengasingan Raja Brawijaya di Puncak Gunung Lawu.|url=https://kominfo.magetan.go.id/mengenal-jalak-lawu-dari-mitos-tugas-wongso-menggolo-hingga-sejarah-pengasingan-raja-brawijaya-di-puncak-gunung-lawu/|website=Dinas Komunikasi dan Informatika Kab. Magetan|language=id|access-date=2024-06-05}}</ref>yang lahir dari seorang [[selir]]. Versi ini melanjutkan, karena kesedihan pada kenyataan bahwa sang pangeran tidak dapat menjadi raja, ia kemudian diam-diam melarikan diri ke puncak [[Gunung Lawu|Lawu]] dan tinggal di sana dengan nama Joko Kebuk (dalam [[bahasa Jawa]], ''kebuk'' berarti menghilang). Setelah pencarian yang lama, Raja Majapahit menemukannya dan mengangkatnya menjadi Sunan Lawu.{{Sfn|Adam|2021|p=45–46}}
 
Ketika Majapahit dikepung musuh dari Demak, Raden Gugur turut berperang dalam sebuah pertempuran yang akhirnya dimenangkan oleh pihak Demak. Karena menolak ajakan musuh (termasuk [[Wali Sanga|Walisongo]]) untuk merasuk agama Islam, Raden Gugur memilih untuk kabur ke barat dan berdiam di Dukuh Lawu di lereng gunung Mahendra (gunung Lawu). Setelah kehancuran Majapahit tersebut, Raden Gugur yang selalu ingat nasehat-nasehat luhur ayahandanya, menjadi pribadi yang sangat tekun dalam bersemadi dan disiplin melatih diri hingga dapat mencapai [[moksa]]. Setelah moksa, Raden Gugur menjadi dewata penguasa gunung tersebut bergelar Susuhunan (Sunan) Lawu.<ref name=":1">{{Cite book|last=Van Dorp|first=Author|date=1923|url=https://www.sastra.org/kisah-cerita-dan-kronikal/babad-tanah-jawi/1816-babad-tanah-jawi-no-1-van-dorp-1923-1083-pupuh-013-030|title=Babad Tanah Jawi|url-status=live}}</ref>
Setelah pertemuan tersebut, ia tetap tinggal di gunung bersama istrinya, Retno Dumilah. Raja kemudian memerintahkan seorang [[pandai besi]] bernama Empu Domas untuk pergi ke Lawu bersama semua rekannya untuk membantu Sunan Lawu membangun keraton.{{Sfn|Adam|2021|p=46}}
 
Menurut Babad Tanah Jawi, pada sekitar abad 18 [[Pakubuwana II|Sunan Pakubuwono II]] (pendiri Karaton Surakarta) yang kebingungan setelah istananya di Kartasura berhasil diduduki musuh, dikisahkan menyepi di gunung Lawu dan menjalankan puasa-puasa tertentu. Setelah beberapa hari menjalankan ''lelaku'' tersebut, Pakubuwono II ditemui oleh sosok yang digambarkan berbadan sangat besar, memakai ''kampuh'' megah bermotif ''poleng bang bintulu'', dan mengaku bernama Sunan Lawu. Di sana, Sunan Lawu merestui Pakubuwono II untuk membangun dinastinya kembali, yang kita kenal sebagai [[Keraton Surakarta Hadiningrat|Keraton Surakarta]] sekarang. <ref name=":1" />
Ketika Majapahit runtuh, Sunan Lawu berperang dalam sebuah pertempuran yang berujung membuatnya terpaksa mundur. Ia kehilangan semua pengikutnya kecuali tiga pembantunya. Ia kemudian menuju Argo Tumiling. Selain Argo Tumiling, terdapat tempat lain yang diasosiasikan dengan Sunan Lawu. Tempat itu bernama Lumbung Selayur yang berada di selatan Argo Dumilah yang dipercaya sebagai keraton atau kediaman Sunan Lawu. Selain itu, Pawonsewu yang berada di sebelah baratnya juga dipercaya sebagai dapurnya.{{Sfn|Adam|2021|p=46–47}}
 
Di lain waktu, [[Mangkunegara I|Pangeran Sambernyawa]] yang sedang bertempur memperjuangkan kedaulatannya melawan Belanda dan paman-pamannya sendiri, juga diceritakan sempat menyepi di gunung Lawu. Saat itu, Pangeran Sambernyawa bersama ketiga abdinya menahan/mengurangi tidur dan makan selama 7 hari 7 malam. Puncaknya—kabut muncul secara tak wajar hingga matahari sama sekali tak terlihat, Pangeran Sambernyawa ditemui Sunan Lawu dan diberi 2 pusaka berbentuk bendera bernama "'''Kyai Dhudha'''" dan tambur bernama "'''Kyai Slamet'''". Kedua pusaka inilah yang hingga sekarang menjadi pusaka utama [[Kadipatèn Mangkunagaran|Kadipaten Mangkunagaran]] yang berhasil didirikan oleh Pangeran Sambernyawa. Adapun tempat Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I) menerima anugerah pusaka dari Sunan Lawu tersebut, adalah di bukit Mangadeg. Tempat di mana Beliau dimakamkan sesuai wasiatnya sendiri.<ref>{{Cite book|last=Hardjono|first=Marto|date=1912|url=https://www.sastra.org/kisah-cerita-dan-kronikal/riwayat-dan-perjalanan/842-kulapratama-marta-arjana-1912-988|title=Kulapratama|url-status=live}}</ref>
Kepercayaan pada Sunan Lawu juga hidup di sisi utara Gunung Lawu, yaitu di wilayah [[Ngrambe, Ngawi|Ngrambe]], yang masuk wilayah [[Kabupaten Ngawi]]. Kisah-kisah rakyat masih mengatakan bahwa sebelum Sunan lawu menghuni puncak gunung, para dewa telah tinggal di sana. Mereka menyebut nama-nama [[Batara Guru|Batoro Guru]] dan [[Narada]]. Orang-orang juga mengetahui bahwa kepercayaan ini muncul dari pihak [[Kesunanan Surakarta Hadiningrat|Surakarta]]. Selain itu, di sana terdapat tempat suci Pringgodani atau Pringgosari, yang merupakan kediaman [[Gatotkaca|Raden Gatotkaca]] atau yang di sana disebut sebagai Raden Koconagoro karena Gatotkaca pantang disebutkan.{{Sfn|Adam|2021|p=49}}
 
Serat Pustakaraja Purwa menyebut, sebelum Raden Gugur menguasai gunung Lawu, gunung tersebut adalah tempat bertahtanya Sri Maharaja Dewa Buda yang tak lain adalah [[Batara Guru|Bathara Guru]] yang mengejawantah.
 
== Referensi ==