Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
menambahkan konten dan rujukan
Baris 4:
 
== Pengesahan ==
Pada bulan Januari 2020, [[Abdullah dari Pahang|Sultan Abdullah]] selaku [[Yang di-Pertuan Agong|Raja Malaysia]] mengumumkan keadaan darurat nasional di Malaysia. Pengumuman keadaan darurat bertujuan untuk menghentikan penyebaran COVID-19.{{Sfn|ARTICLE 19|2021|p=6}} Penetapan COVID-19 sebagai suatu keadaan darurat di Malaysia kemudian berakibat pada penangguhan fungsi Parlemen Malaysia sejak bulan Januari 2021. Kemudian pada bulan Maret 2021, telah terjadi lonjakan kasus penularan COVID-19 yang menyebabkan banyak kematian di Malaysia. Lonjakan ini membuat akses informasi yang sifatnya terbuka menjadi sesuatu yang penting bagi publik di Malaysia. [[Perikatan Nasional|Koalisi Perikatan Nasional]] selaku perwakilan Pemerintah Malaysia akhirnya mengesahkan Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021 pada bulan Maret 2021.{{Sfn|ARTICLE 19|2021|p=3}} Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021 disebut juga sebagai Ordinansi Berita Palsu.{{Sfn|ARTICLEAsia 19Centre|20212022|p=31}} Pengumuman dilakukan oleh [[Muhyiddin Yassin]] sebagai wakil Pemerintah Malaysia.{{Sfn|Asia Centre|2022|p=15}}
 
== IsiSusunan isi ==
IsiOrdinansi dariBerita Palsu memuat ketentuan-ketentuan yang saling tumpang tindih dengan undang-undang lain di Malaysia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Malaysia, Undang-Undang Percetakan dan Penerbitan 1984, Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998, dan [[Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018]].{{Sfn|Asia Centre|2022|p=13}} Ketentuan-ketentuan di dalam Ordinansi Berita Palsu hampir seluruhnya mengulang ketentuan utama yang terdapat dalam [[Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018]] yang telah dicabut statusnya sebagai undang-undang oleh Parlemen Malaysia pada Oktober 2019.{{Sfn|ARTICLE 19|2021|p=6}}
 
== Pemidanaan ==
Ordinansi Berita Palsu menetapkan status kriminalisasi pada tindakan-tindakan berupa pembuatan, penawaran, penerbitan atau publikasi [[berita palsu]]. Definisi berita palsu dijelaskan pada Pasal 2 dalam Ordinansi Berita Palsu ialah segala jenis berita, informasi, data atau laporan yang seluruh atau sebagian isinya merupakan pernyataan yang salah terkait COVID-19 atau pengumuman keadaan darurat. Kriminalisasi berlaku terhadap pelaku jika penyebaran berita palsu dilakukan dalam bentuk fitur, rekaman visual, rekaman audio, atau dalam bentuk apa pun yang dapat menyiratkan perkataan atau gagasan.{{Sfn|Asian Centre|2022|p=16}}
 
Pasal 4 dalam Ordinansi Berita Palsu menetapkan hukum berupa denda atau pemenjaraan bagi pelaku penyebar berita palsu di Malaysia yang telah terbukti bersalah. Selain itu, pelaku penyebaran berita palsu di Malaysia juga dapat dikenakan denda dan pemenjaraan sekaligus. Denda yang dibayar oleh pelaku maksimal sebanyak RM 100.000. Sedangkan hukuman penjara maksimal selama tiga tahun. Jika pelanggaran masih berlanjut setelah pemberian hukuman, maka pelaku penyebaran berita pallsu didenda paling banyak RM 1.000 setiap hari hingga penyebaran berita palsu dihentikan.{{Sfn|Asian Centre|2022|p=16}}
 
== Referensi ==
Baris 17 ⟶ 22:
 
* {{Cite book|last=ARTICLE 19|date=Juni 2021|url=https://www.article19.org/wp-content/uploads/2021/06/ARTICLE-19-Analysis-Malaysia-Emergency-Fake-News-Ordinance.pdf|title=Malaysia: Emergency (Essential Powers) (No. 2) Ordinance 2021 (Fake News Ordinance)|publisher=ARTICLE 19|language=EN|ref={{sfnref|ARTICLE 19|2021}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Asia Centre|date=2022|url=https://asiacentre.org/wp-content/uploads/Youth-and-Disinformation-in-Malaysia-Strengthening-Electoral-Integrity-1.pdf|title=Youth and Disinformation in Malaysia: Strengthening Electoral Integrity|location=Bangkok|publisher=Asia Centre|language=EN|ref={{sfnref|Asia Centre|2022}}|url-status=live}}
 
[[Kategori:Hukum berita palsu di Malaysia]]