Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
menambahkan konten dan rujukan
Baris 1:
'''Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021''' atau '''Ordinansi Berita Palsu''' adalah sebuah ordinansi darurat yang diadopsi dalam [[hukum pidana]] [[Malaysia]] pada bulan Maret [[2021]]. Pengesahan Ordinansi Berita Palsu dilakukan karena maraknya [[disinformasi]] khususnya berupa [[berita palsu]] yang tersebar selama [[Pandemi Covid-19 di Malaysia|Pandemi COVID-19 di Malaysia]]. Hampir seluruh ketentuan di dalam Ordinansi Berita Palsu memuat ketentuan utama dalam [[Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018]] yang telah dicabut statusnya sebagai undang-undang oleh Parlemen Malaysia pada bulan [[Oktober 2019]].
{{Sedang ditulis|19 Desember 2024|date=17 Desember 2024}}
 
Ordinansi Berita Palsu menetapkan status [[kriminalisasi]] pada tindakan-tindakan berupa pembuatan, penawaran, [[penerbitan]] atau [[publikasi]] berita palsu di Malaysia. [[Kriminalisasi]] berlaku pada penyebaran berita palsu di Malaysia dalam bentuk apapun yang mampu menyampaikan perkataan maupun [[gagasan]]. Pelaku penyebar berita palsu di Malaysia akan menerima [[hukuman]] utama berupa [[denda]] maksimal RM 100.000, pemenjaraan maksimal tiga tahun, atau keduanya sekaligus. Setelah pemberian hukuman, denda sebanyak [[Ringgit|RM]] 1.000 diberlakukan setiap hari kepada pelaku jika berita palsu belum dihentikan penyebarannya.
'''Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021''' atau '''Ordinansi Berita Palsu''' adalah sebuah ordinansi darurat yang diadopsi dalam perundang-undangan Malaysia pada tahun [[2021]].
 
== Pengesahan ==
Pada bulan Januari 2020, [[Abdullah dari Pahang|Sultan Abdullah]] selaku [[Yang di-Pertuan Agong|Raja Malaysia]] mengumumkan keadaan darurat nasional di Malaysia. Pengumuman keadaan darurat bertujuan untuk menghentikan penyebaran COVID-19.{{Sfn|ARTICLE 19|2021|p=6}} Pada Maret 2020, terjadi peralihan pemerintahan dari [[Pakatan Harapan|Koalisi Pakatan Harapan]] ke [[Perikatan Nasional|Koalisi Perikatan Nasional]]. Setelah peralihan pemerintahan, pengenalan kembali [[Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018|Undang-Undang Anti-Berita Palsu]] dilakukan oleh Koalisi Perikatan Nasional. Tujuannya untuk menangani penyebaran berita palsu terutama selama berlangsungnya [[Pandemi Covid-19 di Malaysia|Pandemi COVID-19 di Malaysia]].{{Sfn|Leong|2021|p=12}}
 
[[Kongres India Malaysia]] mendesak Pemerintah Malaysia agar Undang-Undang Anti-Berita Palsu diperkenalkan kembali. Desakan ini dimulai setelah terjadinya serangkaian penangkapan pelaku penyebaran [[disinformasi]] tentang Pandemi COVID-19 di Malaysia.{{Sfn|Leong|2021|p=12}} Di sisi lain, penetapan COVID-19 sebagai suatu keadaan darurat di Malaysia kemudian berakibat pada penangguhan fungsi [[Parlemen Malaysia]] sejak bulan Januari 2021.{{Sfn|ARTICLE 19|2021|p=3}} Penangguhan fungsi Parlemen Malaysia ditetapkan melalui Proklamasi Darurat 2021. Parlemen Malaysia ditanggukanditangguhkan fungsinya mulai 11 Januari 2021 hingga 1 Agustus 2021.{{Sfn|Leong|2021|p=13}}
 
Kondisi penangguhan fungsi Parlemen Malaysia membuat penerapan kembali atas Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018 mengalami penundaan.{{Sfn|Leong|2021|p=12-13}} Namun [[Perikatan Nasional|Koalisi Perikatan Nasional]] selaku perwakilan Pemerintah Malaysia akhirnya mengesahkan sebuah ordinansi darurat bernama Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021 pada bulan Maret 2021 tanpa persetujuan dari Parlemen Malaysia. Alasannya karena telah terjadi lonjakan kasus penularan COVID-19 yang menyebabkan banyak kematian di Malaysia. Lonjakan ini membuat akses informasi yang sifatnya terbuka menjadi sesuatu yang penting bagi publik di Malaysia.{{Sfn|ARTICLE 19|2021|p=3}} Pengumuman pengesahan dilakukan oleh [[Muhyiddin Yassin]] sebagai wakil Pemerintah Malaysia.{{Sfn|Asia Centre|2022|p=15}} Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021 disebut juga sebagai Ordinansi Berita Palsu.{{Sfn|Asia Centre|2022|p=1}}
 
== Susunan isi ==
Ordinansi Berita Palsu memuat ketentuan-ketentuan yang saling tumpang tindih dengan [[undang-undang]] lain di Malaysia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Malaysia, Undang-Undang Percetakan dan Penerbitan 1984, Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998, dan [[Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018]].{{Sfn|Asia Centre|2022|p=13}} Ketentuan-ketentuan di dalam Ordinansi Berita Palsu hampir seluruhnya mengulang ketentuan utama yang terdapat dalam [[Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018]] yang telah dicabut statusnya sebagai undang-undang oleh Parlemen Malaysia pada [[Oktober 2019]].{{Sfn|ARTICLE 19|2021|p=6}}
 
== Pemidanaan ==
Ordinansi Berita Palsu menetapkan status [[kriminalisasi]] pada tindakan-tindakan berupa pembuatan, penawaran, [[penerbitan]] atau [[publikasi]] [[berita palsu]]. Definisi berita palsu dijelaskan pada Pasal 2 dalam Ordinansi Berita Palsu ialah segala jenis [[berita]], [[informasi]], [[data]] atau [[laporan]] yang seluruh atau sebagian isinya merupakan pernyataan yang salah terkait [[Covid-19|COVID-19]] atau pengumuman keadaan darurat. Kriminalisasi berlaku terhadap pelaku jika penyebaran berita palsu dilakukan dalam bentuk fitur, rekaman visual, rekaman audio, atau dalam bentuk apa pun yang dapat menyiratkan perkataan atau [[gagasan]].{{Sfn|Asia Centre|2022|p=16}}
 
Pasal 4 dalam Ordinansi Berita Palsu menetapkan hukum berupa [[denda]] atau pemenjaraan bagi pelaku penyebar berita palsu di Malaysia yang telah terbukti bersalah. Selain itu, pelaku penyebaran berita palsu di Malaysia juga dapat dikenakan denda dan pemenjaraan sekaligus. Denda yang dibayar oleh pelaku maksimal sebanyak [[Ringgit|RM]] 100.000. Sedangkan hukuman penjara maksimal selama tiga [[tahun]]. Jika pelanggaran masih berlanjut setelah pemberian hukuman, maka pelaku penyebaran berita pallsupalsu didenda paling banyak RM 1.000 setiap [[hari]] hingga penyebaran berita palsu dihentikan.{{Sfn|Asia Centre|2022|p=16}}
 
== Referensi ==