Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah [[Sultan Iskandar Muda]] dari [[Kesultanan Aceh|Aceh]]. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.<ref>{{cite book |last=Naim|first=Mochtar|title=Merantau}}</ref>
=== Kolonialisme Belanda ===
Pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan [[VOC]] hingga terjadi beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. [[Arung Palakka]] didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang tidak sudi berada dibawah Gowa. Sementara [[Sultan Hasanuddin]] didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan benteng Somba Opu luluh lantak. Kekalahan ini mengakibatkan ditandatanganinya [[Perjanjian Bongaya]] yang merugikan kerajaan Gowa.
Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak adalagi perang yang besar sampai kemudian di tahun 1905-6 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Bugis-Makassar baru bisa betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal mengakibatkan Belanda menerbitkan ''Korte Veklaring'', yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah kolonial [[Hindia Belanda]], sampai kemudian muncul [[Jepang]] menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI.