Mustain Billah dari Banjar: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib) |
Alamnirvana (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 25:
Diduga kemungkinan yang terjadi di keraton Banjar di masa Sultan Hidayatullah I adalah kelompok Raden Subamanggala dan kakeknya Pangeran di Laut tidak menyenangi pelantikan Raden Bagus sebagai Putra Mahkota. Mereka meminta bantuan Mataram dengan menawarkan perhambaan Kalimantan yang diperbaharui kepada Jawa. Dengan menggunakan kegagalan Hidayatullah I membayar upeti sebagai alasan, Sultan Mataram kemudian mengirim pasukan perang. Selepas kekalahan tentara kerajaan Banjar, Sultan dan Putra Mahkota ditawan ke Mataram sebagai tebusan, akan tetapi Raden Subamanggala sendiri tidak ditabalkan di atas tahta, karena jika tidak, tebusan-tebusan tidak lagi bernilai. Pada masa selanjutnya Pangeran Senapati sudah sampai masanya untuk membawa pulang Sultan tua dari pulau Jawa ke pulau Kalimantan tanpa peduli langsung tentang saudara tirinya sang Putra Mahkota. Setelah sampai di Banjarmasin, Pangeran Senapati menaiki tahta sebagai Sultan Mustain Billah dengan dilantik resmi oleh Sultan tua. Putera-putera Kiai di Podok sebagai pamanda dari Putra Mahkota Ratu Bagus menentang penabalan Pangeran Senapati sebagai Sultan, tetapi mereka dapat dikalahkan dengan bantuan pahlawan-pahlawan Biaju. Lama selepas itu episode pahit pembuangan Sultan Hidayatullah I ini ''dilupakan'' dengan membuang halaman-halaman yang janggal di dalam HIkayat Banjar Resensi I, sehingga terdapat bagian-bagian laporan yang terputus di tengah-tengah Hikayat Banjar tersebut.
== Hubungan Mustain Billah dan suku Dayak-Kaharingan ==▼
Diang Lawai, seorang Dayak Ngaju (Biaju) adalah isteri Dari Marhum Panembahan. Ketika munculnya desas-desus dikonversikannya Diang Lawai yang beragama [[Kaharingan]], hal tersebut membangkitkan kemarahan para sanak saudara Diang Lawai yang berujung pada peperangan antara Dayak Ngaju dan Banjar selama 20 tahun. Walaupun issue pengislaman Nyai Diang Lawai itu ternyata tidak benar, tetapi karena salah paham dipihak orang Dayak Ngaju yang menyangka bahwa Raja Maruhum telah melanggar perjanjian pada waktu menikahi Nyai Diang Lawai yaitu Nyai Diang Lawai tidak boleh disunat seperti yang biasa dilakukan di kalangan orang Islam. Kesalahpahaman itu terjadi karena adanya berita bahwa Nyai Diang Lawai menderita sakit akibat disunat oleh raja, padahal sebenarnya dia mengalami sedikit tidak enak badan karena mulai hamil muda. ▼
Perang karena sentimen agama ini sangat membekas dalam ingatan kolektif orang Dayak Ngaju yang diabadikan dalam mitos asal-usul, disebut Zaman Raja Maruhum Usang. Dalam kitab suci agama [[Kaharingan]] yang disebut [[Panaturan]], Raja Marhum (Raja Helu Maruhum Usang) dan Nyai Siti Diang Lawai merupakan bagian dari leluhur orang Dayak Ngaju, yang setelah mereka meninggal dunia menjadi [[Sangiang]] (manusia ilahi) dan berdiam di Lewu Tambak Raja, yaitu salah satu bagian dari [[Lewu Sangiang]] (perkampungan para dewa). Karena Raja Maruhum adalah seorang [[Muslim]] maka di perkampungan para [[dewa]] itu disebutkan ada [[masjid]] .▼
Marhum Panambahan mempunyai hubungan geneologis dengan orang Dayak Ngaju, sebab ibunya merupakan seorang Dayak Ngaju sehingga ketika wafat ia menjadi salah satu Sangiang dari orang-orang Dayak Ngaju. Karena itu dalam sistem kepercayaan orang Ngaju, ia dapat diproyeksikan sebegitu rupa ke alam atas (dunia Sangiang) untuk menjadi salah satu Pantheon mereka. ▼
Marhum Panembahan merupakan raja Banjar yang berdarah Biaju (Ngaju), karena itu dengan ▼
mudah ia bisa meminta bantuan orang-orang suku Biaju untuk 'menghabisi' para lawan ▼
politiknya yaitu para bangsawan keraton Banjar. Ia meminta seorang panglima perang suku Ngaju yang bernama Sorang bersama sepuluh orang kawannya untuk masuk Islam dan tinggal menetap di kalangan warga kesultanan. Sorang akhirnya diambil ipar oleh Marhum Panembahan yaitu dengan mengawinkannya dengan Gusti Nurasat, saudara sebapak dari Marhum Panembahan. Penerimaan Sorang masuk ke lingkungan istana dikarenakan Marhum Panembahan sendiri adalah keturunan (utus) orang Ngaju. Hal tersebut sebagai usaha pengokohan kedudukannya dan golongannya atas suatu hak yang diperolehnya dengan jalan usurpasi. Ia memulai menjalankan pemerintahan tanpa pengikut dari golongan bangsawan dan penasihat yang berpengalaman.▼
==sejarah==
Serangan [[VOC]] tahun [[1612]] yang menyebabkab pemindahan ibukota kerajaan dari [[Banjarmasih]] ([[Kuin]]) ke hulu sungai Martapura yaitu ke Kuliling Benteng, kemudian ke Batang Mangapan dan ke Batang Banyu.
Baris 115 ⟶ 127:
Ketika ''Contract Craemer'' menolak permintaan Sultan untuk mengirimkan lada ke Makassar, pecahlah perang anti VOC, pada tahun [[1638]].
▲== Hubungan Mustain Billah dan suku Dayak-Kaharingan ==
▲Diang Lawai, seorang Dayak Ngaju (Biaju) adalah isteri Dari Marhum Panembahan. Ketika munculnya desas-desus dikonversikannya Diang Lawai yang beragama [[Kaharingan]], hal tersebut membangkitkan kemarahan para sanak saudara Diang Lawai yang berujung pada peperangan antara Dayak Ngaju dan Banjar selama 20 tahun. Walaupun issue pengislaman Nyai Diang Lawai itu ternyata tidak benar, tetapi karena salah paham dipihak orang Dayak Ngaju yang menyangka bahwa Raja Maruhum telah melanggar perjanjian pada waktu menikahi Nyai Diang Lawai yaitu Nyai Diang Lawai tidak boleh disunat seperti yang biasa dilakukan di kalangan orang Islam. Kesalahpahaman itu terjadi karena adanya berita bahwa Nyai Diang Lawai menderita sakit akibat disunat oleh raja, padahal sebenarnya dia mengalami sedikit tidak enak badan karena mulai hamil muda.
▲Perang karena sentimen agama ini sangat membekas dalam ingatan kolektif orang Dayak Ngaju yang diabadikan dalam mitos asal-usul, disebut Zaman Raja Maruhum Usang. Dalam kitab suci agama [[Kaharingan]] yang disebut [[Panaturan]], Raja Marhum (Raja Helu Maruhum Usang) dan Nyai Siti Diang Lawai merupakan bagian dari leluhur orang Dayak Ngaju, yang setelah mereka meninggal dunia menjadi [[Sangiang]] (manusia ilahi) dan berdiam di Lewu Tambak Raja, yaitu salah satu bagian dari [[Lewu Sangiang]] (perkampungan para dewa). Karena Raja Maruhum adalah seorang [[Muslim]] maka di perkampungan para [[dewa]] itu disebutkan ada [[masjid]] .
▲Marhum Panambahan mempunyai hubungan geneologis dengan orang Dayak Ngaju, sebab ibunya merupakan seorang Dayak Ngaju sehingga ketika wafat ia menjadi salah satu Sangiang dari orang-orang Dayak Ngaju. Karena itu dalam sistem kepercayaan orang Ngaju, ia dapat diproyeksikan sebegitu rupa ke alam atas (dunia Sangiang) untuk menjadi salah satu Pantheon mereka.
▲Marhum Panembahan merupakan raja Banjar yang berdarah Biaju (Ngaju), karena itu dengan
▲mudah ia bisa meminta bantuan orang-orang suku Biaju untuk 'menghabisi' para lawan
▲politiknya yaitu para bangsawan keraton Banjar. Ia meminta seorang panglima perang suku Ngaju yang bernama Sorang bersama sepuluh orang kawannya untuk masuk Islam dan tinggal menetap di kalangan warga kesultanan. Sorang akhirnya diambil ipar oleh Marhum Panembahan yaitu dengan mengawinkannya dengan Gusti Nurasat, saudara sebapak dari Marhum Panembahan. Penerimaan Sorang masuk ke lingkungan istana dikarenakan Marhum Panembahan sendiri adalah keturunan (utus) orang Ngaju. Hal tersebut sebagai usaha pengokohan kedudukannya dan golongannya atas suatu hak yang diperolehnya dengan jalan usurpasi. Ia memulai menjalankan pemerintahan tanpa pengikut dari golongan bangsawan dan penasihat yang berpengalaman.
{{kotak mulai}}
|