Kerajaan Kotawaringin: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 12:
|- valign=top
| '''Digantikan oleh'''
| [[KabupatenProvinsi KotawaringinKalimantan BaratTengah]]
|- valign=top
| '''[[Ibu kota]]'''
Baris 40:
* Kurang lebih 35 tahun dalam pemerintahan '''Kiai Gede''', tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai '''Putri Gilang''' anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke [[Sembuluh]] dan [[Pembuang]], di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuang artinya tempat yang membuang. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini beliau tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka. Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Petahan, tempat dikorbankannya dua orang, dimana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua dibunuh berkorban sebagai materai perjanjian tersebut. Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin dimana Kiai Gede mengiktirafkan beliau sebagai raja dan beliau sendiri menjabat sebagai [[mangkubumi]].
* Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan dengan Raja Matan (Sukadana), '''Murong-Giri Mustafa'''. Murong-Giri Mustafa (= Ratu Bagus) telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (= Dayang Gilang) untuk puteranya Raden Saradewa. Baginda dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalai ia beranak sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin. Putri Gelang wafat setelah 40 hari setalah melahirkan puteranya. Putera dari Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di [[Martapura]] kemudian dinamai '''Raden Buyut Kasuma Matan''' (= Pangeran Putra) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama ''buyut'', karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam [[bahasa Banjar]] disebut ''buyut''. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (= Pangeran Dipati Kasuma Mandura).
* Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar '''Ratu Kota Waringin''' kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, ekmudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai (sekarang [[Kalimantan Tengah]]). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan. Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemanyam di dalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar yang ditambatkan di sana. Ratu Kota -Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini. Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (= maju).
* [[Raja Kotawaringin]] (Pangeran Antakasuma), [[Raja Sukadana]] (Marta Sahary) dan Raja Mempawah menjadi anggota '''Dewan Mahkota''' di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah (= Ratu Agung). Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun [[1638]] terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan Jepang di loji di Martapura. Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian [[16 Mei]] [[1661]] di masa [[Sultan Rakyatullah]].
* Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma memperoleh seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di sana, putera yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakan '''Ratu Amas'''. Oleh sebab sudah tua beliau menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada puteranya dan berangkat pulang ke Banjarmasin karena beliau berduka atas mangkatnya Sultan Inayatullah (= Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I).