Kontroversi serangan umum 1 maret: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Db84x (bicara | kontrib)
Db84x (bicara | kontrib)
Baris 142:
 
Sebagaimana telah dituliskan di muka, bahwa keputusan untuk tetap tinggal di kota, diambil setelah dilakukan Sidang Kabinet yang berlangsung dari pagi sampai siang. Selain itu, Panglima Besar [[Sudirman]] dan Kolonel [[Simatupang]] sendiri juga berada di Istana. Para penulis buku [[SESKOAD]] sama sekali tidak menyebutkan adanya Sidang Kabinet, percakapan antara Presiden [[Sukarno]] dengan Panglima Besar dan surat perintah Wakil Presiden/Menteri Pertahanan, yang ditujukan kepada seluruh Angkatan Perang, yang diserahkan langsung kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel [[Simatupang]], seusai Sidang Kabinet di Istana. Buku [[SESKOAD]] juga tidak menjelaskan, siapa kelompok yang "mendongkol" dan akan menculik Presiden serta Wakil Presiden untuk dibawa ke luar kota. Mengenai kegiatannya sepanjang tanggal 19 Desember 1948, [[Simatupang]] menulis sangat rinci dalam buku Laporan dari [[Banaran]], dan tidak menyebutkan bertemu dengan "kelompok yang mendongkol" tersebut. Seandainya memang benar ada rencana "penculikan" Presiden dan Wakil Presiden, pasti hal itu telah ditulis dalam catatan hariannya. Dalam buku [[SESKOAD]] setebal sekitar 400 halaman hanya dengan beberapa baris saja [[Sukarno]] didiskreditkan, dan digambarkan sebagai seorang pengecut yang tidak berani memimpin perang gerilya.
 
== Kontroversi dalam Serangan Umum 1 Maret pada era reformasi ==
 
Versi lain yang kemudian juga dikenal adalah, bahwa perintah serangan tersebut datang dari [[Hamengku Buwono IX]] (HB IX). Menurut versi ini, Hamengku Buwono IX memanggil Letkol Suharto dan berbicara empat mata, di mana HB IX memberi perintah kepada [[Suharto]] untuk melaksanakan serangan atas kota [[Yogyakarta]], dan HB IX telah menetapkan waktu penyerangan, yaitu tanggal 1 Maret 1949.
Sebagaimana dikemukakan di atas, hirarki dan garis komando militer berfungsi dengan baik selama perang gerilya. Dengan demikian, tidak mungkin seseorang yang berada di luar garis komando dapat memberikan perintah kepada komandan pasukan untuk mengadakan suatu operasi militer, di mana juga akan melibatkan pihak dan pasukan lain. Untuk melibatkan pasukan dengan komandan yang sejajar dengan dia saja sudah tidak mungkin, karena harus ada persetujuan dari atasan; apalagi memberikan instruksi kepada atasan dan pihak di luar Angkatan Darat. Dengan demikian apabila disebutkan, bahwa perintah serangan diberikan oleh seseorang yang berada di luar garis komando militer, adalah sangat tidak masuk akal. Apalagi memberi instruksi langsung kepada komandan pasukan yang satu level, tanpa melibatkan atasan.
 
Pemberian perintah memang dimungkinkan, seandainya gerakan pasukan tersebut sangat terbatas pada pasukan yang dipimpin langsung oleh seorang komandan, tanpa melibatkan pasukan lain, serta tidak memerlukan persiapan yang besar, di mana masalah logistik dapat ditangani sendiri.
Di beberapa bagian, buku [[SESKOAD]] berusaha untuk tidak mengabaikan peran HB IX, di mana disebutkan, bahwa selain [[Suharto]], HB IX sangat rajin mendengarkan siaran radio luar negeri. Juga berdua mempunyai gagasan untuk segera mengadakan serangan umum, sejalan dengan Surat Perintah Siasat No. 4 dari Panglima Divisi III Kolonel [[Bambang Sugeng]]. Hanya yang mengherankan adalah disebutkannya Perintah Siasat No. 4 tertanggal 1 Januari 1949, dan bukan Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang secara eksplisit menyebutkan Instruksi dari Panglima Divisi [[Bambang Sugeng]] kepada Komandan Daerah (Wehrkreis) III, Letnan Kolonel [[Suharto]], untuk melakukan serangan atas Ibukota [[Yogyakarta]] antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949.
 
Juga dikutip dari biografi HB IX, keterangan yang sehubungan dengan serangan umum, tetapi tidak dilanjutkan dengan kalimat yang menyebutkan bahwa HB IX memanggil [[Suharto]] untuk menghadap:
... Apalagi ketika ia mendengar berita dari siaran radio luar negeri, bahwa pada akhir Februari 1949 masalah antara Indonesia dengan Belanda akan dibicarakan di forum [[PBB]]. Bagaimana caranya untuk memberi tahu kepada dunia internasional bahwa RI masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak menguasai keadaan. Ia kemudian mendapat satu akal ...
... Namun ia harus cepat bertindak karena waktu telah mendesak. Ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar di tempat markas gerilya meminta persetujan untuk melaksanakan siasat.
 
Di sini berakhir kutipan dari biografi HB IX, sedangkan dalam buku yang ditulis oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI), Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949, kutipan tersebut selanjutnya berbunyi:
... HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol [[Suharto]]. Dalam pertemuan di rumah kakaknya, GPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Suharto untuk menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu. Itulah satu-satunya pertemuan HB IX - [[Suharto]] dalam hubungan dengan rencana Serangan Umum 1 Maret. Kontak-kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir.
 
Keterangan tersebut sebenarnya sekaligus membantah ungkapan [[Suharto]], yang dalam otobiografinya menyebutkan bahwa:
... sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal [[Sudirman]], yang tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas ...
 
Setelah [[Suharto]] tidak berkuasa, barulah ada keberanian beberapa orang untuk membantah versi [[Suharto]] tersebut, termasuk orang-orang yang di masa [[Suharto]] berkuasa, terlibat dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah, bahkan hadir dalam Seminar SESKOAD dan ikut dalam pembuatan Film "[[Janur Kuning]]". Di era yang diharapkan dimulainya reformasi termasuk pelurusan penulisan sejarah, muncul pengkultusan baru yang masih memakai pola yang telah diterapkan oleh [[Suharto]] dan merekayasa legenda baru. Beberapa sumber berita dikutip, tetapi semua kesimpulan diarahkan kepada kerangka baru yang telah disiapkan, yaitu adanya pemrakarsa dan pelaksana; dan segala sesuatu seputar serangan tersebut tidak berubah. Tidak pernah ada penjelasan, mengenai apa yang dimaksud dengan pemrakarsa. Hal ini dilakukan oleh pendukung HB IX.
 
Sebenarnya, bila mengenal sosok HB IX yang dikenal sangat low profile dan dekat dengan rakyat, sangat diragukan bahwa HB IX akan menyetujui semua langkah yang ditempuh untuk menciptakan suatu legenda baru untuk mengkultuskan dirinya. Versi ini juga mengekspos, seolah-olah serangan terhadap [[Yogyakarta]] tersebut menjadi tindakan, yang memaksa [[Belanda]] kembali ke meja perundingan di [[PBB]] di [[Lake Success]] (Tempat bersidang Dewan Keamanan pada waktu itu adalah [[Lake Success]], [[Amerika Serikat]], dan [[Paris]], [[Prancis]]).
 
Brigjen. (Purn.) [[Marsudi]] seperti dikutip berbagai media, a.l. situs web koridor.com tertanggal 23 Juni 2000, menyebutkan, bahwa [[Hamengku Buwono IX]] yang memberikan perintah kepada Suharto. Koridor.com menuliskan:"Salah satu pelaku Serangan Oemoem (SO) 1 Maret Brigjen (Purn) [[C Marsoedi]] menegaskan, ide serangan terhadap kekuatan militer [[Belanda]], yang menduduki ibukota RI [[Yogyakarta]]; pada Siang hari datang dari [[Sri Sultan Hamengku Buwono IX]].
 
Dalam seminar tentang Peranan [[Wehrkreise III]] Pada Masa [[Perang Kemerdekaan II]] 1948-1949 di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Jarahnitra) [[Yogyakarta]], Kamis, [[Marsoedi]] mengemukakan, tidaklah benar bila ide itu berasal dari [[Soeharto]], yang saat itu menjadi Komandan [[Wehrkreise III]] berpangkat Overstee (Letkol) dan kemudian menjadi orang pertama [[Orde Baru]].
 
Menurut dia, juga tidak benar [[Soeharto]] pada masa itu tidak pernah menghadap Sri Sultan HB IX. "Saya sendiri yang menjadi penghubung antara HB IX dengan [[Soeharto]]," katanya. Ia menjelaskan, pada 14 Februari 1949, Soeharto diantar masuk ke Kraton Yogyakarta melalui nDalem Prabeya, dan kemudian bertemu empat mata dengan Sri Sultan HB IX di kediaman GBPH [[H Prabuningrat]], saudara Sri Sultan yang juga menjadi tangan kanan HB IX.
Pertemuan itu berlangsung dalam suasana gelap karena seluruh lampu dimatikan. Saat menghadap Sri Sultan, Soeharto mengenakan busana pranakan, jenis baju tradisional khusus bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta. Bahkan saat keluar dari pertemuan itu, [[Soeharto]] sempat memerintahkannya dengan kalimat pendek. "Tunggu perintah lebih lanjut," kata [[Marsoedi]] menirukan ucapan [[Soeharto]] waktu itu.
Ia mengungkapkan, sebelum bertemu [[Soeharto]], Sri Sultan pada 1 Februari berkirim surat kepada Panglima Besar [[Soedirman]] dan kemudian dijawab oleh Bapak [[TNI]] ini agar menghubungi Letkol [[Soeharto]] di [[Blibis]]."
 
Sebelum itu, dalam wawancara dengan Tabloid Tokoh, [[Marsudi]] mengatakan (Lihat Tabloid mingguan Tokoh, No. 01, Tahun ke-1, 9 - 16 November 1998):
"Gubernur Militer [[Bambang Sugeng itu]] 'kan Panglima Divisi, di atasnya Pak Harto, di bawah Panglima Besar. Peranan Panglima Divisi tak terasa, tetapi sebagai panglima, beliau tentu menerima informasi dari Panglima Besar. Situasinya mendesak. Sarana komunikasi terbatas. Karena itu ada hirarki yang diterjang".
 
Sangat tidak tepat, apabila [[Marsudi]] menyebutkan "Peranan Panglima Divisi tak terasa." [[Marsudi]], yang waktu itu berpangkat Letnan dan hanya menjabat sebagai komandan Sub-Wehrkreis 101, tentu tidak pada posisi untuk menerima instruksi/perintah langsung dari Panglima Divisi, karena Panglima Divisi cukup memberikan instruksi/perintah kepada komandan Brigade/Wehrkreis, sesuai dengan hirarki militer. [[Marsudi]] yang setelah usai [[Perang Kemerdekaan II]] terus akrab dengan para perwira yang dahulu di Staf Gubernur Militer (SGM), Staf Divisi serta pimpinan brigade, seharusnya cukup mendengar dan mengetahui peranan [[Panglima Divisi III]]/[[Gubernur Militer III]] Kolonel [[Bambang Sugeng]].
Panglima Divisi Kolonel [[Bambang Sugeng]], selain yang langsung memimpin rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah [[Gubernur Militer III]] pada 18 Februari 1949 -di mana disusun "Grand Design" Serangan Umum tersebut- juga memimpin sendiri rombongan dengan melakukan perjalanan kaki berhari-hari dari lereng [[Gunung Sumbing]], menuju [[Brosot]] untuk menyampaikan "Grand Design" itu kepada pihak-pihak yang terkait, seperti Kolonel [[Simatupang]], Kolonel [[Wiyono]] dari PEPOLIT dan termasuk kepada Letkol [[Suharto]].
 
Dari dokumen-dokumen yang telah disebutkan di atas, juga sebagaimana tertera dalam catatan harian Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel [[Simatupang]] tertanggal 18 Februari 1949, sebenarnya sudah sangat jelas peran Panglima [[Divisi III]]/[[Gubernur Militer III]] Kolonel Bambang Sugeng.
Kemudian sehubungan dengan alasan "sarana komunikasi terbatas" maka "ada hirarki yang diterjang,", sebagaimana terlihat dalam beberapa catatan di atas, demikian juga dengan pernyataan [[Suharto]], alasan tersebut telah terbantah. Memang hal itu yang selalu dikemukakan oleh bawahan, oleh karena mereka tidak mengetahui, bahwa atasan tertinggi mereka tidak mempunyai kesulitan untuk saling berkomunikasi, sehingga dengan demikian, tidak ada alasan untuk menerjang hirarki.
Selain itu, pernyataan [[Marsudi]] telah terbantah oleh keterangan HB IX sendiri, yang menyebutkan bahwa HB IX dapat berhubungan dengan Panglima Besar [[Sudirman]]. Sebagai komandan Sub-Wehrkreis dengan pangkat Letnan, Marsudi tidak termasuk jajaran yang dapat atau boleh mengetahui persembunyian Panglima Besar [[Sudirman]], yang menjadi sasaran utama tentara Belanda. Bahkan atasannya sendiri, yaitu Letkol [[Suharto]], juga tidak termasuk jajaran yang dapat mengetahui tempat persembunyian Panglima Besar.
 
Begitu juga dengan kesimpulan yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi, bahwa pemrakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah [[Sri Sultan Hamengku Buwono IX]]. Tim ini mengutip a.l. biografi Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan [[Sultan Hamengku Buwono IX]], di mana dikutip:
"Waktu telah mendesak, ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar (Sudirman) di persembunyiannya, meminta persetujuannya untuk melaksanakan siasatnya dan untuk langsung menghubungi komandan gerilya...
HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol [[Soeharto]]. Dalam pertemuan di rumah kakaknya, GBPH [[Prabuningrat]], di kompleks Keraton sekitar 13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan [[Soeharto]] untuk menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu....Kontak-kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir.
...Melalui kurir pula ia memberitahu [[Soeharto]] pada sore hari 1 Maret bahwa "pendudukan [[Yogya]]" oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup."
 
Mereka yang pernah ikut gerilya pasti melihat, bahwa hal-hal yang diungkapkan di atas, tidak mungkin dilakukan, yaitu orang yang tidak berada di garis komando memberikan perintah langsung kepada seorang komandan pasukan untuk melaksanakan suatu serangan besar, tanpa sepengetahuan atasan komandan pasukan tersebut, apalagi operasi militer tersebut melibatkan berbagai pasukan yang tidak di bawah komando yang bersangkutan. Bahkan juga angkatan lain, selain Angkatan Darat, dalam hal ini [[AURI]] di [[Playen]] yang memiliki pemancar radio. Dari otobiografi almarhum Marsekal Madya TNI (Purn.) [[Budiarjo]], mantan Menteri Penerangan, dan buku Simatupang yang terbit pertama kali tahun 1960, jelas menunjukkan ikutsertanya Kolonel [[Simatupang]], Wakil Kepala Staf Angkatan Perang dalam perencanaan dan persiapan. Selain itu masih ada dokumen tertanggal 18 Februari 1949, yang sangat jelas menuliskan perintah kepada komandan Daerah I ([[Wehrkreis I]]) untuk mengadakan serangan atas "Iboekota [[Yogyakarta]]" antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949. Pemberi perintah adalah [[Panglima Divisi III]]/[[Gubernur Militer III]] Kolonel [[Bambang Sugeng]].
Tampaknya menurut versi pendukungnya, wewenang HB IX sangat besar, yaitu selain menetapkan tanggal penyerangan, hanya melalui kurir pada sore hari tanggal 1 Maret 1949, ia memberi instruksi kepada Suharto agar serangan tersebut dihentikan, seperti dituliskan:
... Melalui kurir pula ia memberitahu [[Soeharto]] pada sore hari 1 Maret bahwa "pendudukan [[Yogya]]" oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup.
 
Dari semua keterangan dan bukti yang ada, pertempuran di dalam kota [[Yogyakarta]] hanya berlangsung paling lambat hingga sekitar pukul 11.00, karena pada saat itu bantuan tentara [[Belanda]] dari [[Magelang]] telah tiba di [[Yogyakarta]]. Film yang dibuat tahun limapuluhan mengenai serangan tersebut berjudul "[[6 jam di Yogya]]", masih mendapat masukan dari beberapa perwira di jajaran atas, sehingga jalan ceriteranya cukup otentik. Serangan dimulai tepat pukul 06.00, dan apabila pertempuran berlangsung sekitar enam jam, berarti memang paling lambat berakhir sekitar pukul 12.00. Dengan demikian, sangat tidak mungkin perintah penghentian pertempuran diberikan sore hari.
Walaupun dengan menyatakan bahwa instruksi tersebut berdasarkan perintah HB IX, yang notabene tidak ada di garis komando [[Divisi III]], sangat diragukan, bahwa Letnan Kolonel [[Suharto]], yang hanya Komandan Brigade dapat memberikan instruksi, perintah atau apapun namanya kepada para atasannya. Juga adalah suatu hal yang tidak mungkin, bahwa HB IX telah menetapkan tanggal penyerangan, tanpa membahas terlebih dahulu dengan pimpinan militer dan sipil lain, berapa kekuatan pasukan yang dapat dikerahkan oleh Suharto dan bagaimana perlindungan belakang atas kemungkinan bantuan tentara Belanda dari kota lain seperti [[Magelang]], [[Semarang]] dan [[Solo]], serta dukungan logistik dan paramedis yang diperlukan untuk suatu operasi militer besar-besaran.
 
Di sini terlihat, bahwa mereka yang menyusun “skenario” untuk peran HB IX tidak mengetahui mengenai perencanaan suatu operasi militer yang besar, yang melibatkan beberapa pasukan.
Walau pun berbagai sumber yang dikutip sebenarnya bertolak belakang, namun kemudian TLAI membuat kesimpulan, bahwa Hamengku Buwono IX bukan hanya pemrakarsa, melainkan juga yang menetapkan tanggal pelaksanaan dan memegang kendali operasi, yaitu dengan memberi perintah untuk menghentikan pertempuran, karena dianggapnya "sudah cukup". Dikemukakan juga kesaksian seseorang, yang disebutkan sebagai seorang putra dari anak buah [[Budiarjo]], perwira [[AURI]] yang ditemui [[Simatupang]]. Selanjutnya TLAI menuliskan:...kata Letkol [[Suharto]], yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai Komandan Pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949 itu.
 
TLAI tidak menyebutkan buku sejarah mana, atau di mana pernah tertera, bahwa HB IX adalah pemrakarsa, dan Suharto adalah komandan pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949. Hal tersebut memberikan kesan, bahwa kelompok yang mempunyai kekuasaan dan dana, dapat membayar "pakar sejarah" untuk menulis sesuai seleranya, dan membiayai penerbitan buku tersebut, seperti yang selama ini dilakukan pada zaman [[Orde Baru]]. Dengan demikian sejarawan seperti ini, tidak berbeda dengan "tukang jahit.
 
“Skenario” yang terbaru terkesan sangat berlebihan, dan mungkin dapat dikatakan telah melampaui batas kewajaran, sebagaimana dilukiskan dalam buku yang ditulis oleh tiga orang pakar sejarah. Berikut ini kutipan lengkap dari buku tersebut (tanpa terputus dan tidak dirubah titik-komanya):
"... kemudian Presiden dan Wapres di [[Gedung Agung]] ditangkap dan diasingkan sehingga mutlaklah kala itu kedudukan "pemerintah" kita diserahkan pada [[Syafruddin Prawiranegara]] dilain fihak kedudukan kiranya tinggal Mentri Koordinator Keamanan yang dijabat oleh [[Sri Sultan HB IX]], merupakan pimpinan [[RI]] yang tetap di [[Yogyakarta]], dimana [[kraton]] berada maka praktis perjuangan kita hanya menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada dunia Internasional/[[PBB]], dimana hal ini semenjak perpindahan pemerintah [[RI]] di Yogya tersebut [[Sri Sultan HB IX]] dengan telah terbentuknya Laskar Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan [[Wehrkreis]]. Demikianlah sebagai seorang Negarawan yang matang dalam Kalkulasi dan Strategi perjuangan yang didukung dengan Kewenangan sebagai Mentri Koordinator Keamanan maka mulailah beliau menyusun rancangan sengan menggunakan beberapa faktor pendukung yang masih ada serta kelemahan dan Point of Return yaitu semisal pendapat Belanda yang mengatakan Pemerintah [[RI]] telah "hilang" semenjak [[Sukarno]]-[[Hatta]] diasingkan Posisi [[TNI]] sudah sangat "lemah" dan Unforce tidak bisa lagi sebagai benteng penjaga Negara dan Pemerintah, kekacauan terjadi dimana-mana, "kemiskinan" ekonomi-sosial yang cukup parah mengakibatkan pemerintah dianggap gagal mengelola negara dan masyarakat, maka kiranya dengan minimalnya pendukung ini yang nota bene semua nilai-nilai tersebut didistribusikan kepada International Law pada waktu itu sebagai dasar akhir maka Sri Sultan berpendapat bahwa distribusi dari Aturan Internasional tersebutlah terletak kelemahan kita sekaligus "Jalan Keluar" dari "kemiskinan", jadi beliau mendasarkan pada dasar hukumnya dan bukan pada level indikasinya ..."
 
Menurut tulisan ini, Laskar Mataram yang terbentuk tanggal 7 Oktober 1945, menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan [[Wehrkreis]]. Agak mengherankan, karena dalam banyak penulisan buku sejarah perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram tersebut. Memang ketika [[Belanda]] melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, [[Re-Ra]] (Reorganisasi - Rasionalisasi) di tubuh [[TNI]] belum tuntas, sehingga masih banyak laskar dan satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke [[TNI]].
 
Buku yang baru diluncurkan tanggal 1 Maret 2001 dengan judul Pelurusan Sejarah. Serangan Oemoem 1 Maret 1949, disebut oleh Prof. Dr. Ir. [[Sri Widodo]], Msc, dalam kata sambutannya, sebagai:"...kajian ilmiah oleh pakar sejarah dan data kesaksian pelaku sejarah menjadi dasar utama dalam penulisan buku ini...".
 
Secara garis besar, buku tersebut tidak berbeda jauh dengan buku dari TLAI, hanya ditambahkan transkrip rekaman wawancara [[HB IX]] dengan [[BBC]] pada tahun 1986, serta sejumlah kesaksian, terutama dari pegawai keraton Yogyakarta. Tidak ada dokumen dari tahun 1948/1949 yang memperkuat semua kesaksian. Pembenaran versi ini juga berdasarkan kutipan wawancara dari berbagai media massa, tanpa ada dokumen pembuktiannya. Sebenarnya, ketiga penulis yang adalah Sarjana Hukum, tentu mengetahui, bahwa dari segi hukum, pengakuan seseorang-ataupun tidak mengakui suatu tindakan- bukanlah suatu alat bukti yang kuat. Yang berhubungan langsung dengan latar belakang serangan tersebut, sebagian besar hanyalah polemik mengenai versi pertama, yaitu pemrakarsa adalah Letnan Kolonel [[Suharto]], dan sepintas lalu disinggung mengenai versi ketiga, yang dikemukakan oleh Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. [[Wiliater Hutagalung]], mantan Kwartiermeestergeneraal Staf "Q" TNI AD, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perwira Teritorial.
 
Di halaman 71, sehubungan dengan kedatangan Kolonel Simatupang di desa [[Playen]], tempat pemancar radio [[AURI]], tertulis kesaksian Herman Budi Santoso, SH, yang menceriterakan pengalamannya waktu itu (usia 15 tahun):"...yang ternyata [[T.B. Simatupang]] yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud (Budiarjo-pen.)...dan Pak Simatupang mengatakan bahwa Sri Sultan telah mengontak Pak Dirman tentang ide penyiaran yang diprakarsai Sri Sultan termasuk gagasan untuk SU 1 Maret 1949, pak Bud saat itu Kapten juga melaporkan bahwa pak Sabar juga telah menerima kode dan isi perintah rahasia dari kurir Pangsar Sudirman..."
 
memang, adalah suatu novum, yaitu"...T.B. Simatupang, yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud.." Namun, para pakar sejarah terebut tidak melampirkan bukti atau dokumen yang dapat mendukung kebenaran "kesaksian" tersebut, karena hingga kini tidak ada tercatat di dokumen mana pun mengenai instruksi/perintah Hamengku Buwono IX kepada Kolonel Simatupang. Demikian juga catatan Simatupang, yang tidak pernah menyebutkan adanya pertemuan dengan HB IX atau perintah dari HB IX dan bahkan tidak selama berlangsungnya perang gerilya, Simatupang tidak pernah menulis adanya peran HB IX dalam perlawanan bersenjata. Selain itu, Simatupang juga tidak menulis nama perwira AURI yang ditemuinya di Playen. Seandainya ada perintah tersebut, tentu Simatupang mencatat dalam buku hariannya, dan yang dicatatnya adalah pertemuan dengan Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III/GM III yang menyampaikan rencana untuk menyerang Yogyakarta, dan dalam catatan harian mengenai kedatangannya di Wiladek, Simatupang menulis:..Tanggal 1 Maret 1949, setelah kami melalui Kota-Kabupaten Wonosari, yang telah dibumihanguskan, maka kami tiba di Wiladek tidak jauh dari Ngawen. Di Wiladek kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir. Dipokusumo, yang bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa. Mereka menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu juga, yakni tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan "SO" atau serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah serangan yang beberapa waktu yang lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara-saudara Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan "SO" ini melalui pemancar radio dekat Banaran ke Sumatera dan New Delhi, yang kemudian akan berita itu kepada dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda sedang ngotot, maka sebuah berita yang agak sensasional mengenai serangan umum atas Yogyakarta pasti akan mempunyai efek sangat baik bagi kita…
 
Dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang banyak melampirkan fotocopy surat-menyurat yang penting, termasuk dari HB IX dan Panglima Besar Sudirman. Demikian juga dengan Nasution, yang selain melampirkan copy dari dokumen asli, juga menulis transkrip sejumlah besar dokumen-dokumen selama perang gerilya. Namun tidak ada satu dokumen pun yang menyinggung atau menyatakan keterlibatan HB IX dalam suatu operasi militer.
 
Juga dalam bukunya, Budiarjo tidak menyebutkan bahwa kedatangan Simatupang adalah atas perintah dari HB IX untuk menemuinya. Hingga saat ini belum ada dokumen yang menyebut adanya keterkaitan antara Hamengku Buwono IX baik dengan Simatupang, maupun dengan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng. Juga secara keseluruhan, belum ditemukan sumber otentik atau dokumen mengenai keterlibatan HB IX dalam salah satu operasi militer. Demikian juga Nasution, dalam semua bukunya tidak pernah menyinggung adanya keterlibatan HB IX dengan serangan umum di wilayah Divisi III, ataupun terhadap Yogyakarta. Satu-satunya buku (naskah) yang secara eksplisit menyebutkan adanya surat HB IX kepada Panglima Besar Sudirman yang diterima di dekat Pacitan pada awal bulan Februari 1949, adalah naskah buku dr. W. Hutagalung, yang hingga kini belum diterbitkan. Jadi agak mengherankan, bahwa Herman Budi Santoso, tanpa ada suatu sumber pembuktian, dapat menuliskan:
"... T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui Budiarjo..."
 
Pada dasarnya, selain memuat transkrip wawancara HB IX dengan [[BBC]], serta melampirkan sejumlah kesaksian, tidak ada bukti atau dokumen baru, selain dari dokumen yang selama ini telah dikenal. Bahkan beberapa kesaksian menyebutkan, bahwa selain mendengarkan radio kemudian meminta izin kepada Panglima Besar Sudirman untuk melancarkan serangan terhadap Yogyakarta, HB IX juga yang menetapkan tanggal serangan, memberikan perintah untuk penghentian serangan, memerintahkan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, untuk menyampaikan teks siaran ke pemancar radio AURI di Playen; singkatnya, juga dalam buku ini semua peran yang dahulu diklaim oleh Suharto, kini dilimpahkan kepada HB IX, dengan demikian mengangkat HB IX menjadi super hero yang baru. Walau pun pada beberapa dokumen jelas disebutkan bahwa serangan tersebut adalah operasi militer di bawah komando Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, dan tidak ada satu pun dokumen otentik yang mendukung, para penulis dengan tegas telah menetapkan HB IX sebagai pemrakarsa serangan, dan Marsudi menyatakan, bahwa penulisan tersebut telah "final".
 
Adalah suatu hal yang baru, yaitu upaya untuk mengukuhkan "kajian ilmiah" tersebut dengan Keputusan Presiden Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam harian Kompas tertanggal 28 Februari 2001, halaman 9, ditulis:Bahkan DPRD (DI Yogyakarta-pen.) sendiri telah menulis surat kepada Presiden [[Abdurrahman Wahid]] untuk menerbitkan keputusan presiden, untuk meluruskan fakta sejarah itu. "...de facto penggagas SO 1 Maret itu adalah HB IX almarhum, tetapi secara de jure harus dirumuskan dalam keputusan presiden, karena menyangkut sejarah bangsa ini." demikian [[Budi Hartono]].
 
Hal baru ini boleh dikatakan mungkin "unik", yaitu suatu penulisan sejarah minta dikukuhkan melalui SK Presiden. Bahkan Suharto pun tidak pernah mengeluarkan SK (Surat Keputusan) Presiden, atau memerintahkan lembaga-lembaga negara untuk mengukuhkan versinya.
 
Untuk meletakkan sesuai proporsinya, perlu sekali lagi ditegaskan, bahwa "Serangan Spektakuler" -bahkan seluruh serangan umum di wilayah Divisi III- tersebut bukanlah pemicu perundingan antara Belanda dan Republik Indonesia. Agresi Belanda yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, dilakukan saat perundingan antara Indonesia dan Belanda sedang berlangsung. Perundingan tersebut difasilitasi oleh Komisi Jasa Baik Dewan Keamanan PBB, yang waktu itu lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). Namun, keberhasilan "Serangan Umum" (serangan secara besar-besaran yang serentak dilancarkan) di seluruh wilayah Divisi II dan III, termasuk "serangan spektakuler" terhadap Yogyakarta dan hampir bersamaan dilakukan di wilayah Divisi I dan IV, menambah jumlah keberhasilan serangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di seluruh Indonesia, sebagai bukti bahwa TNI masih ada.
Keberhasilan "Serangan Umum" tersebut adalah berkat kerjasama serta dukungan berbagai pihak. Sangat banyak orang dan pihak yang terlibat langsung dalam perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, sehingga bukan hanya satu atau dua orang saja yang berjasa, melainkan banyak sekali. Juga tidak hanya Angkatan Darat saja yang terlibat, melainkan juga Angkatan Udara dan Kementerian Pertahanan sendiri serta pimpinan sipil, untuk memasok perbekalan bagi ribuan pejuang. Dan yang terpenting, adanya dukungan rakyat Indonesia di daerah-daerah pertempuran.
 
Selain itu harus pula diingat, bahwa perlawanan bersenjata dilakukan tidak hanya di sekitar Yogyakarta atau Jawa Tengah saja, tetapi hampir di seluruh Indonesia, yaitu di [[Jawa Barat]], [[Jawa Timur]], [[Sumatera]], [[Kalimantan]], [[Sulawesi]], dan ini adalah bagian dari seluruh potensi perjuangan kemerdekaan: Diplomasi dan Militer. Perlawanan bersenjata tidak hanya dilakukan oleh tentara reguler/TNI saja, melainkan juga banyak kalangan sipil yang ikut dalam pertempuran, sebagaimana dituturkan dalam buku [[Setiadi Kartohadikusumo]]:"Pemuda-pemuda yang membantu PMI (Palang Merah Indonesia), kalau malam juga ikut menjalankan pertempuran sebagai gerilyawan. Ada beberapa orang yang tertembak mati dengan masih memakai tanda Palang Merah di bahunya, sebagaimana terjadi di Balokan, di muka stasion KA [[Tugu]] dan di [[Imogiri]]."
 
Melihat begitu banyak pihak yang berperan dalam pembahasan, perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, tentu tidak pada tempatnya, apabila untuk keseluruhan episode tersebut direduksi menjadi peran dua orang, yaitu hanya ada pemrakarsa dan pelaksana; selebihnya, dianggap tidak penting. Di samping itu, masih sangat diragukan kebenaran versi yang mendukung kedua story tersebut.
 
Penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa penulisan sejarah adalah suatu "never ending process", suatu proses yang tidak akan berakhir, karena sering dapat ditemukan bukti baru, sehingga dengan demikian penulisan sebelumnya perlu direvisi atau mendapat penilaian baru.
 
Oleh karena itu, selama tidak ditemukan dokumen atau bukti otentik yang dapat membuktikan perintah atau pun penugasan dari HB IX, baik kepada Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, yang adalah atasan langsung dari Letkol Suharto, maupun kepada Kolonel A.H. Nasution -Panglima Tentara & Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa- atau kepada Kolonel T.B. Simatupang -Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang-, berdasarkan dokumen, bukti-bukti yang ada, serta sesuai hirarki dalam pemerintahan militer dan garis komando, dapat dengan tegas dinyatakan, bahwa perencanaan, persiapan, penugasan, pelaksanaan serta komando operasi militer yang dilancarkan di seluruh wilayah Divisi III/GM III -termasuk serangan terhadap Yogyakarta- tanggal 1 Maret 1949, berada di pucuk pimpinan Divisi III/GM III dan kendali operasi sejak awal berada di tangan Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng.
 
== Perkembangan kontroversi serangan umum 1 maret ==
 
Sebenarnya latar belakang serangan 1 Maret atas Yogyakarta, Ibukota RI waktu itu yang diduduki Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari duapuluh tahun, apabila beberapa pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B. Simatupang, saat peristiwa serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang. Simatupang telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan tersebut, dari mulai perencanaan sampai penyebarluasan berita serangan itu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun 1980.
 
Cukup banyak pelaku sejarah yang masih hidup dan mengetahui mengenai hal-hal tersebut di atas, terutama mantan anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer III. Namun dengan berbagai alasan, dua versi tersebut beredar selama puluhan tahun, walaupun beberapa kali telah ada penulisan yang berbeda dengan dua versi tersebut dan bukti-bukti cukup banyak.
 
Dalam skripsi yang ditulis oleh Indriastuti sebagai bahan untuk ujian S-1, diterbitkan pada tahun 1988, telah memuat salinan Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kol. Bambang Sugeng, di mana seharusnya terlihat jelas, bahwa serangan tersebut adalah perintah dari pimpinan tertinggi Divisi. Juga telah diwawancarai beberapa pelaku sejarah. Namun terlihat, alur cerita yang disampaikan serta kesimpulan yang diambil, sangat tidak logis.
 
Bahkan buku yang diterbikan SESKOAD tahun 1989, melampirkan banyak dokumen, yang sebenarnya menunjukkan peran beberapa atasan Suharto, namun tampaknya buku tersebut "dijahit" khusus untuk Suharto. Seharusnya, sekarang sudah menjadi kewajiban moral bagi SESKOAD, untuk merevisi buku tersebut dan merehabilitasi beberapa mantan atasan Suharto, karena jasa mereka bagi bangsa, negara dan TNI sangat besar; bahkan beberapa dari mereka termasuk yang berperan bukan saja dalam pembentukan BKR/TKR -cikal bakal TNI- melainkan juga dalam perencanaan serta pelaksanaan reorganisasi dan rasionalisasi TNI. Peran mereka dalam Perang Kemerdekaan II telah dikecilkan, demi mengangkat peran Suharto, yang dahulu hanya komandan Brigade dan kebanyakan hanya melaksanakan perintah atasan.
 
Selain itu cuplikan dari manuskrip buku Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, yang sehubungan dengan serangan atas Yogyakarta tersebut, telah dimuat di majalah bulanan Bonani Pinasa, Medan, edisi November dan Desember tahun 1992 (ketika Suharto masih Presiden); Tabloid Tokoh, 6 - 16 November 1998; Mingguan Tajuk, 4 Maret 1999 dan Suara Pembaruan, Sabtu, 6 Maret 1999 (ditulis oleh Sabam Siagian).
 
Setelah membaca manuskrip tersebut, pada tahun 1995, Suharto menyampaikan, agar buku tersebut tidak diterbitkan. Namun, pada akhir tahun 1997, dimana suasana reformasi sudah mulai dirasakan, manuskrip tersebut disampaikan kepada Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution untuk diminta pendapatnya untuk memberi sepatah kata. Nasution memberi dukungan agar manuskrip tersebut diterbitkan, dan menulis kata sambutan.
 
Usai perang gerilya, dua orang perwira yang bergerilya di wilayah Gunung Sumbing, mendapat promosi kenaikan jabatan. Pada bulan September 1949, Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala Staf "G" (General = Umum) dan ketika Simatupang ditugaskan untuk ikut menjadi anggota delegasi Republik dalam KMB di Den Haag, Bambang Sugeng diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Perwira kedua yang mendapat kenaikan jabatan adalah Letnan Kolonel dr. Wiliater Hutagalung, yang diangkat menjadi Kwartiermeestergeneral Staf "Q" TNI AD (Kepala Staf "Q" – Head Quarter). Mengenai dr. W. Hutagalung, dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang mencatat:"dr Hutagalung, aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun 1948 ditunjuk sebagai wakil Angkatan Bersenjata pada Komite Hijrah yang menangani penarikan mundur tentara Republik dari wilayah yang diduduki Belanda."
 
Salah satu keputusan Konperensi Meja Bundar adalah penyerahan seluruh perlengkapan militer Belanda yang ada di Indonesia, kepada TNI (Tentara Nasional Indonesia). Pada perundingan dengan pihak Belanda untuk serah terima perlengkapan militer tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh Kwartiermeester-generaal Staf "Q" Letnan Kolonel Dr. W. Hutagalung. Wakilnya adalah Kolonel G.P.H. Djatikusumo [Diceriterakan oleh alm. Kol TNI (Purn.) Alex E. Kawilarang dalam pertemuan pada 9 November 1999 di Gedung Joang ’45, Menteng Raya 31]. Dalam pelaksanaan serah terima, Hutagalung dibantu oleh Kapten Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar, yang menangani penerimaan dan registrasi perlengkapan militer, dan dr. Satrio, yang menangani penerimaan dan registrasi perlengkapan medis.
 
Pada 29 Februari 2000, bertempat di Gedung Joang '45, Jl. Menteng Raya No. 31, diselenggarakan diskusi mengenai "Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949" dan jumpa pers oleh Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) dan Exponen Pejuang Kemerdekaan RI & Generasi Muda Penerus RI. Selain dihadiri oleh putra - putri alm. Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng, juga hadir Dr. Anhar Gonggong, yang mengakui, bahwa dia baru pertama kali melihat dokumen Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, tertanggal 18 Februari 1949 tersebut (Diskusi dan Jumpa Pers tersebut diliput dan diberitakan oleh beberapa media cetak, dan dua stasiun radio yang memberitakan langsung dari Gedung Joang).
 
Tanggal 2 Maret 2001, Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) bekerjasama dengan Yayasan Pembela Tanah Air, menyelenggarakan Diskusi Panel dengan mengundang wakil dari masing-masing versi. Untuk wakil versi pertama, yaitu Suharto pemrakarsa serangan 1 Maret 1949, semula panitia mengundang Paguyuban Wehrkreis III dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk mengirim seorang pembicara, yang akan mewakili versi pertama. Namun Paguyuban Wehrkreis III menjawab, bersedia mengirim pembicara dalam Diskusi Panel, namun baik Paguyuban Wehrkreis III maupun Yayasan Serangan Umum 1 Maret, menyatakan tidak mewakili versi manapun. Sebagai panelis mewakili Paguyuban Wehrkreis III adalah Brigjen TNI (Purn.) KRMT Soemyarsono, SH (Beliau juga hadir dalam acara Ulang Tahun ke 91 dari dr. Wiliater Hutagalung pada 20 Maret 2001, yang diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang juga dihadiri teman-teman sdeperjuangan dr. W. Hutagalung dari Jawa Timur –seperti Komjen POL (Purn.) Dr. M. Jasin, alm. Mayjen (Purn.) EWP Tambunan, alm Mayjen (Purn.) KRMH H Jono Hatmodjo- dan Jawa Tengah) .
Panitia juga mengundang Julius Pourwanto, wartawan harian Kompas, yang pernah menulis sesuai dengan versi pertama, yaitu Suharto adalah pemrakarsa serangan tersebut untuk menjadi nara sumber. Semula Pourwanto telah menyatakan kesediaannya, namun satu hari sebelum penyelenggaraan Pourwanto mengirim fax, yang menyatakan bahwa dia mendapat tugas lain dari harian Kompas.
 
Untuk versi kedua, semula ditanyakan kesediaan Atmakusumah Astraatmaja, penyunting biografi Hamengku Buwono IX, di mana dituliskan, bahwa HB IX pemrakarsa serangan tersebut. Namun Atmakusumah menyampaikan, berhalangan untuk hadir sebagai pembicara, karena sudah ada komitmen di tempat lain. Kemudian panitia menghubungi Penerbit Media Pressindo di Yogyakarta, yang menerbitkan buku "Kontroversi serangan Umum 1 Maret 1949", yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI) di mana disebutkan, bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan itu. Karena tidak mengetahui alamat TLAI, panitia memohon kepada penerbit, untuk meneruskan undangan kepada TLAI, namun sama sekali tidak ada jawaban, baik dari TLAI, maupun dari penerbit.
 
Melalui telepon, penulis menghubungi Brigjen TNI (Purn.) Marsudi di Yogyakarta. Marsudi, yang sejak jatuhnya Suharto, dikenal sebagai pendukung versi kedua, yaitu HB IX pemrakarsa serangan. Namun Marsudi menyampaikan, bahwa tanggal 1 Maret 2001, di Yogyakarta akan diluncurkan buku baru untuk meluruskan penulisan sejarah. Buku tersebut menyatakan bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan umum 1 Maret 1949. Menurut Marsudi, bagi pihaknya penulisan itu sudah final, dan tidak bersedia mendiskusikan hal tersebut. Hingga saat ini belum terlaksana suatu diskusi terbuka, di mana hadir wakil-wakil dari tiga versi yang berbeda.