Dyah Pitaloka Citraresmi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 7:
==Gugurnya Sang Putri==
Akibat ketegangan ini terjadi pertempuran di mana rombongan kerajaan Sunda melawan tentara Majapahit untuk ''bela pati'' melakukan [[puputan]] untuk membela kehormatan mereka di Lapangan Bubat. Meskipun memberikan perlawanan dengan gagah berani, rombongan kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya gugur dalam kepungan tentara Majapahit. Hampir seluruh rombongan kerajaan Sunda
Menurut tradisi, kematian Dyah Pitaloka diratapi oleh Hayam Wuruk serta segenap rakyat Kerajaan Sunda yang kehilangan sebagian besar keluarga kerajaannya. Oleh masyarakat Sunda kematian Sang Putri dan Raja Sunda dihormati dan dipandang sebagai suatu keberanian dan tindakan mulia untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Ayah Sang Putri, Prabu Maharaja Lingga Buana disanjung dan dihormati oleh masyarakat Sunda dengan gelar "Prabu Wangi" ([[Bahasa Sunda]]: Raja yang memiliki nama yang harum) karena tindakan heroiknya membela kehormatan negaranya melawan Majapahit. Keturunannya, raja-raja Sunda yang kemudian diberi gelar "[[Siliwangi]]" ([[Bahasa Sunda]]: Penerus Prabu Wangi). Tragedi ini sangat merusak hubungan antara kedua kerajaan ini yang berakibat permusuhan hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan kedua negara ini tidak pernah pulih kembali seperti sediakala.<ref name="end">{{cite book |last=Munoz|first=Paul Michel|title=Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula|publisher=Editions Didier Millet|date=2006|location=Singapore|url= |doi= |pages=279|isbn= 9814155675}}</ref> Sementara itu di kraton Majapahit, Gajah Mada menghadapi permusuhan dan ketidakpercayaan, karena tindakannya yang ceroboh bertentangan dengan kepentingan keluarga kerajaan Majapahit dan telah melukai perasaan Raja Hayam Wuruk.
|