Arung Palakka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kembangraps (bicara | kontrib)
Pernikahan: {{tone}}
Baris 20:
 
Menyatakan penurunan tahta paman kandungnya pada [[1672]]. Dan dimahkotai sebagai Sultan Bone dengan gelar Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din, [[3 November]] [[1672]].<ref name="palakka"/>
 
ANDAYA mengarahkan perhatiannya kepada Arung Palakka sebagai wakil dari tema dan kepercayaan dasar yang sampai sekarang menguasai kehidupan orang Bugis/Makassar. Dari sanalah dia mencoba mencari akar sebab Arung Palakka rela bersekutu dengan VOC seraya memerangi saudaranya sendiri di Kerajaan Goa yang sedang jaya-jayanya sebagai salah satu kerajaan terkuat dan terbesar di Nusantara abad ke-17.
 
Jawaban persoalan itu, menuru Andaya, kurang tepat jika dicari dalam kerangka persaingan ekonomi di wilayah bagian barat laut Nusantara, antara Kerajaan Goa dan VOC, yang memuncak dalam Perang Makassar 1666-1669, sebagaimana diyakini para sarjana lokal dan mancanegara. Alasan pokok Arung Palakka bukanlah ekonomis-politis, tetapi panngadereng yang meliputi siri’’ (harga diri atau kehormatan dan rasa malu), pacce (perasaan sakit dan pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (kepercayaan bahwa seseorang dapat memperbaiki atau memperjelek peruntungannya dalam hidup ini melalui tindakan orang itu sendiri).
 
Tanpa memahami ketiga ciri kultural yang memegang peranan sangat penting dalam sejarah Sulawesi Selatan saat itu, akan keruh selamanya menilai Arung Palakka. Lagi pula Andaya percaya diktum sejarawan JC van Leur bahwa masa lalu tidak ditulis untuk dinilai dengan nilai masa kini, dan oleh karena itu siri’, pacce, dan sare adalah bahan yang lebih baik dan adil dipakai untuk menilai dan mengevaluasi kejadian penting di abad itu, ketimbang standar masa kini. Demikianlah dia memasuki dan memberi sumbangan penting dalam polemik yang sampai kini masih berkembang di antara masyarakat Sulawesi Selatan tentang Arung Palakka yang tokoh sejati, pahlawan tulen bukan pengkhianat dan penindas.
 
BERLATAR belakang seperti itu, Andaya memulai riwayat tokohnya dengan membahas sejumlah ciri tertentu budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang dikaitkannya dengan keadaan historis abad ke-17, terutama perkembangan Islam dan perdagangan internasional yang memuncak menjadi ketegangan antara Goa, Bone, dan VOC yang hadir di sana sejak tahun 1601. Ketegangan yang dia perlihatkan dengan rinci menjadi latar kelahiran serta mengisi pikiran masa kanak dan muda Arung Palakka.
 
Arung Palakka lahir sekitar tahun 1635 di Desa Lamatta, daerah Mario Wawo Soppeng, sebagai pewaris takhta Kerajaan Bone. Ketika umurnya delapan tahun, Bone diperangi Goa yang gusar dan berhasil menaklukkannya. Sejak berumur 11 tahun Arung Palakka dan keluarganya dibawa sebagai sandera ke Istana Goa. Mereka beruntung karena menjadi pelayan Karaeng Pattinggaloang, tokoh penting dan jenius di Kerajaan Goa. Di bawah asuhannya, Arung Palakka tumbuh menjadi pangeran yang mengesankan dalam olah otak maupun olahraga.
 
Meski dia terlibat aktif di Istana Goa dan berkawan dengan para pemuda Makassar, siri’ dan pacce mengingatkannya selalu sebagai putra dari seorang Bugis pembuangan dan bahwa rakyatnya menderita. Awal 1660 dia merasa penderitaan itu semakin hebat karena harus menyaksikan 10.000 orang tua maupun muda diseret dari Bone ke Makassar atas perintah Sultan Hassanudin melalui Karaeng Karunrung dan Regent (Bupati) Bone, Tobala. Mereka dijadikan pekerja paksa penggali kanal di sepanjang garis pertahanan pantai Makassar agar ada pemisah antara Kerajaan Goa dan Benteng Pa’nakkukang yang diduduki VOC.
 
Lantaran banyak yang sakit dan melarikan diri, seluruh bangsawan Bone dan Soppeng diperintahkan keluar dari istana, bekerja bersama rakyatnya. Ini melipatgandakan pelecehan siri’ yang sudah diderita oleh rakyat Bugis karena junjungannya dipaksa melakukan pekerjaan kasar yang tidak seharusnya. Pelecehan siri’ itu menjadi derita kolektif orang Bugis dan menebalkan pacce di antara mereka. Perlawanan pun dirancang.
 
Arung Palakka adalah salah satu perancangnya, tetapi perlawanan itu patah oleh kekuatan Goa yang besar. Ia terdesak. Akhir tahun 1660 dia meninggalkan Sulawesi bersama pengikutnya menuju Batavia dengan bantuan VOC, namun dalam hatinya terpatri sumpah tidak akan berhenti mencari cara untuk kembali, bikin perhitungan, dan merdekakan negeri Bugis.
 
Setelah menunggu lima tahun, keinginannya terkabul. VOC yang kagum akan daya tempur pengikut Arung Palakka yang disebut Toangke ("Orang Angke", diambil dari Kali Angke yang mengalir melewati perkampungan Bugis di Batavia) saat membantu memadamkan pemberontak Minangkabau, mengajaknya memerangi Goa yang dinilai mengganggu kepentingan ekonomi VOC.
 
ANDAYA memberi ruang luas buat mengisahkan Perang Makassar. Salah satu yang menarik adalah ditunjukkannya psikologi Arung Palakka dan Cornelis Speelman yang menjadi aktor utama pilihan VOC memimpin ekspedisi ke Goa. Keduanya menderita oleh apa yang mereka anggap ketidakadilan sehingga rela berkorban apa pun demi memulihkan nama. Speelman yakin cuma kemenangan yang bisa membersihkan namanya dari noda dipecat dengan tidak hormat karena perdagangan gelapnya sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Sementara bagi Arung Palakka, kemenangan akan membebaskannya dari beban berat bahwa siri’-nya telah mati.
 
Hanya dengan memulihkan siri’-nya dan rakyatnya dia dapat memperlihatkan wajah di Sulawesi Selatan. Dia yakin lebih baik mati untuk mempertahankan siri’ (mate ri siri’na) ketimbang hidup tanpa siri’ (mate siri’). Mati untuk memulihkan siri’ adalah "mati dengan siraman gula dan santan" (mate ri gollai, mat ri santannge). Situasi psikologis itulah yang mendorong keduanya "menafsir ulang" perintah VOC dan menjalankan "jihad" terhadap Goa.
 
Hal lain yang menarik adalah kajian Andaya mengenai dampak perang itu atas rakyat Makassar. Melalui cerita rakyat Makassar, Sinrili’na Kappala’ Tallumbatua, dia memperlihatkan Arung Palakka dan Perang Makassar yang dimaknai rakyat pedesaan Makassar sebagai kemenangan rakyat dan keunggulan nilai-nilai mereka yang didasarkan pada kebiasaan dan praktik (ada’) yang sudah sangat tua dalam masyarakat, yaitu siri’, pacce, dan sare.
 
Ini sangat berlainan dengan tulisan para sejarawan Barat maupun sejarawan Indonesia yang melulu bergantung pada sumber Kerajaan Bugis-Makassar dan/atau dokumen VOC. Mereka cenderung menggambarkan kepahitan dan pesimisme di kalangan para raja dan ningrat Makassar sebagai pantulan perasaan seluruh rakyat Makassar. Jadi, seharusnya masyarakat Sulawesi Selatan dapat menurunkan kadar emosional dan lebih rasional setiap mendiskusikan mengenai implikasi Perang Makassar.
 
Seusai Perang Makassar, Arung Palakka sangat memahami bahwa VOC telah menjadi kekuatan "di", namun bukan "milik", Sulawesi Selatan. Perbedaan ini disadari dan dimanipulasi untuk menciptakan dirinya sebagai salah satu penguasa atasan paling berhasil dalam sejarah Sulawesi Selatan. Jalan menuju ke sana dirintisnya tidak saja dengan kesadaran dia tidak akan berbalik melawan VOC yang telah memulihkan hidupnya dan rakyatnya, tetapi juga dengan selalu membuktikan kesetiaannya. Ia rela meninggalkan negerinya pada Mei 1678 untuk berperang membantu VOC menyelesaikan persoalan pengungsi Makassar pimpinan Karaeng Galesong yang membantu perlawanan Trunajaya di Jawa.
 
Akhirnya, Andaya menyimpulkan Arung Palakka adalah tokoh yang diberkati visi dan kepiawaian politik yang kuat sehingga mampu menggunakan pengaruhnya dengan efektif terhadap negara lokal, bahkan membuat pemerintah pusat VOC di Batavia bergantung dan rela mengabaikan suara wakilnya di Fort Rotterdam agar membelenggu Arung Palakka yang memaksa mereka semua berbagi mimpinya akan Sulawesi Selatan bersatu.
 
Mimpi yang dalam 30 tahun kekuasaannya berhasil diwujudkan, tetapi sekaligus membuat banyak pangeran dan pengikutnya yang tak setuju lari mencari rumah di tanah seberang sehingga mewarnai sejarah daerah tujuan itu. Inilah yang menurut Andaya sebagai warisan Arung Palakka, tidak hanya bagi Sulawesi Selatan tetapi juga bagi Nusantara, selain teladan pribadinya sebagai pemimpin yang sadar, paham, teguh memegang serta menjalankan tradisi politik yang bermartabat sebagaimana tersebut dalam amanat leluhur yang tertulis maupun tak tertulis.
 
== Referensi ==