Ahmadiyаh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Naval Scene (bicara | kontrib)
k revert vandal
Rahman23 (bicara | kontrib)
Baris 35:
Tiga pemuda dari [[Sumatera Tawalib]] yakni sauatu pesantren di [[Sumatera Barat]] meninggalkan negerinya untuk menuntut Ilmu. Mereka adalah (alm) [[Abubakar Ayyub]], (alm) [[Ahmad Nuruddin]], dan (alm) [[Zaini Dahlan]].
Awalnya meraka akan berangkat ke [[Mesir]], karena saat itu [[Kairo]] terkenal sebagai Pusat Studi [[Islam]]. Namun Guru mereka menyarankan agar pergi ke [[India]] karena negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam.
Sampailah ketiga pemuda [[Indonesia]] itu di Kota [[Lahore]] dan bertemu dengan [[Anjuman Isyaati Islam]] atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Setelah beberapa waktu disana, merekapun ingin melihat sumber dan pusat Ahmadiyah yang ada di desa [[Qadian]]. Dan setelah mendapatkan penjelasan dan keterangan, akhirnya mereka Bai'at di tangan Hadhrat [[Khalifatul Masih]] II r.a., [[Mirza Bashir-ud-Din Mahmood Ahmad|Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad]] r.a.
Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar di [[Madrasah Ahmadiyah]] yang kini disebut [[Jamiah Ahmadiyah]]. Merasa puas dengan pengajaran disana, Mereka mengundang rekan-rekan pelajar di [[Sumatera Tawalib]] untuk belajar di [[Qadian]]. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari [[Sumatera Tawalib]] bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.
Dua tahun setelah peristiwa itu, para pelajar Indonesia menginginkan agar [[Hadhrat [[Khalifatul Masih II]] II r.a. berkunjung ke Indonesia. Hal ini disampaikan (alm) Haji Mahmud - juru bicara para pelajar Indonesia dalam [[Bahasa Arab]]. Respon positif terlontar dari [[Hadhrat [[Khalifatul Masih II]] II r.a.. Ia meyakinkan bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke Indonesia. Kemudian, (alm) [[Maulana Rahmat Ali|Maulana Rahmat Ali HAOT]] dikirim sebagai muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya.
Tanggal 17 Agustus 1925, [[Maulana Rahmat Ali|Maulana Rahmat Ali HAOT]] dilepas [[Hadhrat [[Khalifatul Masih II]] II r.a berangkat dari Qadian. Tepatnya tanggal 2 Oktober 1925 sampailah [[Maulana Rahmat Ali|Maulana Rahmat Ali HAOT]] di [[Tapaktuan]], [[Aceh]]. Kemudian berangkat menuju [[Padang]], [[Sumatera Barat]]. Banyak kaum intelek dan orang orang biasa menggabungkan diri dengan Ahmadiyah. Pada tahun 1926, Disana, Jemaat Ahmadiyah mulai resmi berdiri sebagai organisasi.<ref>Subjek "Mengundang Ahmadiyah ke Indonesia", Diskusi Sdr.Nadri Saaduddin, [http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/03/26/0247.html]</ref> Tak beberapa lama, [[Maulana Rahmat Ali|Maulana Rahmat Ali HAOT]] berangkat ke [[Jakarta]], ibukota Indonesia. Perkembangan Ahmadiyah tumbuh semakin cepat, hingga dibentuklah Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah dengan (alm) [[R. Muhyiddin]] sebagai Ketua pertamanya.
Terjadilah Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di dalam meraih kemerdekaan itu tidak sedikit para Ahmadi [[Indonesia]] yang ikut berjuang dan meraih kemerdekaan. Misalnya (alm) [[R. Muhyiddin]]. Beliau dibunuh oleh tentara [[Belanda]] pada tahun 1946 karena beliau merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Juga ada beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti (alm) [[Mln. Abdul Wahid]] dan (alm) [[Mln. Ahmad Nuruddin]] berjuang sebagai penyiar radio, menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, muballigh yang lain (alm) [[Mln. Sayyid Syah Muhammad]] merupakan salah satu tokoh penting sehingga [[Soekarno]], [[Presiden Indonesia|Presiden pertama Republik Indonesia]], di kemudian hari menganugerahkan gelar [[veteran]] kepada beliau untuk dedikasi beliau kepada negara.
Di tahun lima puluhan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas menjadi satu Organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan dikeluarkannya Badan Hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tertanggal 13-3-1953.
Ahmadiyah tidak pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik ujung-ujungnya membawa kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak korban. Satu lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, [[Arif Rahman Hakim]], yang tidak lain melainkan seorang [[khadim]] Ahmadiyah. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru pada masa itu. Oleh karena itu iapun diberikan penghargaan sebagai salah satu [[Pahlawan Ampera]].
Di Era 70-an, melalui Rabithah Alam al Islami semakin menjadi-jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, hingga [[MUI]] memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah.
Sebagai akibatnya, Banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa yang dipimpin oleh ulama. Selain itu, banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik.
Periode 90-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya [[Moslem Television Ahmadiyya]] (MTA).