Budaya Minangkabau: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Naval Scene (bicara | kontrib) +{{refimprove}} |
|||
Baris 65:
Tergadainya harta pusaka tinggi karena empat hal:
Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat.
Jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan.
Jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga tidak layak huni.
Jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan Penghulu (Datuk) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.
=== Kontroversi
Menurut hukum Islam, harta
Ulama Minangkabau yang paling keras menentang pengaturan harta pusaka tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam adalah [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]] di [[Mekkah]], [[Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari]] di [[Perak, Malaysia]], dan [[Agus Salim]].<ref name="HAMKA_p23">{{cite book | last =Hamka | first = | authorlink = | coauthors = | title =Islam dan Adat Minangkabau | publisher =Pustaka Panjimas | date =Agustus 1985 | location =Jakarta | url = | doi = | isbn = | page =23}}</ref> Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam dan khatib [[Masjidil Haram]] Mekah, menyatakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk harta syubhat sehingga haram untuk dimanfaatkan. Beliau konsisten dengan pendapatnya itu dan tidak mau kembali ke ranah Minang.<ref>Hamka (1985), p. 103.</ref> Sikap Abdulkarim Amrullah berbeda dengan ulama-ulama diatas. Beliau mengambil jalan tengah dengan memfatwakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk kategori wakaf, yang boleh dimanfaatkan oleh pihak keluarga namun tidak boleh diperjualbelikan.
|