Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 13:
 
=== Nasionalisme Awal Melayu ===
Nasionalisme Melayu sebagai gerakan politik yang terorganisasikan tidakdan bersatu tidaklah eksiswujud sebelum [[Perang Dunia II]]. Konsep ''ketuanan Melayu'' sangatjuga tidak relevan; dengan kondisi politik saat itu karena warga [[TionghoaCina Malaysia]] dan [[India Malaysia]] yang menduduki hampir setengah jumlah populasi Malaya tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai bangsawarga Malaya.<ref>Ye, Lin-Sheng (2003). ''The Chinese Dilemma'', pp. 26–27. East West Publishing. ISBN 0-9751646-1-9.</ref> Sebuah laporan dari ''British Permanent Under-Secretary of State for the Colonies'' pada awal tahun 1930-an menemukan bahwa jumlah warga non-Melayu yang menganggap Malaya sebagai tanah air mereka sangat kecil.<ref>Hwang, In-Won (2003). ''Personalized Politics: The Malaysian State under Mahathir'', p. 24. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 981-230-185-2.</ref>
 
Walaupun Britania secara ''[[de facto]]'' memerintah Malaya, secara ''[[de jure]]'' warga Melayu dijadikan sebagai pemimpin boneka yang dikontrol oleh Britania. Komisioner Tinggi Britania Sir [[Hugh Clifford]], mendemonstrasikan ideologi Britania yang membenarkan kolonialisme Britania atas Malaya<ref> Kratoska, Paul H., ed. Honorable Intentions: Talk on the British Empire in Southeast Asia Delivered at the Royal Colonial Institute, 1874-1928. Singapore: Oxford University Press,1983 (introduction)</ref> ketika dia menekankan "setiap orang di negara ini [untuk] memperhatikan fakta bahwa ini adalah negara Melayu, dan kami Britania datang kemari atas undangan Yang Mulia Raja-Raja Melayu, dan adalah tugas kamu untuk membantu orang Melayu memerintah negara mereka sendiri."<ref>Keith, Patrick (2005). ''Ousted!'', p. 140. Media Masters. ISBN 981-05-3865-0.</ref> Britania berpura-pura mengadopsi kebijakan "pro-Melayu" agar warga Melayu, seperti yang dikatakan oleh Komisioner Tinggi Sir [[Laurence Guillemard]], dipersiapkan untuk mengambil tempat yang pantas dalam kehidupan administrasi dan komersial di negara ini.<ref>Roff, W.R. (1974). ''The Origins of Malay Nationalism'', pp. 114, 118. Penerbit Universiti Malaya. No ISBN available.</ref> Pada kenyataanyakenyataannya, warga non-elit Melayu tetap termarjinalisasi oleh kebijakan ekonomi dan politik pemerintah kolonial Britania, dan baik kebijakan pendidikan maupun ketenagakerjaan sangat terbatas.<ref>Hirschman, Charles “The Making of Race in Colonial Malaya: Political Economy and Racial Ideology.” Sociological Forum, Vol. 1, No. 2 (Spring, 1986), 330-361.Lee, Edwin. The British as Rulers: Governing Multiracial Singapore, 1867-1914. Singapore: Singapore University Press, National University of Singapore, 1991.Nonini, Donald M. British Colonial Rule and the Resistance of the Malay Peasantry, 1900-1957, New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1992.Rahim, Lily. The Singapore Dilemma: The Political and Educational Marginality of the Malay Community. New York: Oxford University Press, 1998.Hussein Alatas, Syed. The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese From the 16th to 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism. London : Frank Cass, 1977), Ch 12. 116-17 </ref>
 
Komunitas warga non-Melayu yang lahir di tanah Malaya dengan cepat kemudian mulai meminta perwakilan politik. Tahun 1936 komunitas warga India yang lahir di Malaya meminta Komisioner Tinggi Sir [[Shenton Thomas]] memberikan mereka andil dalam jabatan-jabatan administrasi pemerintahan. Thomas menolak permintaan ini, dengan menunjuk bahwa orang India yang lahir di Malaya sebagai "pendatang asing".<ref>Roff, pp. 109–110.</ref> Walaupun Britania menganggap warga TionghoaCina sebagai "angkatan kerja sementara", dengan menunjukkan statistik yang mengindikasikan bahwa kebanyak imigran TionghoaCina pada akhirnya pulang kembali ke tanah asal mereka, para kritikus beralasan bahwa populasi warga TionghoaCina yang lahir di Malaya terus meningkat. Walaupun demikian, Britania tetap berkeras bahwa adalah berbahaya untuk mempertimbangkan warga TionghoaCina memiliki kecenderungan tinggal menetap di Malaya; komunitas India yang lahir di Malaya — meliputi hampir 20% dari populasi warga India, dengan sisanya sebagai pekerja buruh yang bermigrasi dengan alasan yang sama seperti warga TionghoaCina — juga diabaikan.<ref name="roff_110,111">Roff, pp. 110–111.</ref>
 
Britania mengatur kehidupan warga Melayu dengan kehidupan tradisional mereka sebagai petani, membatasi gerakan, ekonomi, dan pendidikan mereka. Kebijakan ini diambil atas dasar pemikiran bahwa pendidikan yang diberikan pada warga Bengal di India telah menimbulkan ketidakpuasan dan pemberontakan.<ref> Thomas Metcalf, “Empire Recentered: India in the Indian Ocean Arena,” in Colonialism and the Modern World: Selected Studies, eds. Gregory Blue, Martin Bunton, and Ralph Crozier (Armonk NY: M.E. Sharpe, 2002), 31.</ref> Britania hanya melibatkan warga Melayu yang berkelas ke dalam pemerintahan. Walaupun warga non-Melayu tidak dimasukkan ke dalam posisi pemerintahan, banyak dari jabatan-jabatan sipil diisi oleh warga non-Melayu, kebanyakan adalah orang India yang sengaja didatangkan untuk mengisi jabatan ini.<ref name="roff_110,111"/> Kebanyakan ahli sejarah mendeskripsikan kebijakan pro-Melayu ini disengajakan hanya untuk mempertahankan kedudukan Britania daripada memperkuat kedudukan warga Melayu; banyak yang mengkarakterisasikan pendekatan Britania ini sebagai taktik [[divide et impera]], menjauhkan suku yang satu dengan lainnya untuk memisahkan elemen masyarakat Malaya dalam harmonitas yang tipis.<ref>Abdullah, Asma & Pedersen, Paul B. (2003). ''Understanding Multicultural Malaysia'', p. 44. Pearson Malaysia. ISBN 983-2639-21-2.</ref><ref>Rashid, Rehman (1993). ''A Malaysian Journey'', p. 28. Self-published. ISBN 983-99819-1-9.</ref>
 
Tahun 1920-an, warga TionghoaCina lokal, yang memiliki kekuatan ekonomi yang signifikan, mulai mendorong pemerintah Britania memberikan mereka andil lebih besar di pemerintahan Malaya.<ref> Swettenham, Frank. British Malaya: An Account of the Origin and Progress of British Influence in Malaya. By Sir Frank Swettenham, K.C. M. G. Late Governor of the Straits Colony. London: John Lane Co., 1900. (pg 232-4). </ref> Banyak warga dari komunitas TionghoaCina, yang telah mencapai 39% dari populasi Malaya, masih terdiri dari pekerja buruh sementara. Walaupun demikian, warga [[TionghoaCina Peranakan]] — yang merupakan warga TionghoaCina yang lahir di Malaya — ingin diberikan posisi dalam pemerintahan dan di anggap sebagai warga Malaya. Salah satu pemimpin warga Tionghoa bertanya, "Siapa bilang bahwa ini adalah negeranegeri Melayu? ... Ketika Kapten [Francis] [[Francis Light|Light]] tiba, apakah dia menemukan orang Melayu, atau kampung Melayu? Kakek moyang kami datang ke sini dan bekerja keras sebagai [[kuli]] — tidak malu menjadi kuli — dan mereka tidak mengirimkan uang mereka kembali ke TiongkokCina. Mereka menikah dan menghabiskan uang mereka di sini, dan dengan begini pemerintah dapat membangun negara ini dari hutan menjadi peradaban. Kami telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari negara ini. Ini adalah negara kami..." Intelek-intelek Melayu yang jengkel keberatan dengan alasan ini, mengemukakan sebuah analogi dengan warga TionghoaCina sebagai tukang batu dan Malaya sebagai rumah. Tukang batu yang telah dibayar, menurut argumentasi mereka, tidak berhak diberikan bagian kepemilikan rumah yang dibangunnya. Karena itu, mereka menolak setiap usaha untuk memberikan warga TionghoaCina kewarganegaraan dan hak-hak politik lainnya.<ref>Roff, pp. 207–210.</ref>
 
TidakSebaliknya pula, tidak semua warga Melayu pula yang lahir daridi Malaya. Sejumlah kelompok etnis lain yang berhubungan dengan etnis Melayu seperti [[suku Jawa]] dan [[Bugis]] telah bermigrasi ke dalam Malaya sepanjang abad 19 dan 20. Kebanyakan dengan cepat berasimilasi ke dalam identitas kebudayaan Melayu.<ref>Abdullah & Pedersen, p. 20.</ref> AkhirnyaPada akhirnya, permohonan warga TionghoaCina Malaya tampaknya memiliki pengaruh yang kuat terhadap Britania. Tahun 1927, Gubernur [[Negeri-Negeri Selat]] mengalamatkan warga TionghoaCina sebagai "penduduk asli Malaya Britania".<ref>[[Hickling, R.H.]] (1991). ''Essays in Malaysian Law'', pp. 51–52. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-385-5.</ref>
 
Sesaat sebelum Perang Dunia II, nasionalisme Melayu mulai menekankan ''ketuanan Melayu''. Dikhawatirkan bahwa kebijakan Britania mulai condong terhadap pembentukan nasionalitas Malaya yang memasukkan warga TionghoaCina dan India. Beberapa warga Melayu kemudian berusaha mempertahankan ''[[status quo]]'' dengan menggunakan Britania sebagai pertahanan terhadap ancaman non-Melayu. Yang lainnya mulai memperjuangkan sebuah negara Melayu yang merdeka dan berdaulat, seperti "[[Negara Indonesia Raya]]".<ref>Roff, pp. 235–236.</ref>
 
=== Uni Malaya ===