Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 37:
Beberapa ahli sejarah beragumentasi bahwa kegagalan Uni Malaya membuat warga Cina sadar akan kebutuhan perwakilan politik mereka. [[Partai Persatuan Cina Malaysia|Partai Persatuan Cina Malaya]] (MCA) — sebuah partai politik komunal yang mengkampanyekan hak-hak politik warga Tionghoa — dibentuk segera sesudah pembentukan Federasi Malaya.<ref>Ye, p. 34.</ref> Yang lainnya mengklaim bahwa faktor utama dibalik keterlibatan warga non-Melayu ke dalam politik Malaya dan tuntuan hak-hak mereka, adalah karena peningkatan jumlah warga non-Melayu yang lahir di Malaya. Laporan yang sama dari ''British Permanent Under-Secretary of State for the Colonies'' mengindikasikan bahwa warga non-Melayu yang lahir di Malaya "tidak pernah melihat tanah nenek moyang mereka dan mereka mengklaim bahwa keturunan-keturunan mereka seharusnya mendapatkan perlakuan yang adil."<ref>Hwang, p. 25.</ref> Presiden pertama MCA adalah [[Tan Cheng Lock]], seorang warga Cina yang lahir di Malaya yang sebelumnya memimpin AMCJA sebelum pembubarannya.
===Menuju kemerdekaan Malaya===
Setelah tujuan awalnya tercapai, UMNO kemudian memosisikan dirinya sebagai partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan Malaya. Pada saat yang sama pula, [[Partai Komunis Malaya]] (MCP) melancarkan pemberontakan bersenjata untuk membentuk pemerintahan komunis di Malaya. Pemberontakan ini mencapai puncaknya pada [[kedaruratan Malaya]] yang terus berlangsung setelah kemerdekaan. Dalam pemerontakan ini, segregasi antar ras sangat jelas terlihat. Pihak yang menentang pihak komunis hampir keseluruhannya adalah kaum Melayu, manakala kaum Cina banyak yang mendominasi kedudukan di partai komunis. Britania kemudian membentuk Komite Hubungan Komunitas (''Jawatankuasa Hubungan antara Kaum'', ''Communities Liaison Committee'') yang terdiri dari politikus-politikus tinggi Malaya dari berbagai komunitas untuk mengalamatkan berbagai isu-isu sensitif, utamanya yang mengangkut isu ras. Beberapa kompromi mengenai sejumlah isu seperti kewarganegaraan, pendidikan, demokrasi, dan supremasi Melayu disetujui. Pada akhirnya , "tawar menawar" antara kaum Melayu dengan kaum non-Melayu dirumuskan. Sebagai ganti kaum Melayu melepaskan ''ketuanan Melayu''nya, warga Melayu akan dibantu untuk mengejar ketertinggalan ekonominya. Salah satu anggota komite ini [[E.E.C. Thuraisingham]] kemudian berkata bahwa, "Saya dan lainnya percaya bahwa Melayu yang terbelakang seharuslah diberikan tawaran yang lebih baik. Kaum Melayu haruslah dibantu untuk mencapai kesetaraan dengan kaum non-Melayu agar dapat mengukuhkan Negara Malaya bersatu yang setara."<ref>Ongkili, pp. 82–84.</ref>
Permasalahan terus bermunculan. Banyak anak muda Cina Malaya yang diwajibkan ikut pelatihan militer untuk mencegah serangan komunis melarikan diri dari Malaya. Kebanyakan warga Cina yang mengikuti wajib militer ini adalah warga didikan Inggris dan bukanlah didikan Cina. Bagi kaum Melayu, hal ini mengindikasikan bahwa kaum Cina tidak memiliki kesetiaan apapun terhadap Malaya dan ini menjustifikasikan ''ketuanan Melayu''. Persepsi ini semakin diperparah oleh dikotomi rasial yang terlihat di antara kaum yang mendukung komunis dengan kaum yang menentangnya.<ref>Ongkili, p. 84.</ref>
Pada awal tahun 1950-an, Onn Ja'afar mengajukan wacana untuk membuka keanggotaan UMNO bagi seluruh warga Malaya dan menggantikan namanya menjadi Organisasi Nasional Malaya Bersatu (''Pertubuhan Kebangsaan Penduduk Tanah Melayu Bersatu''). Wacana ini akan mengikis identitas UMNO sebagai partai yang memperjuangkan ''ketuanan Melayu''. Namun hal ini tidak mendapatkan dukungan anggota dalam partai UMNO sendiri. Onn Ja'afar kemudian mengundurkan diri pada tahun 1951 dan mendirikan [[Partai Kemerdekaan Malaya]] (''Independence of Malaya Parti'', IMP). Ia digantikan oleh [[Tunku Abdul Rahman]] yang bersikeras akan kedaulatan Melayu. Dengan mengungkit kurangnya kesetiaan warga non-Melayu terhadap Malaya, ia menuntut warga non-Melayu untuk mengklarifikasikan kesetiaan mereka terlebih dahulu sebelum diberikan kewarganegaaan, dan selanjutnya dalam bukunya ''Political Awakening'' menyatakan bahwa "Kepada siapapun yang mencintai dan merasa berhutang kesetiaan kepada negara ini, kami akan menyambutnya sebagai penduduk Malaya. Mereka haruslah benar-benar penduduk Malaya, dan mereka akan memiliki hak dan keistimewaan yang sama dengan kaum Melayu."<ref>Putra, Tunku Abdul Rahman (1986). ''Political Awakening'', pp. 30, 31. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-136-4.</ref> Tidak lama setelah itu pada tahun 1952, ia tampaknya mengkontradiksi dirinya sendiri, dengan bersikeras agar kaum Melayu melindungi posisi khusus mereka: "Malaya adalah untuk kaum Melayu dan tidak seharusnya diperintah oleh gabungan berbagai bangsa."<ref name="josey_83-84">Josey, Alex (1980). ''Lee Kuan Yew: The Crucial Years'', pp. 83–84. Times Books International. ISBN 981-204-448-5.</ref>
[[Image:Penang State Map.jpg|thumb|Semasa awal tahun 1950-an, terdapat gerakan separatis [[Cina Peranakan]] di Pinang yang melawan ''ketuanan Melayu''.]]
Semasa periode ini, kaum [[Cina Peranakan]] mulai memperlihatkan ketertarikannya pada politik lokal, utamanya Cina Peranakan [[Pulau Pinang]], di mana terdapat gerakan separatis Cina yang aktif. Dengan lebih berpihak kepada Britania daripada kepada kaum Melayu, kaum Cina Peranakan utamanya tidak senang atas pengalamatan mereka sebagai ''pendatang asing''. Kaum Cina Peranakan ini menghindar dari UMNO dan MCA, percaya bahwa manakala UMNO dan ekstrimis Melayu bertujuan memperluas hak khusus Melayu dan membatasi hak kaum Cina, MCA terlalu "egois" dan tidak dapat dipercayai.<ref>Sopiee, Mohamed Noordin (1976). ''From Malayan Union to Singapore Separation: Political Unification in the Malaysia Region 1945 – 65'', pp. 77 – 78. Penerbit Universiti Malaya. No ISBN available.</ref> Kaum Cina Peranakan khawatir atas penyatuan Negeri-Negeri Selat dengan Malaya dan tidak merasa memiliki kesamaan dalam suatu negara "Malaya untuk Melayu" yang di dalamnya kaum Cina tidak dianggap sebagai [[bumiputera]]. Salah satu pemimpin Cina Peranakan dengan penuh emosi mendeklarasikan, "Saya dapat mengklaim lebih "''anak Pulau Pinang''" daripada 99 persen kaum Melayu yang tinggal di sini sekarang." Dengan penolakan kuat dari pemerintah, gerakan separatis ini pada akhirnya berangsur-angsur hilang.<ref>Sopiee, pp. 61–62, 69.</ref>
Beberapa orang mengajukan bahwa kaum non-Melayu tidak merasa setia kepada Malaya karena mereka tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai ber[[nasionalitas]] Malaya dan lebih terikat dengan latar belakang budaya dan etnis mereka. Untuk melawan hal ini, pada tahun 1952, kewarganegaraan diberikan kepada hampur semua warga non-Melayu yang lahir di Malaya. [[Kewarganegaraan ganda]] dilarang, sehingga memaksa warga non-Melayu untuk memilih di antara tanah nenek moyangnya atau Malaya.<ref>Ongkili, pp. 88–90.</ref> Berlawanan dengan asumsi kaum Melayu, mayoritas kaum non-Melayu memilih untuk menetap dan sehingganya membuktikan kesetiaan mereka kepada Malaya. Kaum-kaum non-Melayu inilah yang menjadi nenek moyang kaum non-Melayu Malaysia sekarang.
Seiring dengan persiapan Malaya untuk memiliki pemerintahan sendiri, Britania memulai "Sistem Keanggotaan" (seperti sistem kabinet). Seperti Komiter Hubungan antar Komunitas, keanggotaan pemerintahan berasal dari berbagai komunitas. Sistem ini dianggap sebagai titik awal model pembagian kekuasaan multirasial di Malaya dan Malaysia setelah kemerdekaan. Pada saat yang sama, Britania juga mulai meletakkan kerangka sistem [[pendidikan]] nasional yang akan menciptakan rasa "kebersamaan sebagai warga Malaya". Proposal ''Barnes Report'' yang diajukan oleh Britania mendapatkan penentangan yang kuat dari komunitas Cina karena "jenuh dengan nasionalisme Melayu" dan memperkuat ketuanan Melayu. Proposal lainnya, ''Fenn-Wu Report'', mendapatkan dukungan kaum Cina, namun tidak mendapat persetujuan kaum Melayu. Pada akhirnya rekomendasi ''Barnes Report'' akan sekolah nasional berbahasa Inggris diimplementasikan pada tahun 1952 ditengah-tengah protes kuat dari kaum Cina yang kecewa terhadap tidak adanya ketentuan mengenai sekolah berbahasa non-Melayu. Pada tahun 1956, sebuah komite yang dikepalai [[Tun Abdul Razak]] mengevaluasi sistem pendidikan ini. Propasal "Razak Report" merekomendasikan bahwa sekolah dasar berbahasa non-Melayu diijinkan untuk dibuka, namun haruslah memiliki kurikulum yang sama dengan sekolah nasional. Sekolah menengah berbahasa non-Melayu tidak akan diijinkan dan hanya sekolah menengah nasional saja yang akan dibiayai pemerintah. Komunitas Cina dengan kuat menetang proposal "Razak Report" ini pula dan melancarkan kampanye melawannya.<ref>Ongkili, pp. 90–91, 107–111.</ref> Walaupun demikian, rekomendasi "Razak Report" ini pada umumnya sangat sukses dan kebanyakan rekomendasinya masih digunakan sampai dengan sekarang.
== Sumber ==
|