Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 66:
===Kemerdekaan dan Konstitusi===
[[Federasi Malaya]] (''Persekutuan Tanah Melayu'') secara resmi merdeka dari [[Imperium Britania]] tahun 1957. [[Konstitusi]] negara baru ini memiliki beberapa ketentuan seperti [[Pasal 153 Konstitusi Malaysia|Pasal 153]] yang menjamin [[suku Melayu|kaum Melayu]] mendapatkan hak-hak istimewa. [[Komisi Reid]] yang menyusun konstitusi ini menyatakan bahwa pasal 153 hanyalah bersifat sementara dan harus ditinjau ulang oleh [[parlemen]] 15 tahun setelah kemerdekaan.<ref>Ooi, Jeff (2005). [http://www.jeffooi.com/archives/2005/08/the_nst_should.php "Social Contract: 'Utusan got the context wrong'"]{{Dead link|date=October 2008}}. Retrieved 11 November 2005.</ref> Konstitusi ini tidak secara eksplisit menyatakannya maupun mengklarifikasi tujuan pasal 153. Konstitusi menyatakan bahwa semua warga Malaya setara di depan hukum tanpa menyebut-nyebut "Kedaulatan Melayu" maupun gagasan-gagasan lain yang berhubungan dengan ketuanan Melayu. Kewarganegaraan ''[[Jus soli]]'' yang memberikan kewarganegaraan kepada siapapun yang lahir dalam Federasi Malaya juga diberikan walaupun tidak secara [[retroaktif]]. Pemberian kewarganegaraan secara ''jus soli'' ini merupakan "pengorbanan" kaum Melayu yang sebelumnya dengan keras berkampanye menentang kewarganegaraan ''jus soli'' dalam Uni Malaya.<ref>Ongkili, p. 113.</ref>
 
Di sisi lain, [[bahasa Melayu]] dan [[Islam]] dijadikan bahasa nasional dan agama resmi negara. Kedudukan Raja-raja Melayu juga tetap dipertahankan. Keputusan ini bertujuan untuk menghargai kaum Melayu sebagai orang Malaya yang sebenarnya, yakni menjadi seorang Malaya adalah sama halnya menjadi seorang Melayu. Di mata banyak orang pula, hal ini memberikan Malaya identitas Melayu.<ref>Milne, R.S. & Mauzy, Diane K. (1999). ''Malaysian Politics under Mahathir'', p. 34. Routledge. ISBN 0-415-17143-1.</ref> Seorang akademiawan mengajukan bahwa "Kaum Melayu memiliki perasaan yang telah mendarah daging bahwa hanya merekalah yang merupakan bumiputera, dan sehingganya mempunyai hak-hak istimewa tertentu atas tanah Malaya." Dan sebenarnya pun pada tahun 1964 Tunku mengatakan "Adalah dimengerti semua orang bahwa negara ini dari namanya, tradisi dan karakternya, adalah Melayu. ... Di negara lain di mana pendatang asing mencoba untuk mendominasi bidang ekonomi dan bidang-bidang lain, pada akhirnya akan mendapatkan oposisi keras dari penduduk asli. Namun ini tidak sama halnya dengan kaum Melayu. Oleh karena itu, sebagai gantinya, pendatang-pendatang asing itu harus menghargai posisi orang Melayu..."<ref name="josey_83-84"/> Diajukan bahwa nasionalitas Malaysia tidak muncul karena "semua simbol-simbol nasional Malaysia diturunkan dari tradisi Melayu".<ref>Hwang, p. 49.</ref>
 
Pembatasan konstitusional atas jumlah konstituensi Parlemen dari pedesaan kemudian dicabut dan dianggap sebagai "penopang tak langsung" hak khusus Melayu. Hal ini disebabkan karena kaum Melayu kebanyakan berpusat di daerah pedesaan dan secara tidak langsung meningkatkan kekuasaan politik kaum Melayu. Konstitusi awal negara secara implisit mengikuti sistem "satu orang, satu suara". Perubahan pada konstituensi ini dikecam karena "memberikan satu orang satu suara, yang lainnya banyak suara: tidak didasarkan pada kemampuan intelektual tetapi hanya bertujuan untuk menjamin dominasi kelompok-kelompok tertentu."<ref>Hickling, pp. 69, 166, 229.</ref>
 
Ketentuan-ketentuan konstitusional yang dirujuk sebagai "[[Agenda Melayu]]", mendapatkan sedikit sentimen dari kaum non-Melayu, walaupun kebanyakan dari mereka mendapatkan kewarganegaraan dan secara teoritis sejajar dengan warga Melayu di bawah konstitusi. Hal ini dapat disebabkan oleh penerimaan kontrak sosial yang salah seorang sejarahwan menulis: "Pada tingkat elit, kaum non-Melayu mengakui bahwa kaum Melayu secara politik superior karena status penduduk asli mereka dan bahwa susunan pemerintahan Malaysia memiliki karakter Melayu ... Kaum Melayu dijamin menjadi mayoritas baik dalam parlemen negara bagian maupun parlemen federal ... Kaum Melayu mengontrol posisi yang tertinggi dalam pemerintahan dan ... mendominasi anggota kabinet federal." Seorang sejarahwan Melayu menulis bahwa "Sebagai gantinya, kaum Cina mendapatkan melebihi apa yang kaum Cina [[Asia Tenggara]] lainnya mimpikan &mdash; kewarganegaraan yang setara, partisipasi politik dan jabatan, kesempatan ekonomi yang tidak dihalang-halangi, dan toleransi kepada bahasa, agama, dan institusi kebudayaan mereka."<ref>Hwang, p. 67.</ref>
 
Beberapa pihak mengekspresikan kekhawatirannya kepada pasal 153. Sesaat sebelum kemerdekaan, ''[[China Press]]'' mensugestikan bahwa manakala hak-hak khusus "dapat dimengerti pada awal pembangunan negara," jika "periode 'hak-hak khusus' tidak dibatasi, ataupun ruang lingkupnya tidak ditentukan secara jelas, maka persengketaan yang tak habis-habisnya ... akan bermunculan di hari-hari mendatang," dan berargumen bahwa hak-hak khusus pada akhirnya akan memisah-misahkan warga Malaya daripada menyatukannya.<ref>Hickling, p. 179.</ref>
 
== Sumber ==