Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: perubahan kosmetika |
|||
Baris 8:
==Asal usul "Ketuanan Melayu"==
Menurut banyak sejarawan, akar utama perselisihan antar etnis dan ketuanan Melayu adalah kurangnya hubungan antara kaum Melayu dengan kaum non-Melayu. Karena banyak imigran yang didatangkan sebagai "pekerja pendatang" oleh Britania, para imigran ini merasa tidak perlu untuk berintegrasi dengan masyarakat Melayu dan bahkan tidak banyak yang mau belajar bahasa Melayu. Pengecualian terdapat pada kaum Cina Peranakan yang telah berasimilasi dengan baik selama 600 tahun. Menurut [[Ming Shi-lu]], nenek moyang Cina Peranakan adalah "hadiah" yang diberikan kepada Sultan Melaka sebagai tanda pengakuan hubungan bilateral antara [[Dinasti Ming]] dengan [[Kesultanan Melaka]]. Pada saat pemerintahan Britania, kebanyakan Cina Peranakan adalah saudagar-saudagar yang kaya dan dalam kesehariannya berbahasa Melayu, berbusana Melayu, dan berkuliner Melayu.<ref>Hwang, pp.
Kebijakan kependidikan Britania kemudian mensegregasi kaum-kaum yang satu dengan yang lain. Britania memberikan pendidikan yang minim bagi kaum Melayu, sedangkan kaum non-Melayu dibiarkan sendiri. Kaum Melayu yang umumnya tinggal di pedesaan tidak dianjurkan bersosialisasi dengan kaum non-Melayu perkotaan.<ref>Hwang, pp.
Faktor lain yang mencuatkan ketuanan Melayu adalah pendudukan Jepang di Malaya semasa Perang Dunia II. Perang Dunia ini "membangkitkan kesadaran politik di antara warga Malaya dengan mengintensifkan komunalisme dan kebencian rasial". Kebijakan Jepang atas "politisasi kaum petani Melayu" secara sengaja membakar nasionalisme Melayu. Dua sejarahwan Melayu menulis bahwa "Perlakukan tidak ramah yang diberikan Jepang kepada kaum Cina dan perlakuan sebaliknya yang diberikan kepada kaum Melayu membantu kaum Cina merasakan identitasnya yang terkucil secara lebih tajam..." Salah satu komentator asing juga menyatakan "Semasa periode pendudukan ... sentimen nasional Melayu telah menjadi kenyataan; sentimen ini sangatlah anti-Cina dan dalam unjuk rasa diserukan 'Malaya untuk orang Melayu'..."<ref>Hwang, pp.
== Pra-Kemerdekaan ==
Baris 35:
=== Uni Malaya ===
Setelah Perang Dunia II, Britania mengumumkan pembentukan [[Uni Malaya]] yang akan melonggarkan kebijakan-kebijakan imigrasi, mengurangi kedaulatan raja-raja Melayu, dan tidak mengakui adanya supremasi Melayu serta membentuk Malaya sebagai protektorat Britania Raya. Sebagai penduduk yang lahir di Malaya, kebanyakan warga Cina Malaya dan India Malaya memenuhi syarat mendapatkan kewarganegaraan di bawah prinsip ''[[jus soli]]''. Dengan jaminan hak-hak yang sama kepada semua orang, warga Melayu khawatir bahwa kekuatan kecil yang disisakan akan kemudian diambil juga.<ref>Hwang, p. 37.</ref><ref>Ongkili, James P. (1985). ''Nation-building in Malaysia 1946–1974'', p. 42. Oxford University Press. ISBN 0-19-582681-7.</ref> Dan sejak awal pula, kaum Melayu tidak menganggap mereka sendiri sebagai bagian dari label "warga Malaya".<ref name="ongkili_59-66">Ongkili, pp.
Untuk pertama kalinya, warga Melayu menjadi sadar secara politik dan memprotes pembentukan Uni Malaya. Pada satu perkumpulan terdapat sebuah plakat yang bertuliskan "Malaya adalah milik Melayu. Kami tidak ingin bangsa lain diberikan hak dan keistimewaan yang sama dengan bangsa Melayu."<ref>Ongkili, p. 47.</ref> Satu organisasi Melayu memberitahukan kepada Britania bahwa ketetapan kewarganegaraan ini akan membawa pada kepunahan etnis Melayu beserta tanah dan raja mereka."<ref>Ongkili, p. 50.</ref> Sekelompok royalis Melayu dan pejabat sipil yang dipimpin oleh Dato' [[Onn Ja'afar]] membentuk [[Organisasi Nasional Melayu Bersatu]] (UMNO) untuk memprotes pembentukan [[Uni Malaya]]<ref>Hwang, p. 38.</ref> Walaupun Uni Malaya dibentuk sesuai dengan rencana, kampanye memprotes pembentukan tersebut terus berlanjut; tahun 1948, Britania menggantikan Uni Malaya dengan [[Federasi Malaya]]. Federasi ini mengembalikan kedaulatan raja-raja Melayu, memperketat pembatasan imigrasi dan kewarganegaraan, dan memberikan warga Melayu hak-hak istimewa.<ref>Hwang, p. 39.</ref> Walaupun demikian, tujuan semula Britania tetap sama: memperkenalkan "sebuah bentuk kewarganegaraan umum yang terbuka untuk semua orang, tanpa memandang etnis, yang menganggap Malaya sebagai rumah mereka dan objek kesetiaan mereka."<ref>Hickling, p. 87.</ref>
Baris 46:
===Menuju kemerdekaan Malaya===
Setelah tujuan awalnya tercapai, UMNO kemudian memosisikan dirinya sebagai partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan Malaya. Pada saat yang sama pula, [[Partai Komunis Malaya]] (MCP) melancarkan pemberontakan bersenjata untuk membentuk pemerintahan komunis di Malaya. Pemberontakan ini mencapai puncaknya pada [[kedaruratan Malaya]] yang terus berlangsung setelah kemerdekaan. Dalam pemerontakan ini, segregasi antar ras sangat jelas terlihat. Pihak yang menentang pihak komunis hampir keseluruhannya adalah kaum Melayu, manakala kaum Cina banyak yang mendominasi kedudukan di partai komunis. Britania kemudian membentuk Komite Hubungan Komunitas (''Jawatankuasa Hubungan antara Kaum'', ''Communities Liaison Committee'') yang terdiri dari politikus-politikus tinggi Malaya dari berbagai komunitas untuk mengalamatkan berbagai isu-isu sensitif, utamanya yang mengangkut isu ras. Beberapa kompromi mengenai sejumlah isu seperti kewarganegaraan, pendidikan, demokrasi, dan supremasi Melayu disetujui. Pada akhirnya , "tawar menawar" antara kaum Melayu dengan kaum non-Melayu dirumuskan. Sebagai ganti kaum Melayu melepaskan ketuanan Melayunya, warga Melayu akan dibantu untuk mengejar ketertinggalan ekonominya. Salah satu anggota komite ini [[E.E.C. Thuraisingham]] kemudian berkata bahwa, "Saya dan lainnya percaya bahwa Melayu yang terbelakang seharuslah diberikan tawaran yang lebih baik. Kaum Melayu haruslah dibantu untuk mencapai kesetaraan dengan kaum non-Melayu agar dapat mengukuhkan Negara Malaya bersatu yang setara."<ref>Ongkili, pp.
Permasalahan terus bermunculan. Banyak anak muda Cina Malaya yang diwajibkan ikut pelatihan militer untuk mencegah serangan komunis melarikan diri dari Malaya. Kebanyakan warga Cina yang mengikuti wajib militer ini adalah warga didikan Inggris dan bukanlah didikan Cina. Bagi kaum Melayu, hal ini mengindikasikan bahwa kaum Cina tidak memiliki kesetiaan apapun terhadap Malaya dan ini menjustifikasikan ketuanan Melayu. Persepsi ini semakin diperparah oleh dikotomi rasial yang terlihat di antara kaum yang mendukung komunis dengan kaum yang menentangnya.<ref>Ongkili, p. 84.</ref>
Pada awal tahun 1950-an, Onn Ja'afar mengajukan wacana untuk membuka keanggotaan UMNO bagi seluruh warga Malaya dan menggantikan namanya menjadi Organisasi Nasional Malaya Bersatu (''Pertubuhan Kebangsaan Penduduk Tanah Melayu Bersatu''). Wacana ini akan mengikis identitas UMNO sebagai partai yang memperjuangkan ketuanan Melayu. Namun hal ini tidak mendapatkan dukungan anggota dalam partai UMNO sendiri. Onn Ja'afar kemudian mengundurkan diri pada tahun 1951 dan mendirikan [[Partai Kemerdekaan Malaya]] (''Independence of Malaya Party'', IMP). Ia digantikan oleh [[Tunku Abdul Rahman]] yang bersikeras akan kedaulatan Melayu. Dengan mengungkit kurangnya kesetiaan warga non-Melayu terhadap Malaya, ia menuntut warga non-Melayu untuk mengklarifikasikan kesetiaan mereka terlebih dahulu sebelum diberikan kewarganegaaan, dan selanjutnya dalam bukunya ''Political Awakening'' menyatakan bahwa "Kepada siapapun yang mencintai dan merasa berhutang kesetiaan kepada negara ini, kami akan menyambutnya sebagai penduduk Malaya. Mereka haruslah benar-benar penduduk Malaya, dan mereka akan memiliki hak dan keistimewaan yang sama dengan kaum Melayu."<ref>Putra, Tunku Abdul Rahman (1986). ''Political Awakening'', pp. 30, 31. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-136-4.</ref> Tidak lama setelah itu pada tahun 1952, ia tampaknya mengkontradiksi dirinya sendiri, dengan bersikeras agar kaum Melayu melindungi posisi khusus mereka: "Malaya adalah untuk kaum Melayu dan tidak seharusnya diperintah oleh gabungan berbagai bangsa."<ref name="josey_83-84">Josey, Alex (1980). ''Lee Kuan Yew: The Crucial Years'', pp.
[[
Semasa periode ini, kaum [[Cina Peranakan]] mulai memperlihatkan ketertarikannya pada politik lokal, utamanya Cina Peranakan [[Pulau Pinang]], di mana terdapat gerakan separatis Cina yang aktif. Dengan lebih berpihak kepada Britania daripada kepada kaum Melayu, kaum Cina Peranakan utamanya tidak senang atas pengalamatan mereka sebagai ''pendatang asing''. Kaum Cina Peranakan ini menghindar dari UMNO dan MCA, percaya bahwa manakala UMNO dan ekstrimis Melayu bertujuan memperluas hak khusus Melayu dan membatasi hak kaum Cina, MCA terlalu "egois" dan tidak dapat dipercayai.<ref>Sopiee, Mohamed Noordin (1976). ''From Malayan Union to Singapore Separation: Political Unification in the Malaysia Region 1945 – 65'', pp. 77
Beberapa orang mengajukan bahwa kaum non-Melayu tidak merasa setia kepada Malaya karena mereka tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai ber[[nasionalitas]] Malaya dan lebih terikat dengan latar belakang budaya dan etnis mereka. Untuk melawan hal ini, pada tahun 1952, kewarganegaraan diberikan kepada hampur semua warga non-Melayu yang lahir di Malaya. [[Kewarganegaraan ganda]] dilarang, sehingga memaksa warga non-Melayu untuk memilih di antara tanah nenek moyangnya atau Malaya.<ref>Ongkili, pp.
Seiring dengan persiapan Malaya untuk memiliki pemerintahan sendiri, Britania memulai "Sistem Keanggotaan" (seperti sistem kabinet). Seperti Komiter Hubungan antar Komunitas, keanggotaan pemerintahan berasal dari berbagai komunitas. Sistem ini dianggap sebagai titik awal model pembagian kekuasaan multirasial di Malaya dan Malaysia setelah kemerdekaan. Pada saat yang sama, Britania juga mulai meletakkan kerangka sistem [[pendidikan]] nasional yang akan menciptakan rasa "kebersamaan sebagai warga Malaya". Proposal ''Barnes Report'' yang diajukan oleh Britania mendapatkan penentangan yang kuat dari komunitas Cina karena "jenuh dengan nasionalisme Melayu" dan memperkuat ketuanan Melayu. Proposal lainnya, ''Fenn-Wu Report'', mendapatkan dukungan kaum Cina, namun tidak mendapat persetujuan kaum Melayu. Pada akhirnya rekomendasi ''Barnes Report'' akan sekolah nasional berbahasa Inggris diimplementasikan pada tahun 1952 ditengah-tengah protes kuat dari kaum Cina yang kecewa terhadap tidak adanya ketentuan mengenai sekolah berbahasa non-Melayu. Pada tahun 1956, sebuah komite yang dikepalai [[Tun Abdul Razak]] mengevaluasi sistem pendidikan ini. Propasal "Razak Report" merekomendasikan bahwa sekolah dasar berbahasa non-Melayu diijinkan untuk dibuka, namun haruslah memiliki kurikulum yang sama dengan sekolah nasional. Sekolah menengah berbahasa non-Melayu tidak akan diijinkan dan hanya sekolah menengah nasional saja yang akan dibiayai pemerintah. Komunitas Cina dengan kuat menetang proposal "Razak Report" ini pula dan melancarkan kampanye melawannya.<ref>Ongkili, pp.
===Partai Perikatan===
Walaupun UMNO mendukung ketuanan Melayu, ia membentuk aliansi (''perikatan'') dengan MCA dan [[Kongres India Malaysia|Kongres India Malaya]] (MIC) dalam pemilihan Dewan Legislatif Federal tahun 1955 yang disebut sebagai "[[Partai Perikatan|Parti Perikatan]]" (Partai Aliansi). Aliansi ini mengejutkan banyak pihak karena MCA sebelumnya dengan keras menuntuk hak politik yang setara bagi seluruh warga negara. Presiden MCA, [[Tan Cheng Lock]], sendirinya juga merupakan Cina Peranakan. Walaupun pada awalnya aliansi ini dianggap sebagai aliansi yang didasarkan pada keuntungan sesaat, aliansi ini memenangkan 51 dari 52 kursi yang diperebutkan. Sisa satu kursinya dimenangkan oleh [[Partai Islam Se-Malaysia|Partai Islam Se-Malaya]] (PAS), yang merupakan partai Melayu yang mengadvokasikan ketuanan Melayu. Kekalahan partai-partai non-komunal lainnya memberikan persepsi bahwa atmosfer politik Malaya tidak cocok dengan partai-partai multi rasial. Koalisi pemerintahan yang terdiri dari partai-partai monorasial dianggap lebih stabil dan cocok dengan politik Malaya.<ref>Keith, pp.
==Kemerdekaan Malaya dan pembentukan Malaysia==
Baris 71:
Pembatasan konstitusional atas jumlah konstituensi Parlemen dari pedesaan kemudian dicabut dan dianggap sebagai "penopang tak langsung" hak khusus Melayu. Hal ini disebabkan karena kaum Melayu kebanyakan berpusat di daerah pedesaan dan secara tidak langsung meningkatkan kekuasaan politik kaum Melayu. Konstitusi awal negara secara implisit mengikuti sistem "satu orang, satu suara". Perubahan pada konstituensi ini dikecam karena "memberikan satu orang satu suara, yang lainnya banyak suara: tidak didasarkan pada kemampuan intelektual tetapi hanya bertujuan untuk menjamin dominasi kelompok-kelompok tertentu."<ref>Hickling, pp. 69, 166, 229.</ref>
Ketentuan-ketentuan konstitusional yang dirujuk sebagai "[[Agenda Melayu]]", mendapatkan sedikit sentimen dari kaum non-Melayu, walaupun kebanyakan dari mereka mendapatkan kewarganegaraan dan secara teoritis sejajar dengan warga Melayu di bawah konstitusi. Hal ini dapat disebabkan oleh penerimaan kontrak sosial yang salah seorang sejarahwan menulis: "Pada tingkat elit, kaum non-Melayu mengakui bahwa kaum Melayu secara politik superior karena status penduduk asli mereka dan bahwa susunan pemerintahan Malaysia memiliki karakter Melayu ... Kaum Melayu dijamin menjadi mayoritas baik dalam parlemen negara bagian maupun parlemen federal ... Kaum Melayu mengontrol posisi yang tertinggi dalam pemerintahan dan ... mendominasi anggota kabinet federal." Seorang sejarahwan Melayu menulis bahwa "Sebagai gantinya, kaum Cina mendapatkan melebihi apa yang kaum Cina [[Asia Tenggara]] lainnya mimpikan
Beberapa pihak mengekspresikan kekhawatirannya kepada pasal 153. Sesaat sebelum kemerdekaan, ''[[China Press]]'' mensugestikan bahwa manakala hak-hak khusus "dapat dimengerti pada awal pembangunan negara," jika "periode 'hak-hak khusus' tidak dibatasi, ataupun ruang lingkupnya tidak ditentukan secara jelas, maka persengketaan yang tak habis-habisnya ... akan bermunculan di hari-hari mendatang," dan berargumen bahwa hak-hak khusus pada akhirnya akan memisah-misahkan warga Malaya daripada menyatukannya.<ref>Hickling, p. 179.</ref>
Baris 84:
==="Malaysian Malaysia!" (''Malaysia-nya orang Malaysia'')===
{{main|Malaysian Malaysia}}
Dalam Pemilihan Umum Singapura tahun 1963, aliansi UMNO menantang pemerintahan [[Partai Aksi Rakyat]] (PAP) melalui [[Partai Aliansi Singapura]]. Politikus-politikus UMNO secara aktif berkampanye di Singapura mendukung Aliansi Singapura, melontarkan pendapat bahwa kaum Melayu Singapura diperlakukan sebagai warga negara kelas dua oleh pemerintah PAP yang multirasial. Walaupun demikian, semua kandidat Melayu yang didukung oleh UMNO kalah dalam pemilu ini. Politikus-politikus PAP, yang melihat hal ini sebagai pelanggaran perjanjian oleh aliansi UMNO untuk tidak mengikuti pemilu di Singapura, memutuskan untuk sebaliknya mengikuti pemilihan umum di Malaya dalam Pemilihan Umum Malaysia tahun 1964. Walaupun PAP menarik banyak orang dalam pawai politiknya, partai ini hanya memenangi satu suara. Beberapa sejarahwan menganggap bahwa permintaan Presiden MCA yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan kepada kaum Cina untuk tidak menantang hak khusus Melayu agar Malaysia tidak beresiko bergabung dengan Indonesia membantu MCA mengamankan statusnya sebagai "pemimpin kaum Cina di semenanjung Malaya".<ref>Keith, p. 149.</ref> Akibat keikutsertaan PAP dalam pemilu Malaysia, pemimpin-pemimpin UMNO sangat marah kepada PAP.<ref>Goh, Cheng Teik (1994). ''Malaysia: Beyond Communal Politics'', pp.
[[
Permasalahan-permasalahan baru terus bermunculan. [[Lee Kuan Yew]], pemimpin pemerintahan Singapura dan PAP, mendeklarasikan penolakannya atas ketuanan Melayu, dan sebaliknya menyerukan "[[Malaysian Malaysia]]" (''Malaysia-nya orang Malaysia'').<ref name="iseas"/> Ia berargumen bahwa "bangsa Melayu mulai bermigrasi ke Malaysia dalam jumlah besar hanya sekitar 700 tahun yang lalu. Dari 39% kaum Melayu di Malaysia, sepertiganya adalah imigran baru yang datang ke Malaya dari [[Indonesia]]. Oleh karena itu adalah salah dan tidak logis bagi kelompok rasial tertentu untuk berpikir bahwa merekalah yang paling dibenarkan disebut sebagai bangsa Malaysia dan yang lainnya hanyalah menjadi warga Malaysia melalui belas kasihan mereka."<ref>Ye, p. 143.</ref>
Lee kemudian berkeluh: "Malaysia
Pernyataan-pernyataan Lee mengundang kemarahan banyak pihak, utamanya politikus-politikus Perikatan. Tan Siew Sin menyebut Lee "Kekuatan perusak terbesar dalam seluruh sejarah Malaysia dan Malaya."<ref>[http://ourstory.asia1.com.sg/merger/headline/mimposib.html "'Impossible to co-operate with Singapore while Lee is Premier'"]. (2 June 1965). ''[[Straits Times]]''.</ref> Tunku Abdul Rahman menganggap Lee terlalu ekstrimis dalam pandangannya, manakala politikus-politikus UMNO berpendapat bahwa Lee hanyalah berusaha menarik dukungan kaum Cina Malaysia dengan retorikanya.<ref>Khaw, Ambrose (1998). [http://ourstory.asia1.com.sg/merger/lifeline/akimpos.html "This man is making too much noise"]. Retrieved 11 November 2005.</ref> Pernyataan Lee mengenai migrasi Melayu mendapatkan bantahan keras. Albar menyerukan: "Mengatakan bahwa orang Melayu berada dalam kategori yang sama dengan ras lain adalah sebuah hinaan..." Surat kabar UMNO ''Malaya Merdeka'' memperingatkan: "Jika kaum Melayu ditekan dengan keras dan kepentingannya tidak dilindungi," kaum Melayu akan menggabungkan Malaysia dengan [[Indonesia]].<ref>Keith, p. 124.</ref> Adalah hal ini yang Tunku Abdul Rahman takuti. Baginya, golongan ultra bukanlah ekstremis sebenarnya. Adalah orang-orang yang menginginkan terbentuknya "Indonesia Raya" untuk menekan populasi Cinalah yang dia anggap sebagai ancaman utama.<ref>Keith, pp.
Hubungan antar kaum yang buruk berakhir pada [[Kerusuhan rasial 1964 Singapura]],<ref name="spark"/> yang secara tidak langsung oleh politikus Melayu PAP [[Othman Wok]] tuduh telah direncanakan oleh kelompok Ultra.<ref>Veloo, Ravi (Jan. 25, 1997). [http://ourstory.asia1.com.sg/independence/ref/race.html "Othman Wok on race relations"]. ''Straits Times''.</ref> Ketegangan antar kaum terus bertambah tahun-tahun setelah kerusuhan itu. Deklarasi Syed Jaafar Albar "Di mana pun saya berada, saya adalah seorang Melayu" mendapatkan tanggapan keras dari Lee Kuan Yew yang menyatakan dalam Parlemen: "Jika saya telah berpindah dan mengatakan apa yang [dia] telah katakan (''Di mana pun saya berada, saya adalah seorang Cina''), di manakah kita ini? Tetapi saya terus mengingatkan orang-orang bahwa saya adalah seorang Malaysia. Saya belajar "Bahasa Kebangsaan" (''Bahasa Melayu'') dan saya menerima Pasal 153 Konstitusi."<ref>Keith, p. 128.</ref>
Lee bersikeras bahwa dia tidak menolak hak-hak khusus Melayu ataupun Pasal 153, berkata: "jika komunitas imigran ... tidak melihat permasalahannya, jika mereka tidak bisa merasa seperti apa menjadi seorang Melayu yang miskin, dan tidak merasakannya untuk orang Melayu, maka saya dapat mengatakan dengan segera dia (''orang Melayu'') akan mewujudkan ketidakpuasannya dengan kepastian dan seluruh negeri akan jatuh ke dalam kekacauan."<ref>Lee, Kuan Yew (1998). ''The Singapore Story'', p. 598. Marshall Cavendish Editions. ISBN 981-204-983-5.</ref> Beberapa anggota Perikatan tidak menerima klaim ini dengan serius. Politikus-politikus UMNO bersikeras bahwa konsep "Malaysian Malaysia" menyiratkan kesetaraaan total, menghilangkan hak-hak istimewa Melayu.<ref>Keith, pp.
Beberapa politikus Melayu memiliki pandangan yang berbeda dari mayoritas UMNO. [[Ismail Abdul Rahman]] memberitahukan parlemen bahwa "... baik Perikatan dan PAP menjunjung konsep ''Malaysian Malaysia''," namun hanya berbeda dalam metode penerapannya saja. Ismail mengkarakterisasikan pendekatan PAP sebagai "jalan lurus non-komunalisme" sedangkan Perikatan memerlukan "dua langkah. Pertama, keharmonisan antar ras; kedua, keadaan non-komunalisme." Pernyataan ini ditolak Lee sebagai "''lip service''" yang tidak dapat dianggap serius kecuali segala tindak tanduk golongan Ultra dikontrol dan dihentikan.<ref>Ongkili, p. 211.</ref><ref>Josey, pp.
=== Pendepakan Singapura dari Malaysia ===
Lee Kuan Yew terus melancarkan kampanyenya, membentuk [[Dewan Solidaritas Malaysia]] (''Malaysian Solidarity Council'', MSC) yang terdiri dari partai-partai multirasial seperti PAP, [[Partai Progresif Rakyat (Malaysia)|Partai Progresif rakyat]] (''People's Progressive Party'', PPP) dan [[Partai Demokrasi Bersatu]] (''United Democratic Party'', UDP) pada tahun 1965. Pada pertemuan umum pertama dan terakhir MSC, beberapa pemimpin partai-partai ini menyampaikan pidato mereka yang mendukung konsep ''Malaysian Malaysi''. [[D.R. Seenivasagam]] dari PPP menuduh Perikatan menggunakan Pasal 153 Konstitusi untuk "mengintimidasi non-Melayu", manakala [[Ong Kee Hui]] dari [[Partai Rakyat Sarawak Bersatu]] (''Sarawak United People's Party'', SUPP) mengatakan bahwa "Kami dapat melihat perilaku intoleransi dan memuncaknya tanda-tanda penolakan atas kesetaraan politik kepada orang-orang non-Melayu. Demi negara kita dan kita sendiri, hal ini harus dihentikan dan kejatuhan ke dalam rasialisme sempit harus diawasi. Kesetaraan politik haruslah diberikan kepada siapapun yang tinggal di sini dan menjadikan negara ini tanah air mereka, tanpa peduli asal usul rasial mereka."<ref>Lee, pp.
Setelahnya, anggota parlemen dari UMNO [[Mahathir bin Mohamad]] menyerang Lee dalam parlemen: "[Orang Cina Singapura] tidak pernah mengetahui kekuasaan Melayu dan tidak dapat menerima gagasan bahwa orang-orang yang telah mereka tundukkan (''orang Melayu'') sekarang berada dalam posisi memerintah mereka."<ref>Keith, pp.
Pada akhirnya, Tunku Abdul Rahman, merasa muak dengan semua permainan politik dan diyakinkan bahwa percekcokan retorika lebih jauh lagi akan berakhir pada kekerasan, meminta Singapura untuk memisahkan diri dari Malaysia. Singapura menjadi negara merdeka pada tahun 1965 dengan Lee Kuan Yew sebagai [[Perdana Menteri]] pertamanya.<ref>Ooi, Jeff (2005). [http://www.jeffooi.com/archives/2005/11/i_went_into_act.php "Perils of the sitting duck"]{{Dead link|url=http://www.jeffooi.com/archives/2005/11/i_went_into_act.php|date=October 2008}}. Retrieved 11 November 2005.</ref>
Baris 109:
==Insiden 13 Mei dan Kebijakan Ekonomi Baru==
===Permasalahan bahasa===
Konstitusi secara spesifik menentukan bahwa penggantian bahasa nasional dari bahasa Inggris menjadi bahasa Melayu ditunda selama 10 tahun. Seiring dengan semakin dekatnya tenggat waktu 10 tahun itu pada tahun 1967, beberapa kaum Cina mulai gelisah dan menuntut kebijakan bahasa yang lebih liberal dan mengijinkan penggunaan [[bahasa Mandarin]] dalam acara-acara publik tertentu. Ekstrimis dari UMNO dan PAS bereaksi keras atas tuntutan itu, namun Perikatan memberikan kompromi dalam Undang-Undang Bahasa Nasional yang mengukuhkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, namun mengijinkan penggunaan Bahasa Inggris dalam kondisi tertentu dan penggunaan bahasa non-Melayu dalam kegiatan tak resmi. Tunku Abdul Rahman menyebutnya sebagai "arah yang menjamin kedamaian",<ref>Hwang, pp.
===Insiden 13 Mei===
Baris 115:
Pada tahun 1969, Pemilihan Umum Malaysia diadakan. Pemilihan umum ini adalah pemilihan pertama yang diikuti oleh partai-partai oposisi non-Melayu secara besar-besaran, selain pada pemilihan tahun 1964 yang diikuti PAP dari Singapura. Dua partai oposisi utama adalah [[Partai Aksi Demokratik]] (''Democratic Action Party'', DAP) yang merupakan lanjutan dari partai PAP dan [[Partai Gerakan Rakyat Malaysia]] (Gerakan) yang merupakan partai multirasial pimpinan [[Lim Chong Eu]], dan intelektual kelas menengah lainnya seperti [[Tan Chee Khoon]] dan [[Syed Hussein Alatas]]. Kedua partai tersebut mengajukan proposal kebijakan mengenai bahasa, pendidikan, dan hak-hak Melayu yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah. DAP terus berkampanye "Malaysian Malaysia" setelah Singapura pimpinan Lee Kuan Yew memisahkan dari Malaysia. Beberapa politkus dari DAP utamanya menyerukan pengangkatan [[bahasa Inggris]], [[bahasa Mandarin]], dan [[bahasa Tamil]] sebagai bahasa nasional bersama-sama dengan bahasa Melayu. Dukungan pemerintah yang lebih kuat terhadap pendidikan kaum Cina juga dituntut.<ref>Hwang, p. 74, 89.</ref>
[[
PAS, dipihak lainnya, mencoba menarik suara dengan menuduh UMNO menjual hak-hak orang asli Melayu kepada ''pendatang asing''. Ketika hasil pemilihan umum diumumkan, PAS berhasil mendapatkan kemenangan kecil, namun DAP dan Gerakan lebih sukses dan menggantikan pemerintahan Perikatan di tiga negara bagian. Ini juga hampir menjatuhkan mayoritas dua per tiga kursi parlemen yang dipegang oleh Perikatan.<ref>Hwang, p. 75.</ref> Kemenangan ini didapatkan dari suara-suara yang sebelumnya mendukung MCA. Setelah pemilu ini, MCA kemudian mengumumkan bahwa ia tidak akan berpartisipasi dalam pemerintahan yang baru. Partai DAP dan Gerakan yang memenangkan beberapa kursi melakukan pawai kemenangan di ibukota [[Kuala Lumpur]] pada 11 Mei dan 12 Mei, di mana banyak partisipan mencela orang Melayu dan meneriakkan slogan-slogan seperti "Semua Melayu kasi habis". Pernyataan permintaan maaf dilayangkan setelah pawai itu. Namun, kaum Melayu yang terkejut menyalahkan kaum Cina karena telah mengkhianati "rumusan Perikatan dengan memberikan suara kepada oposisi yang membangkitkan kembali masalah mendasar seperti hak-hak Melayu dan bahasa nasional".<ref>Hwang, pp.
Para ekstrimis Melayu menyambut baik pengunduran MCA, merasa pemerintahan yang didominasi oleh UMNO dan Melayu akan lebih memajukan kepentingan Melayu.<ref>Khoo, Boo Teik (1995). ''Paradoxes of Mahathirism'', p. 22. Oxford University Press. ISBN 967-65-3094-8.</ref><ref>Maidin, Zainuddin (1994). ''The Other Side of Mahathir'', pp.
Akibat kerusuhan ini, [[Parlemen]] diberhentikan dan kegawatan negara dideklarasikan. [[Dewan Operasi Nasional]] dibentuk untuk menjalankan administrasi negara dalam keadaan genting. Walaupun kerusuhan telah berakhir, ketegangan masih berlanjut. Boikot kaum non-Melayu terhadap barang-barang buatan dan jasa Melayu didukung secara penuh, manakala banyak kaum Melayu seperti [[Mahathir Mohamad]] dan [[Raja Muktaruddin Daim]] menyerukan pemerintahan [[otokrasi]] satu partai di bawah [[UMNO]]. Menurut beberapa sumber, salah satu golongan "ultra" yang terdiri dari [[Syed Nasir Ismail]], [[Musa Hitam]], dan [[Tengku Razaleigh]], merasa bahwa Konstitusi yang membagi kekuasaan kepada tiap kaum telah gagal dan setuju agar negara ini "dikembalikan" kepada orang Melayu. Dicurigai bahwa mereka setuju untuk mengutus Mahathir ke Kuala Lumpur untuk melancarkan kampanye anti-Tunku.<ref>Von Vorys, Karl (1975). ''Democracy without Consensus: Communalism and Political Stability in Malaysia'', p. 317. Princeton University Press. ISBN 0-691-07571-9.</ref>
Mahathir menulis sepucuk [[surat terbuka]] kepada Tunku dan menuduhnya "memberikan orang Cina apa yang mereka tuntut ... anda telah memberikan mereka terlalu banyak muka." Dengan segera, pelajar-pelajar dari perguruan tinggi di seluruh negeri mulai berdemonstrasi, menyerukan pengunduran diri Tunku dan pengangkatan pemimpin yang dapat mengembalikan "kedaulatan Melayu". Kerusuhan sporadis yang dipercayai diprovokasi oleh lawan-lawan Tunku pun mulai terjadi.<ref>Means, pp.
Daripada tunduk terhadap tuntutan pengunduran diri, Tunku Abdul Rahman mengeluarkan Mahathir dan Musa Hitam dari UMNO. Menteri Dalam Negeri [[Ismail Abdul Rahman]] mencurigai bahwa "kaum Ultra ini percaya kepada teori liar dan fantastis mengenai dominansi absolut satu ras terhadap kaum-kaum yang lain tanpa peduli terhadap Konstitusi ... Polarisasi telah terjadi dalam politik Malaysia dan kaum rasialis ekstrim yang ada di antara anggota partai pemerintah mulai melakukan upaya menjatuhkan kepemimpinan sekarang."<ref>Means, p. 10.</ref>
Baris 138:
{{reflist}}
</div>
{{Link FA|en}}▼
[[Kategori:Hukum di Malaysia]]
▲{{Link FA|en}}
[[ceb:Ketuanan Melayu]]
|