Macapat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{inuse|17 Mei 2010}}
'''Macapat''' adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut ''gatra'', dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (''guru wilangan'') tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut ''guru lagu''.<ref>Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan</ref> Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan [[Bali]]<ref>Hinzler (1994:v-vi)</ref>, [[Lombok|Sasak]]<ref name="meij170>{{Harvnb|Van der Meij|2002|p=170}}</ref>, [[Madura]]<ref>Sudjarwadi et al (1980)</ref>, dan [[Sunda]]. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang<ref>Drewes (1977:198-217)</ref> dan Banjarmasin.<ref>Koroh et al. (1977:27-29) dikutip dari Arps (1992:7)</ref> Biasanya macapat diartikan sebagai ''maca papat-papat'' (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata.<ref name="arps62">{{Harvnb|Arps|1992|p=62}}</ref> Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula.<ref name="arps62"/> Macapat diperkirakan muncul pada akhir [[Majapahit]] dan dimulainya pengaruh [[Walisanga]] di Jawa. Tetapi perkiraan tersebut masih belum pasti, karena tidak ada bukti tertulis yang bisa memastikan. Macapat banyak digunakan di dalam beberapa [[Sastra Jawa Tengahan]] lan [[Sastra Jawa Baru]]. Kalau dibandingkan dengan [[kakawin]], aturan-aturan dalam macapat jauh berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa. Kitab-kitab klasik zaman [[Mataram Baru]], seperti ''[[Serat Wedhatama]]'', ''[[Serat Wulangreh]]'', ''[[Serat Wirid Hidayat Jati]]'', ''[[Serat Kalatidha]]'', dan yang lainnya disusun dengan menggunakan [[metrum]] macapat ini.
 
Pada dasarnya, macapat ada beberapa macam, umumnya dibagi dalam tiga jenis yaitu: