Pulau Tuangku: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 15:
 
Secara administratif, pulau ini terletak di [[kecamatan]] [[Pulau Banyak, Aceh Singkil|Pulau Banyak]], [[Kabupaten Aceh Singkil]], [[provinsi]] [[Nanggroe Aceh Darussalam]]. Ada sesuatu yang unik dari masyarakat yang tinggal di Kecamatan Pulau Banyak, khususnya yang tinggal di Pulau Tuangku. Mereka sebahagian besar merupakan etnis campuran dari etnis Padang, Nias, Batak, Aceh, Sinabang dan sedikit campuran penduduk asli di Aceh Singkil. Percampuran tersebut mengakibatkan mereka memiliki kemampuan minimal 4 bahasa. Dalam komuniasi dan interaksi sehari-hari, mereka sering menggunakan bahasa yang berbeda-beda, tetapi tetap saling mengerti. Seorang penduduk, khususnya yang berumur sudah agak tua bisa mengetahui bahasa Aceh, Batak, Padang, Nias, Sinabang, Singkil.
Sebahagian besar penduduk Pulau Tuangku bekerja sebagai nelayan, hanya sedikit sekali yang bekerja sebagai petani. Ada duatiga desa di Pulau Tuangku, yakni Desa Ujung Sialit, Desa Asan Tola dan Desa Haloban. Desa Haloban mayoritas penduduknya beragama Islam dan merupakan percampuran dari berbagai etnis, sedangkan penduduk Desa Ujung Sialit mayoritas dari etnis Nias dan beragama Kristen. Mungkin di Provinsi Aceh, Desa Ujung Sialit ini adalah desa satu-satunya yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan. Namun sejauh ini kehidupan masyarakat dua desa tersebut sangat harmonis. Selain sebahagian dari mereka masih memiliki hubungan kekerabatan, jauhnya interaksi dengan penduduk daratan membuat kehidupan mereka cenderung stabil. Namun selama ini perkembangan dua desa di Pulau Tuangku sangat lambat. Berbagai pembangunan yang dialokasikan di Kecamatan Pulau Banyak lebih dikonsentrasikan di Pulau Balai yang luasnya tidak sampai 1/16 dari Pulau Tuangku. Hal ini sering memunculkan kecemburuan. Ada banyak juga pegawai, seperti guru dan petugas PLN yang tinggal di Pulau Balai, sehingga berbagai pelayanan masyarakat dan pendidikan sering diabaikan.
Kehidupan masyarakat di Pulau Tuangku sangat memprihatinkan. Sebagai nelayan, kehidupan mereka sangat tergantung dari keberadaan toke pengumpul hasil nelayan. Harga jual pun cenderung jauh lebih rendah dibandingkan jika dijual di Pulau Balai sebagai pusat pemerintahan Kecamatan Pulau Banyak. Mereka sangat terikat dengan keberadaan toke tersebut, karena seorang toke di masyarakat juga menempati posisi sebagai Kepala Desa atau Sekretaris Desa, juga sebagai orang kaya, bergelar Haji dan memiliki hubungan dengan leluhur pendiri desa. Hal inilah yang membuat mereka tidak bisa lepas dari toke, walaupun mereka sadar bahwasannya selama ini dirugikan oleh toke tersebut. Beberapa usaha untuk memberdayakan nelayan dengan cara melepaskan diri dari toke akan mengalami kesulitan, karena sebahagian besar dari mereka memiliki hubungan keluarga, dan sudah terbiasa untuk berhutang dengan toke tersebut. Jika mereka melepaskan diri dari ikatan toke dan mencoba mandiri menjual hasil tangkapan ke pihak lain, biasanya akan mendapat ancaman, seperti; tidak boleh meminjam uang, tidak boleh menumpang boat milik toke jika akan bepergian ke Pulau Balai atau ke Singkil, bahkan sering mendapat intimidasi dari pegawai-pegawai toke tersebut.
Pulau-pulau di sekitar pulau Tuangku antara lain: