Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
TjBot (bicara | kontrib)
k bot kosmetik perubahan
Baris 140:
 
Dewan Operasi Nasional mengeluarkan laporannya sendiri menganalisas akar permasalahan kekerasan 13 Mei. Disebutkan bahwa bahkan dalam bidang pelayanan sipil yang dipekerjakan oleh orang Melayu sendiri, pegawai sipil non-Melayu melebih pegawai sipil Melayu dalam banyak bidang. Pegawai sipil Melayu hanya menjadi mayoritas dalam Kepolisian dan Militer. Laporan ini menyimpulkan: "Tuduhan bahwa kaum non-Melayu dikesampingkan dianggap oleh orang Melayu sebagai pemelintiran yang disengajakan. Orang Melayu yang telah merasa dikesampingkan dalam kehidupan ekonomi negara, sekarang mulai merasa terancam kedudukannya dalam bidang pelayanan sipil. Sikap pintu tertutup yang diterapkan kepada kaum Melayu oleh kaum non-Melayu dalam banyak sektor privat dalam negara ini tidak pernah diungkit oleh politikus-politikus non-Melayu."<ref>Ongkili, p. 221–222.</ref>
 
Menurut Rancangan Malaysia Kedua, Kebijakan Ekonomi Baru bertujuan untuk "menciptakan komunitas komersial dan industri Melayu" melalui "perusahaan-perusahaan kepemilikan penuh maupun patungan." Sebelum rancangan ini, pemerintah Malaysia hanya memainkan peran "administratif, suportif, dan regulatoris" dalam usaha mengalamatkan ketimpangan ekonomi, namun menghindari "usaha perwakilan secara langsung dan aktif" dalam mengedepankan kepentingan Melayu.<ref name="hwang_113">Hwang, p. 113.</ref> Dengan Rancangan Malaysia Kedua, pemerintah Malaysia tidak hanya "membatasi akses populasi Cina dan India ke universitas-universitas dan kepegawaian negara," namun juga secara aktif ikut campur dalam ekonomi agar "[Bumiputera] mendapatkan bagian yang lebih besar dalam kegiatan bisnis".<ref name="pedersen_53">Abdullah & Pedersen, p. 53.</ref>
 
Sebelum Kebijakan Ekonomi Baru, telah terdapat berbagai program-program [[aksi afirmatif]] yang dijalankan pemerintah Malaysia. Namun, kebanyakan hanyalah berfokus pada sektor pelayanan sipil. Penerimaan masuk perguruan-perguruan tinggi negara juga didasarkan pada kemampuan pelajar. Pemerintahan Tunki lebih memilih kebijakan ''[[laissez-faire]]'' dan meminimalisasi intervensi ekonomi.<ref name="iseas"/> Walaupun beberapa badan pemerintah sebelumnya seperti Lembaga Kemajuan Kampung & Perusahaan (''Rural & Industrial Development Authority'', RIDA) telah didirikan untuk membantu para [[wirausaha]]wan Melayu, program-program badan ini dikritik karena memberikan bantuan berdasarkan pada koneksi politik. RIDA kemudian diganti namanya menjadi [[Majlis Amanah Rakyat]] (MARA) pada tahun 1965 sebagai simbol perkembangan kewirausahaan Melayu.<ref>Musa, pp. 97&ndash;100.</ref>
 
Walaupun Kebijakan Ekonomi Baru bertujuan mengatasi ketimpangan ekonomi, kebijakan ini dengan cepat diasosiasikan dengan Ketuanan Melayu. Walaupun jarang sekali kedua hal ini secara langsung disamakan, keduanya sering diungkit secara bersamaan dan disiratkan bahwa konsep Kebijakan Ekonomi Baru diturunkan dari Ketuanan Melayu.
 
== Sumber ==