Sultan Agung dari Banjar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Baris 35:
 
== Sikap Anti VOC di Masa Sultan Agung ==
Perebutan kekuasaan di Kesultanan Banjar pada abad ke-17 menghasilkan kompromi politik, [[Pangeran Ratu]]/Sultan Rakyatullah/Raden Halit tetap berkuasa di [[Martapura]], sedangkan Sultan Agung/[[Pangeran Surya Nata II]]/Raden Kasuma Lalana berkuasa di Banjarmasin. Martapura yang merupakan daerah tambang [[emas]] dan hasil [[kebun]] [[lada]] terletak di sebelah [[hulu]] dari Banjarmasin, sehingga cara ini dapat mematikan [[perdagangan]] Pangeran Ratu saingannya. <ref name="gazali"> {{id}} M. Gazali Usman, [[Kerajaan Banjar]]: [[Sejarah]] Perkembangan [[Politik]], [[Ekonomi]], [[Perdagangan]] dan Agama Islam, [[Banjarmasin]]: Lambung Mangkurat Press, [[1994]].</ref>
 
Sehubungan dengan ini Pangeran Suryanata II/Sultan Agung mengirim dutanya ke Betawi yaitu Souta Nella dan Nala tahun [[1665]]. Kepada VOC disampaikan surat Pangeran Suryanata II yang isinya :
Baris 41:
# Mengenai lada VOC tidak perlu khawatir, karena akan dikirim Sultan sendiri dengan kapal ke Batavia.
# Meminta agar isi kapal Sultan yang dirampas VOC sekembalinya dari Aceh diberikan kembali dengan perantaraan dutanya.
# Surat ini menyebutkan pula pemberian Sultan Agung/Pangeran Suryanata kepada VOC sebanyak 2.000 gantang lada dan dua lembar [[tikar]] [[rotan]].<ref name="gazali"/>
 
Utusan yang membawa surat Pangeran Suryanata ini terjadi pada tahun [[1665]], dan hal ini berarti [[perjanjian]] sebelumnya yang dibuat tahun [[1664]] hanya merupakan kertas kosong belaka.
 
Sikap Sultan Agung ini (Pangeran Suryanata) yang meminta VOC keluar dari Banjarmasin, diduga atas [[motivasi]] dari [[Kesultanan Mataram]], agar Banjarmasin membuka front terbuka sikap anti-VOC. Sikap ini diperlukan sebab [[kerajaan]] lainnya terutama Kesultanan Mataram mengalami kemunduran dalam bidang perdagangan akibat sepak terjang Belanda yang selalu memegang [[monopoli]] perdagangan.<ref name="gazali"/>
 
Pada bulan [[Juli]] [[1665]] menurut laporan '''Residen Gerret Lemmes''', tiba-tiba Pangeran Suryanata II pergi ke [[daerah Negara]] untuk membeli lada secara monopoli dari [[rakyat]] penghasil lada dan menjualnya kepada pedagang pedagang [[Makassar]], [[Inggris]], [[Portugis]] dan [[Cina]], sedangkan utusan [[VOC]] sama sekali tidak diberinya kesempatan memperoleh lada. Bahkan [[pelabuhan]] Banjarmasin dipenuhi dengan [[pedagang]]-pedagang dari segala [[bangsa]] dan perdagangan dilakukan secara bebas. Untuk mempertahankan perdagangan bebas ini dan menghapus keinginan VOC untuk memperoleh [[monopoli]], Pangeran Suryanata II mengirim utusan ke [[Kesultanan Banten]], meminta bantuan dan mengakui kekuasan Banten atas [[Kesultanan Banjarmasin]].<ref name="gazali"/>
 
Sekitar tahun 1670-an terjadi perubahan besar di Indonesia Timur yang membahayakan bagi perdagangan bebas Banjarmasin, yaitu jatuhnya bandar internasional Makassar dibawah kontrol sesuai [[Perjanjian Bongaya]], ancaman inilah yang menyebabkan Sultan Suryanata II mengirimkan utusan-utusan ke Batavia untuk memperoleh monopoli [[senjata]] dan [[mesiu]]. Kemunduran perdagangan di [[Indonesia Timur]] ini sebagai akibat dari [[taktik]] dan [[strategi]] Belanda yang selalu berusaha memperoleh monopoli perdagangan dengan menerapkan [[politik]] [[divide et impera]]-nya. <ref name="gazali"/>
Bahkan [[pelabuhan]] Banjarmasin dipenuhi dengan [[pedagang]]-pedagang dari segala [[bangsa]] dan perdagangan dilakukan secara bebas. Untuk mempertahankan perdagangan bebas ini dan menghapus keinginan VOC untuk memperoleh [[monopoli]], Pangeran Suryanata II mengirim utusan ke [[Kesultanan Banten]], meminta bantuan dan mengakui kekuasan Banten atas [[Kesultanan Banjarmasin]].
 
Sikap Sultan Banjar yang anti VOC-Belanda pada masa tersebut karena beberapa pertimbangan:
Sekitar tahun 1670-an terjadi perubahan besar di Indonesia Timur yang membahayakan bagi perdagangan bebas Banjarmasin, yaitu jatuhnya bandar internasional Makassar dibawah kontrol sesuai [[Perjanjian Bongaya]], ancaman inilah yang menyebabkan Sultan Suryanata II mengirimkan utusan-utusan ke Batavia untuk memperoleh monopoli [[senjata]] dan [[mesiu]].
 
Kemunduran perdagangan di [[Indonesia Timur]] ini sebagai akibat dari [[taktik]] dan [[strategi]] Belanda yang selalu berusaha memperoleh monopoli perdagangan dengan menerapkan [[politik]] [[divide et impera]]-nya.
 
Sikap Sultan Banjar yang anti VOC pada masa tersebut karena beberapa pertimbangan:
# Hubungan dagang dengan Belanda, selalu diakhiri dengan peristiwa pembantaian dan permusuhan di kedua belah pihak.
# Dalam setiap perjanjian kontrak dagang, VOC selalu ingin monopoli, dan tidak memberi peluang terciptanya perdagangan bebas.
# Adat Istiadat orang orang Belanda, bertentangan dengan adat istiadat orang Banjar, sehingga lambat laun akan timbul konflik budaya.<ref name="gazali"/>
 
Pertimbangan-pertimbangan tersebut, didasarkan atas kemungkinan dukungan dan kemufakatan [[Dewan Mahkota]], khususnya yang anti VOC.
 
Pertimbangan-pertimbangan tersebut, didasarkan atas kemungkinan dukungan dan kemufakatan [[Dewan Mahkota]], khususnya yang anti VOC. Walau demikian, VOC terus menerus mencari peluang dan dukungan untuk bercokol di Banjarmasin, karena perdagangan VOC di Kesultanan Banjarmasin tidak macet.<ref name="gazali"/>
 
== Perdagangan Bebas ==