Layanan Pengadaan Secara Elektronik: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 13:
LPSE merupakan unit yang dibentuk untuk mengoperasikan e-procurement. Pada awalnya LPSE hanya sebagai tim ''ad hoc'' yang dibentuk oleh kepala instansi (gubernur, walikota, menteri). Sebagian instansi telah mendirikan LPSE secara permanen seperti di [[Kementerian Keuangan Republik Indonesia]], [[Provinsi Jawa Barat]], dan [[Provinsi Sumatera Barat]]. LPSE hanya sebagai '''fasilitator''' yang tidak ikut dalam proses pengadaan yang dilakukan oleh panitia pengadaan atau ''Unit Layanan Pengadaan/ULP''.
== Implementasi LPSE
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 13.000 pulau. Infrastruktur teknologi informasi masih menjadi kendala besar dalam implementasi eprocurement. Di sebagian besar wilayah, internet masih merupakan barang yang mahal. E-procurement memerlukan bandwith yang cukup besar karena di dalamnya ada proses ''upload'' dokumen dengan ukuran beberapa megabyte. Sangat tidak efisien, atau tidak mungkin, jika ada satu server tunggal, di Jakarta misalnya, untuk melayani seluruh instansi di Indonesia. Ada lebih dari 600 instansi di seluruh Indonesia.
'''Implementasi secara tersebar dipilih karena''':
Karena itu, LKPP memutuskan implementasi LPSE secara tersebar. Setiap instansi perlu membangun LPSE dan memiliki server sendiri. Secara alamiah, pihak-pihak yang terlibat di dalam proses pengadaan berada pada lingkup geografis yang terbatas. Pengadaan di Kabupaten Malang misalnya, mungkin 90% lebih pesertanya berdomisili di Kabupaten Malang dan kota-kota terdekat seperti Surabaya, Pasuruan, atau Sidoarjo. Merupakan hal yang tidak efisien jika dokumen-dokumen dari Malang diupload dan disimpan di Jakarta kemudian didownload kembali ke Malang. Jauh lebih efisien jika dokumen-dokumen itu diupload dan disimpan di server yang berada di Malang. ▼
Implementasi e-procurement yang terpusat seperti [http://www.koneps.go.id Koneps] di Korea atau [http://www.gebiz.gov.sg/ GeBIZ] di Singapura. Infrastuktur IT di kedua negara tersebut sangat memadai sehingga biaya internet sangat murah. Implementasi di Singapura yang hanya seluas Jakarta, tentu jauh lebih mudah dibandingkan implementasi di Indonesia yang sangat luas.▼
==== 1. Pengguna dan penyedia barang/jasa berada pada lingkup geografis yang terbatas/''clustered''====
▲
Tidak semua penyedia memiliki akses internet yang cukup besar (idealnya minimal 1 mbps) untuk melakukan upload dokumen penawaran. Belum lagi kebiasaan penyedia untuk mengirimkan penawaran di jam atau menit terakhir. Kondisi ini menyebabkan potensi kegagalan upload sangat besar. Untuk itu, jika dokumen penawaran berukuran besar dan bandwidth di sisi penyedia tidak memadai, mereka dapat datang ke kantor LPSE untuk upload dari jaringan lokal (LAN) dengan kecepatan 100 mbps. Fasilitas upload melalui LAN ini tidak mungkin tersedia jika server LPSE terpusat di Jakarta.
Memang ada pertanyaan dari penyedia: apa bedanya dengan lelang konvensional jika penyedia masih perlu datang ke kantor LPSE untuk memasukkan penawaran. Jawaban pertanyaan ini adalah, mahalnya biaya akses internet bukan di ranah kewenangan dan tanggung jawab LPSE sehingga LPSE tidak dapat membuat akses ini menjadi murah. Untuk membuat biaya akses murah merupakan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini [[Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia]]. Jika biaya akses internet telah dapat sangat murah, penyedia tidak perlu lagi datang ke kantor LPSE.
==== 2. Infrastruktur teknologi informasi masih terbatas dan mahal ====
▲Implementasi e-procurement yang terpusat seperti [http://www.koneps.go.id Koneps] di Korea atau [http://www.gebiz.gov.sg/ GeBIZ] di Singapura tidak mungkin diterapkan di Indonesia. Infrastuktur IT di kedua negara tersebut sangat memadai sehingga biaya internet sangat murah. Implementasi di Singapura yang hanya seluas Jakarta, tentu jauh lebih mudah dibandingkan implementasi di Indonesia yang sangat luas.
== Referensi ==
|