Suku Osing: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 14:
Sejarah Suku Using diawali pada akhir masa kekuasaan [[Majapahit]] sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan Pertumbuhan kerajaan-kerajaan islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng [[Gunung Bromo]] ([[Suku Tengger]]), [[Blambangan]] (Suku Using) dan [[Bali]]. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Using yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat percaya bahwa [[Taman Nasional Alas Purwo]] merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram.
 
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Using mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan [[Suku Jawa]]. Suku Using mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terluhat dari kesenian tradisional [[Gandrung]] yang mempunyai kemiripan dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Using dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan.Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M. [http://osingkertarajasa.wordpress.com/2010/06/25/6/ SEJARAH PERANG BAYU] ini jarang di ekspos oleh media sehingga sejarah ini seperti tenggelam.
 
[http://osingkertarajasa.wordpress.com/2010/06/25/6/ SEJARAH PERANG BAYU] ini jarang di ekspos oleh media sehingga sejarah ini seperti tenggelam.padahal tidak sedikit kerugian dari belanda dan para pejuang bayu...nama-nama lurah pada waktu perang bayu adalah Nama desa dan lurahnya sebagaimana disebutkan dalam Babad Bayu pupuh vi 11-20 sebagai berikut: Desa Dhadhap (Kidang Wulung), Rewah-Sanji (Kidang Wulung), Suba/Kuwu (Kidang Wulung), Songgon (Ki Sapi Gemarang), Tulah (Ki Lempu Putih), Kadhu (Ki Sidamarga), Derwana (Ki Kendit Mimang), Mumbul (Ki Rujak Sentul), Tembelang (Ki Lembupasangan), Bareng (Ki Kuda Kedhapan), Balungbang (Ki Sumur Gumuling), Lemahbang (Ki Suranata), Gitik (Ki Rujak Watu), Banglor (Ki Suragati), Labancina (Ki Rujak Sinte), Kabat (Ki Pandholan), Kapongpongan (Ki Kamengan), Welaran ( Ki Jeladri), Tambong (Ki Reksa), Bayalangun (Ki Sukanandi), Desa Penataban (Ki Singadulan), Majarata (Ki Maesandanu), Cungking (Ki Jangkrik Suthil), Jelun (Ki Lembu Singa), Banjar (Ki Bakul). Itulah nama-nama desa di Banglor. Sedang desa bagian selatan adalah: Desa Pegambuiran (Ki Serandil), Ngandong (Ki Seja), Cendana (Ki Kebo Waleri), Kebakan (Ki Kebo Waluratu), Cekar (Ki Gundol), Desa Gagenteng (Ki Kudha Serati), Kadhal (Ki Jaran Sukah), Sembulung (Ki Gagak Sitra), Jajar (Ki Gajah Anguli), Benculuk (Ki Macan Jingga), Pelancahan (Ki Butangerik), Keradenan (Ki Jala Sutra), Gelintang (Ki Maesagethuk), Grajagan (Ki Caranggesing). Sedang desa diwilayah timur: Desa Dhulangan, Pruwa/Purwa (Ki Tulup Watangan), Lalerangan (Ki Menjangan Kanin), Mamelik (Ki Surya), Papencan (Ki Bantheng Kanin), Kelonthang (Ki Lembu-Ketawan), Repuwan (Ki Butānguri), Rerampan (Ki Kidang Bunto), Singalatrin (Ki Banyak Ngeremi).Wilayah utara 2 desa yaitu Desa Jongnila (Ki Gagakngalup) dan desa Konsul (Ki Maesasura). Kemudian kepala desa ayang menyusul: Desa Bubuk (Ki Marga-Supana), Gebang (Ki Jangkrik-Gondhul), Gebang (Ki Jangkrik-Gondhul), Gambor (Ki Bajuldahadhi), Gembelang (Ki Butakorean), Muncar (Ki Genok), Bama (Ki Baluran), Geladhag (Ki Margorupit), Susuhan ( Ki Tambakboyo), Ngalian (Ki Kidang-Garingsing), Tamansari (Ki Gajah Metha), Danasuke (Ki Kebowadhuk), Kalisuca (Ki Jaransari). Babad Bayu .
Dalam perkembangan berikutnya, setelah para petinggi Majapahit berhasil hijrah ke Bali dan membangun kerajaan di sana, Blambangan, secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali atau, seperti yang diistilahkan oleh beberapa sejarawan, “di bawah perlindungan Bali”. Tetapi, pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah menaklukkan Blambangan yang meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak korban jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang (G.D.E. Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75). Di dalam kekuasaan Mataram inilah penduduk Blambangan mulai diislamisasi, suatu perkembangan kultural yang banyak pengaruhnya di kemudian hari dalam membentuk struktur sosial dan kebudayaan. Perebutan Blambangan oleh Mataram dan Bali terus berlangsung dan saling bergantian menguasai hingga berakhir ketika VOC berhasil menduduki Blambangan pada tahun 1765.
 
ImageJika di masa kekuasaan Bali maupun Mataram, Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan kekuatannya, di masa penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati5Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu. Perang ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20). Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan tetap pantang menyerah. Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus terjadi sampai berpuluh tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu yang tersisa, yaitu orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai ‘orang-orang Bayu yang liar’ (Lekkerker, 1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat menghancurkan benteng Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi6 dan mengangkat Mas Alit sebagai bupati pertama Banyuwangi.
 
Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar, dan pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya (Epp, 1849:247). Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa betapa kekejaman Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun 1767-1781. Dengan merujuk catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson mengatakan: “daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali…”.