Sidratul Muntaha: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-sholat +salat)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Sidrat al-Muntahā''' ([[Bahasa Arab|Arab]]:<big><big> سدرة المنتهى‎ </big></big>, '''Sidratul Muntaha''') adalah sebuah [[pohon]] [[bidara]] yang menandai akhir dari [[langit]]/[[Surga]] ke tujuh, sebuah batas dimana [[makhluk]] tidak dapat melewatinya, menurut kepercayaan [[Islam]]. Dalam kepercayaan ajaran lain ada pula semacam kisah tentang Sidrat al-Muntahā, yang disebut sebagai "Pohon Kehidupan".
 
Pada tanggal 27 Rajab selama [[Isra Mi'raj]], hanya [[Nabi Muhammad Shallallohu 'Alaihi Wasallam]] yang bisa memasuki ''Sidrat al-Muntaha'' dan dalam perjalanan tersebut, Nabi Muhammad Shallallohu 'Alaihi Wasallam ditemani oleh [[Malaikat]] [[Jibril]], dimana [[Allah]] memberikan perintah untuk [[Shalat lima waktu|Sholat 5 waktu]].
 
Dalam Agama [[Baha'i]] ''Sidrat al-Muntahā'' biasa disebut dengan "''Sadratu'l-Muntahá''" adalah sebuah kiasan untuk penjelmaan [[Tuhan]].
Baris 17:
Allah berfirman dalam surah An-Najm 16, {{cquote|''Ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya (an-Najm, 53: 16)}} Dikatakan bahwa yang menyelimutinya adalah permadani terbuat dari emas.
 
Jika Allah memutuskan sesuatu, maka "bersemilah" Sidratul Muntaha sehingga diliputi oleh sesuatu, yang menurut penafsiran Ibnu Mas'ud {{Ra}} adalah "permadani emas". Deskripsi tentang Sidratul Muntaha dalam hadits-hadits tentang Isra Mi'raj tersebut hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat diungkapkan kata-kata. Hakikatnya hanya Allah dan Rasul-Nya [Nabi Muhammad Shallallohu 'Alaihi Wasallam] yang Maha Tahu.
 
== Peristiwa di Sidratul Muntaha bagi Nabi Muhammad Shallallohu 'Alaihi Wasallam ==
Ketika Mi'raj, di sini Nabi Muhammad Shallallohu 'Alaihi Wasallam melihat banyak hal, seperti:
=== Melihat bentuk asli Malaikat Jibril ===
Dikatakan bahwa Nabi Muhammad Shallallohu 'Alaihi Wasallam telah melihat wujud asli dari Malaikat Jibril yang memiliki sayap sebanyak 600 sayap.<ref>Asy-Syaibani berkata: Aku menanyai Zirr bin Hubaisy tentang firman Allah {{AWJ}} {maka jadilah dia dekat dua ujung busur panah atau lebih dekat (an-Najm, 53: 9)}. Dia menjawab: "Telah mengabariku Ibnu Mas'ud bahwasanya Nabi {{SAW}} telah melihat (bentuk asli) Jibril. Ia memiliki enam ratus sayap." Hadits riwayat [[Imam Muslim|Muslim]] (174), Kitab Iman, Bab tentang Penyebutan Sidratul Muntaha.</ref>
{{cquote|''Dan sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallohu 'Alaihi Wasallam telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (An-Najm 53:13)}}
 
=== Melihat Tuhan ===
Dikatakan pula bahwa Nabi Muhammad Shallallohu 'Alaihi Wasallam telah melihat Allah yang berupa cahaya.<ref>Dari Abu Dzar, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah {{SAW}}: "Apakah paduka melihat Tuhan paduka?". Ia menjawab: "Cahaya. Bagaimanakah aku melihat-Nya?" Hadits riwayat [[Imam Muslim|Muslim]] (178.1), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".</ref><ref>Dari Abdullah bin Syaqiq, ia telah bersabda: Aku bertanya kepada Abu Dzar: "Seandainya aku melihat Rasulullah {{SAW}}, pasti aku akan menanyainya." Lantas dia berkata: "Tentang sesuatu apa?" Aku akan menanyainya: "Apakah baginda melihat Tuhan baginda?" Abu Dzar berkata: "Aku telah menanyainya, kemudian beliau jawab: 'Aku telah melihat cahaya'." Hadits riwayat [[Imam Muslim|Muslim]] (178.2), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".</ref>
 
Untuk hal ini terdapat beda pendapat di kalangan ulama, apakah Nabi Muhammad {{SAW}} pernah melihat Tuhannya? Jika pernah apakah beliau melihat-Nya dengan mata kepala atau mata hati? Masing-masing memiliki argumennya sendiri-sendiri. Di antara yang berpendapat bahwa beliau pernah melihat-Nya dengan mata hati antara lain al-Baihaqi, al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, dan Syaikh al-Albani dalam tahqiq beliau terhadap Syarah Aqidah ath-Thahawiyah. Salah satu argumentasi mereka adalah hadits di atas.