Sutan Sjahrir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Pustakawan (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
k Suntingan Pustakawan (Bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh Ahmad Subhan
Baris 13:
Sebagai siswa sekolah menengah, Sjahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Sjahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah.
 
Sjahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam, Leiden. Di sana, Sjahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh Sjahrir menggembleng diriia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Sjahrir, meski sebentar. (Kelak Syahrir menikah kembali dengan [[Poppy Syahrir|Poppy]], kakak tertua dari [[Soedjatmoko]] dan [[Miriam Boediardjo]]).
 
Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Sjahrir yang mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif –saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Sjahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.
Baris 25:
PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.
 
Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul. Hampir setahun dalam kawasan penuh nyamuk malaria di Papua itu, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun. Mereka kemudian dibebaskan ketika Belanda bertekuk lutut kepada Jepang
 
==Masa Pendudukan Jepang==
Baris 40:
 
==Masa Revolusi Nasional Indonesia==
 
Republik muda dalam api revolusi sungguh rusuh, siapa yang hendak dituruti pun tak tentu. Kekisruhan tersebut ditulis YB. Mangunwijaya seperti ini:
 
“Kewibawaan Pemerintahan RI dalam banyak perkara masih baru rumus dan penuh keragu-raguan. Prinsip, Bung Karno yang Presiden. Tetapi selanjutnya, siapa yang harus ditaati?…tidaklah sangat jelas dalam praktek sehari-hari. Sebab, yang membagi perintah ialah sekian ratus Markas Pemuda, Lasykar-lasykar…”
 
“Habis namanya revolusi, jadi tidak ada peraturan,” ungkap Sultan Hamengku Buwono IX pada suatu waktu.
 
Situasi revolusi yang emosional itu pun ditingkahi dengan beragam polah. Romo Mangun lanjut menulis:
“…dan yang paling dominan ketika itu: Kaum Ekstremis, Barisan Pemberontakan Rakyat; romantis serem berikat kepala merah-putih, berpakaian seperti pendekar pencak silat, pistol dan pedang samurai di pinggang, keris di perut, bersabuk peluru, komplit bersepatu laars ala pilot-pilot Kamikaze Jepang dan tas berisi dokumen-dokumen siasat rahasia. Setiap markas punya siasat tersendiri dan punya Badan Penyelidik tersendiri, yang kuasa menentukan sendiri siapa mata-mata musuh dan siapa harus diculik dan sebagainya.”
 
Barangkali, bahkan Bung Karno pun tak menyangka bakal begitulah jadinya “Api massa” yang telah ia kobarkan. Dalam Di Bawah Bendera Revolusi Soekarno menulis:
 
“Dengan massa-aksi kaum Marhaen bisa mengobar-ngobarkan semangatnya sampai ke puncaknya angkasa, dengan massa-aksi mereka bisa menghaibatkan kemauannya menjadi sehaibatnya gelombang samudra, dengan massa-aksi mereka bisa mengolah mereka punya tenaga menjadi tenaganya gempa….’Api massa’ inilah melahirkan ‘perbuatan-perbuatan massa’ yang haibatnya bisa sampai menggoyangkan sendi-sendinya masyarakat, ya, sampai menggugurkan masyarakat dengan segala sendi-sendi dan alas-alasnya.”
 
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Sjahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.
 
Baris 96 ⟶ 82:
* Mengenang Sjahrir, disunting oleh H. Rosihan Anwar. Jakarta, Gramedia, 1980.
* Rudolf Mrazek. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996.
* TEMPO, 23 Agustus 1986
 
==Jabatan==