Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Hanief ok (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Hanief ok (bicara | kontrib)
Baris 25:
Pasca aksi Tritura '66, Ketua-ketua Dewan Mahasiswa seperti Sarwono Kusumaatmadja (1968-1969), Wimar Witoelar (1969-1970), dan Syarif Tando (1970-1971) memelopori gerakan 'Back to Campus'. Intinya mahasiswa harus kembali melaksanakan tugasnya yaitu belajar dan segera meninggalkan politik praktis. DM ITB menolak adanya wakil-wakil mahasiswa di DPR, bahkan pada tahun 1969, DM ITB menyatakan keluar dari KAMI.
 
==Dekade 70an==
===Dari Tragedi Rene L Conraad Menuju Malari 1974== =
DM ITB di bawah kepemimpinan Syarif Tando (1970-1971) memprakarsai konsolidasi DM se-Asia Tenggara. Kemahasiswaan disemarakkan dengan bermunculannya Unit-Unit Kegiatan Mahasiswa. Pada tahun 1970, Student Center didirikan di tengah-tengah kampus ITB dan menjadi pusat kegiatan mahasiswa. Kampus ITB saat itu ramai dengan kegiatan mahasiswa. Namun membaiknya kemahasiswaan tidak diimbangi dengan membaiknya masyarakat. DM ITB di bawah Syarif Tando dan Bambang Warih Kusuma sebagai Sekum memberikan pernyataan keprihatinan atas kondisi bangsa saat itu, antara lain menguatnya otoriterisme ABRI dalam memimpin negara.<br>
Namun DM ITB bukannya tidak berusaha memperbaiki hubungan tersebut. Atas usaha Syarif Tando, Rektor ITB Doddy Tisnaamidjaya, dan adiknya Kombes Pol Tjutju Sumirat (yang juga Kapoltabes Bandung) pada tanggal 6 Okotber 1970 mengadakan pertandingan persahabatan antara taruna Akpol angkatan 1970 dengan mahasiswa ITB. Taruna Akpol angkatan 1970 adalah angatan pertama yang mengintegrasikan kurikulum militer dan kepolisian. Alumni sempat menduduki jabatan penting seperti Nugroho Djayusman, Hamami Nata, Bimantoro, Rusdihardjo, dll.<br>
Baris 34 ⟶ 35:
15 Januari 1974, pecah demonstrasi besar-besaran untuk menyambut PM Jepang Kakuei Tanaka. Mahasiswa Jakarta dari Trisakti. Namun selama perjalanan mereka mulai ditunggangi oleh massa tak dikenal. Massa ini mulai melakukan pengrusakan di Senen, Pecenongan, dan daerah Thamrin. Mahasiswa Bandung saat itu memutuskan untuk tidak berangkat ke Jakarta menyambut PM Tanaka, karena arah gerakan menjadi anarkis, dan jelas telah terjadi pertarungan politik antara Jenderal Soemitro dengan Letjen Ali Moertopo, Aspri Presiden Soeharto. Mereka hanya melakukan aksi di kampus Unpad dengan membakar boneka bertuliskan "Dulu Haji Peking, sekarang Haji Tokyo!". Haji Peking merujuk pada H. Soebandrio, Menlu zaman Soekarno, sedangkan Haji Tokyo merujuk pada Soedjono Hoemardani, Aspri Presiden.<br>
Akibat peristiwa Malari, Hariman Siregar, Judil Herry Justam (Sekum DM UI), Salim Hutadjulu (Ketua SM FISIP UI) ditangkap. Beberapa tokoh penting seperti Prof. Sarbini Somawinata (mertua Hariman), Theo L Sambuaga, Aini Chalid, Sjahrir (Ketua Group Diskusi UI, sekarang Penasehat Ekonomi Presiden SBY) juga ditangkap. Namun yang divonis penjara hanya Hariman, Aini Chalid, dan Sjahrir.<br>
 
Akibat peristiwa ini, kemahasiswaan di Indonesia mulai menerima represifitas secara terang-terangan, tak terkecuali di ITB. Kemahasiswaan di ITB akhirnya diarahkan untuk konsolidasi internal agar lebih matang dalam mempersiapkan gerakan.
===Dari Malari Menuju NKK/BKK===
Akibat peristiwa ini, kemahasiswaan di Indonesia mulai menerima represifitas secara terang-terangan, tak terkecuali di ITB. Kemahasiswaan di ITB akhirnya diarahkan untuk konsolidasi internal agar lebih matang dalam mempersiapkan gerakan. Dimulai dari masa Prasetyo Sunaryo (1974-1975) dan Daryatmo (1975-1976), DM ITB mulai memikirkan konsep gerakan yang matang untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia.<br>
Pada masa kepengurusan Kemal Taruc (1976-1977), DM ITB menggulirkan konsep Gerakan Anti Kebodohan (GAK), sebauh konsep mendasar mengenai pencerdasan masyarakat, pengentasan kemiskinan, perbaikan pendidikan, dan demokratisasi. Dalam rangka GAK juga, Para Senator MPM memberi pelajaran bagaiman memilih Ketua DM yang baik (baca: Presiden RI) dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kemahasiswaan Indonesia, Ketua Umum Dewan Mahasiswa dipilih secara langsung, one student one vote. Ketua terpilih, Heri Akhmadi memperkuat kepengurusannya dengan aktivis yang lebih berbeda aspirasi gerakannya seperti Rizal Ramli, Indro Cahyono, dan Al Hilal Hamdi.<br>
Pada bulan Oktober 1977, mendekati Hari Sumpah Pemuda, Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa se-Indonesia mengadakan pertemuan di Bandung. Saat hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1977, mahasiswa dan pelajar Bandung bersama-sama menyatakan keprihatinan atas demokrasi dan kecurangan-kecurangan saat pemilu. Memasuki Januari 1978, kampus ITB dipenuhi poster-poster anti Soeharto. Dan tepat pada tanggal 16 Januari 1978, 2000 mahasiswa ITB mengadakan apel di Lapangan Basket menyatakan, "Tidak Mengakui dan Tidak Menginginkan Soeharto Kembali Menjadi Presiden RI". Sebuah spanduk besar dipasang di gerbang depan kampus.<br>
Akibat peristiwa ini, kampus ITB diserbu dan diduduki Pasukan Linud Kostrad, bahkan Tank dan Panser masuk kampus. Mahasiswa dikumpulkan di Lapangan Basket, bahkan sempat terjadi penjambakan rambut seorang mahasiswi oleh seorang prajurit. Dikisahkan oleh Indro Cahyono, bahwa seorang Prajurit meneteskan air mata karena melihat rekannya melakukan hal tersebut. Hari itu juga, mahasiswa diusir dari kampus. Kampus diduduki selama 6 Bulan. Hanya mahasiswa angkatan 78 yang boleh kuliah, selebihnya terusir.<br>
Saat itu pemerintah melalui Mendikbud Daoed Joesoef menggulirkan konsep [[Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan]] yang lazim disingkat NKK/BKK. Dewan Mahasiswa se-Indonesia dibubarkan dan kemahasiswaan diatur oleh Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan melalui BKK. Mahasiswa menolak dengan keras BKK, dan tetap mengadakan pemilihan Ketua DM. Namun setiap Ketua DM terpilih, malam itu juga surat ancaman DO sampai. Akibatnya tidak ada yang bersedia menjadi Ketua DM.<br>
Akhirnya mahasiswa ITB memutuskan membubarkan Dewan Mahasiswa dan membekukan KM ITB. Kemudian didirikan Badan Koordinasi (BAKOR) untuk mengkoordinasikan pergerakan. Sementara cita-cita KM ITB diamanatkan kepada Himpunan-Himpunan sebagai kantung-kantung gerakan, dengan konsekuensi, kaderisasi ada di tingkat himpunan.