Jamiat Kheir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 12:
Dalam buku yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah Pemda DKI terbitan 1988, Sagimun M.D. menyebutkan, Jamiatul Kheir dianggap berbahaya oleh permerintah colonial Belanda karena pengaruhnya dapat membangkitkan semangat kebangsaan dan semangat jihad fisabilillah di kalangan kaum Muslimin Indonesia. Tak heran kalau pemerintah colonial mengawasi dengan ketat perkumpulan ini. Sengaja menunda-nunda permohonan pengesahannya dan baru diberikan 1905 dengan catatan: ‘Tidak boleh membuka cabang di luar kota Batavia’. Meski kenyataannya perkumpulan ini membuka pendidikan di berbagai daerah dengan nama lain. Keberadaan Jamiatul Kheir merupakan wujud perlawanan terhadap pendidikan di sekolah-sekolah Belanda yang tidak dapat dipisahkan dengan Kristenisasi.
 
<big>Pendiri Jamiatul Kheir</big>
== Anggota Pengurus Jamiat Kheir ==
 
Keberadaan Jamiatul Kheir tidak dapat dipisahkan dari pendirinya seorang wartawan Sayid Ali Bin Ahmad Shahab kelahiran Pekojan pada 1282 Hijriah. Dalam usia 29 tahun, dia mengadakan lawatan ke Turki dan Mesir, diteruskan ibadah haji. Di kedua Negara Islam ini, terutama ketika berada di Turki, hatinya tergerak melihat sistem pendidikan di Kerajaan Ottoman. Pada murid sudah duduk di bangku dan mereka memakai celana. Padahal kala itu, siswa-siswa di sekolah Islam duduk di lantai dan masih memakai kain. Ketika 1905 (1323 H) Belanda memberikan izin berdirinya Jamiatul Kheir, maka pada 17 Juli 1905, sayid Ali bin Ahmad Shahab menjadi ketua umumnya. Sebagai perlawanan terhadap penjajah, salah satu kurikulum di Jamiatul Kheir tidak diajarkan bahasa Belanda, tapi Inggris.
Pada 1912, Jamiatul Kheir turut ambil bagian dalam membantu para pejuang Libya melawan penjajah Itali di bawah pimpinan Omar Mochtar. Jamiat Kheir turut aktif dalam aksi boikot produk Italia di Indonesia. Solichin Salam, penulis Ali Ahmad Shahab Pejuang yang Terlupakan, menuturkan Sayid Ali Ahmad Shahab pernah mengusahakan melalui Sultan Abdul Hamid dari Turkin dan Imam Yahya dari Yaman untuk memasukkan senjata ke Indonesia, guna membantu perjuangan rakyat melawan Belanda.
Di samping itu, dia juga ikut memberi dukungan bagi diadakannya suatu pemberontakan di Hadramaut (kini bagian dari Yaman) melawan Inggris. Di samping menjadi koresponden Al Muayyad di Kairo, Mesir dan koresponden Samarat al Funun di kota yang sama, tulisannya juga sering dimuat dalam surat kabar Utusan Hindia.
 
<big>Pan Islamisme</big>
Disamping itu, aktivitas Jamiat Kheir kala itu lebih mengarah pada masalah sosial kemasyarakatan, yang menitik-beratkan pada masalah penanggulangan kemiskinan dan kebodohan yang diderita oleh umat Islam akibat penjajahan.
Keberadaan Jamiatul Kheir tentu saja membuat Belanda geram. Dengan terang-terangan orientalis Belanda, Snouck Horgronye, menurut Mr Hamid Algadri, meminta agar pemerintah waspada terhadap Ali bin Ahmad Shahab, yang dituduh sebagai salah satu tokoh penggeraknya. Sedangkan, menurut Solichin Salam, karena tulisan-tulisannya di berbagai surat kabar dan hubungannya dengan Konsul Turki dan Jepang di Jakarta, dia pun dicurigai dan dituduh terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda. Alhasil, ia sering diinterogasi dan ditahan. Itulah sebabnya pemerintah kolonial bertindak dan mengadakan konspirasi, sehingga seluruh harta bendanya berupa tanah maupun gedung di daerah Jakarta (seperti di kawasan Imam Bonjol, Menteng sampai Setiabudi dan Kebon Melati seluas dua ribu hektare) diambil dengan dijual paksa melalui kasirnya seorang Armenia, yang menjadi kaki tangan Belanda.
Robert van Niel dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite berpendapat bahwa Jamiatul Kheir adalah organisasi politik yang berjubah pendidikan dan sosial keagamaan. Dan banyak anggota Syarikat Islam pada saat itu menjadi anggotanya. Dalam hubungannya untuk mengadakan pembaruan dan reformasi terutama dalam bidang pendidikan. Ali Ahmad Shahab telah memasukkan guru-guru modernis pengikut Sayid Jamaluddin Al-Afghani ke Indonesia. Di antaranya Al Hasyimi yang didatangkan dari Tunisia, Sheikh Ahmad Syurkati dari Sudan. Pendiri Jamiatul Kheir yang meninggal di Jakarta Juli 1945 itu boleh dikata berhasil dalam mendidik putra-putrinya. Seperti Muhammad Anis menjadi redaktur suratkabar berbahasa Arab Hadramaut di Surabaya; M Dyza Shahab, Kepala Jamiat Kheir (1936-1945), wartawan Ar-Rafik di Timur Tengah (1947), Kepala Bagian Kebudayaan Rabitah Alam Islami (Kongres Islam Sedunia) di Makkah dan Bersama KH Abdullah bin Nuh, pengarang Masuknya Islam di Indonesia. adiknya, M. Asad Shahab, pada masa revolusi mendirikan Arabian Pers Board dan menyiarkan berita-berita terevolusi Indonesia di Timur Tengah. Putranya AH Shahab menjadi kolumnis di berbagai media di Tanah Air dan Timur Tengah.
 
Kegiatan santunan orang yang tidak mampu, yatim, orang jompo sangat mendominasi program Jamiat Kheir dibuktikan kemudian oleh pengurus dengan membuat panti asuhan Daarul Aitam, yang secara khusus merawat dan mendidik anak-anak yatim yang hingga saat ini masih aktif.
 
Sumber: Nostalgia Republika, Ahad 5 September 2010
Dan yang tiak kalah pentingnya untuk diketahui adalah bahwa Jamiat Kheir ketika itu memiliki reputasi internasional melalui hubungan dengan kaum muslimin di timur tengah. Dengan dasar ukhuwah Islamiyah, Jamiat Kheir banyak membantu secara finansial untuk korban perang di Tripoli (Libya), membantu pembangunan jalan kereta api di Hijaz yang menghubungkan kota Madinah Almunawwarah dengan daerah-dearah disekitar Syam (Yordania, Palestina, Syria, Iraq) dan lain-lain.
Disunting oleh Lina Adlina Sahabudin. Disunting sesuai aslinya.